Total Tayangan Halaman

Minggu, 18 Maret 2012

Cerpen ku "Cahaya Harapan Masa Depan"


Nama  : Gusti Indah Lestari
Kelas   : X5
SMA Negeri 1 Pangkalpinang
K.D. Menulis cerita pendek berdasarkan pengalaman pribadi dan orang lain


Cahaya Harapan Masa Depan

            Di kala senja di musim yang bahagia, angin berdesir lembut menggoda dedaunan. Kicauan burung menghentakkan pohon yang sedang terjaga. Bebatuan masih tak bergeming meski telah lekang oleh panas dan lapuk oleh hujan. Badai pun nampak berceloteh kepada lautan yag terus berlagak mengejar ombak di hamparan biru tepian pantai. Tak pernah seorang pun kan menyangka waktu begitu cepat berlalu, seperti cahaya putih yang tersenyum sekilas melewati langit yang berduka. Begitulah hari demi hari detik demi detik dia lewati dengan pahitnya kehidupan. Berjalan dalam kehampaan menyongsong masa depan yang belum bisa  diterka. Akankah baik atau akankah berakhir dengan buruk? Siapa yang tahu.
            Seorang gadis berambut panjang dengan tubuh lumayan berisi. Siapa sangka? Ia ibu berumur 40-an, padahal bila diperhatikan dengan saksama dia sudah begitu tua dan rapuh. Hidup di sebuah daerah terpencil yang masih sejuk dan asri. Derita dan keluh kesah habis terlumat oleh peluhnya. Dahulu ia adalah seorang wanita yang anggun dan mempesona. Wanita yang mengabdikan hidupnnya di dunia pendidikan. Sesampainya ia mengarungi biduk rumah tangga ia masih tetap menjadi insan pengajar.
           
Ibu itu telah melahirkan buah hati yang baik dan membanggakan. Di bulan Oktober 1996, telah dilahirkan bayi merah mungil yang belum bisa mengedipkan matanya bahkan untuk menangis. Putri mungil nan manis itu diberi nama Cahaya Lestari. Suatu kebanggan baginya terlahir dari orang tua yang berprofesi sebagai guru. Ayahnya begitu baik, tegas dan penuh kasih sayang. Aya, ya panggilan akrab Cahaya adalah Aya. Dia mempunyai seorang kakak laki-laki bernama Satria. Selisih umur mereka hanyalah sekitar satu tahun empat bulan.
            Tik Tok Tik Tok Tik Tok Tik Tok
            Jarum jam terus berputar menghapus jejak detik yang baru saja berlalu. Waktu tidak akan menunggu dalam antrian panjang untuk dapat melewati detiknya, ia akan terus berlari dan semua berusaha mengejarnya. Lihatlah kini gadis mungil itu beranjak menjadi seorang anak kecil yang lucu dan dengan girangnya mulai bermain-main. Kesana kemari berlari dan bersenda gurau dengan kakak lelakinya.
            “Mama, kapan Aya masuk TK? Aya sudah besar,” tanya gadis lugu itu.
            Yeah, ibu muda itu menyadai bahwa Aya merasa kesepian bila kakaknya berangkat ke taman kanak-kanak. Aya juga ingin ikut pergi ke sekolah, ia sering memakai kaos kaki dan sepatu cantiknya seraya menyandang tas kecil di punggungnya. Seringkali ia berlagak hendak berangkat ke sekolah.
            “Sabar ya manis, kalau kamu mau sekolah tunggu setahun lagi,” jawab ibu dengan lembut. Cahaya mengerti maksud ibunya namun ia masih meragu untuk mengiyakan.
            “Setahun lagi masih lama, bukan?” Aya kembali bertanya.
“Tidak sayang,” bujuk ibu berusaha meyakinkan Cahaya.
Cahaya telah lama bersabar menunggu hari ini selama setahun, hari dimana ia akan masuk sekolah. “Asyik! Aya akan ke sekolah,” sorak girangnya seraya memanggul tas seperti biasanya.
“Kamu senang nak?” tanya ibu sambil mengusap kepala Aya.
“Tentu saja,” jawab Aya dengan wajah berseri-seri. Ayah pun tersenyum lega melihat Aya sangat bersemangat menyambut hari pertama sekolahnya.
Brrm.. brrm.. brrm..
Ayah mengengkol motor vespanya dan segera mengantar Cahaya dan Satria ke TK. Ayah sengaja menyekolahkan Cahaya di TK yang sama dengan Satria agar Satria dapat menjaga Aya. Dalam perjalanan Cahaya tampak tak bergeming sedikitpun, ayah merasa heran.
“Kenapa Aya diam?” tegur ayah yang mengemudikan motor dengan hati-hati.
“Sssttt… ayah jangan berisik. Cahaya sedang berpikir mengatur strategi,” kata Aya.
Satria pun angkat bicara mendengar adiknya berceloteh demikian.
“Kita akan pergi belajar bukan akan berperang, strategi apa yang kamu maksud?” gurau Satria membuyarkan lamunan Cahaya.
“Cahaya kan anak baru, harus ada cara agar Cahaya dapat berteman dengan anak lainnya,” kata Cahaya dengan nada bijak.
Tidak lama kemudian mereka sampai di suatu tempat yang di depannya terdapat palang nama “TK Eka Rini”. Cahaya dan Satria pun berjalan bergandengan tangan masuk ke dalam kelas, mula-mula Satria mengantarkan adiknya ke kelas baru lalu ia menuju kelasnya sendiri. Cahaya terlihat sudah mulai akrab dengan teman-teman barunya, Satria sangat bahagia ternyata adiknya ini bisa beradaptasi.
Clik Clak Clik Clak Clik Clak
Detik demi detik terus berlalu sekarang Cahaya sudah akan masuk ke Sekolah Dasar. Seragam putih merah, siap ia kenakan dengan senyum tersungging merona di pipinya. Sejak ia masuk ke SD, selalu saja pulang dengan wajah mencetut. Cahaya merasa tersisih oleh teman-teman di kelasnya, ia jarang diajak bermain dan selalu diejek.
“Kamu kenapa lagi Aya?” tanya ibu khawatir.
“Mereka jahat sama Aya bu, Aya tidak mau ke sekolah lagi,” kata Aya dengan mata yang berkaca-kaca.
“Jangan seperti itu, mereka hanya tidak mengenal Aya. Cobalah Aya berlaku baik dan tidak menunjukkan kelemahan Aya pasti mereka lambat laun akan akrab dengan Aya,” kata ibu menenangkan Aya yang mulai tersedu-sedu.
Tidak beberapa lama kemudian Cahaya tertidur pulas di pangkuan ibunya. Matanya tampak sembab wajahnya begitu polos. Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka, ayah pulang membawakan mainan baru untuk Satria. Ibu hanya menggeleng-gelengkan kepala ia heran mengapa ayah selalu menghabiskan uang dengan membeli mainan yang tidak ada gunanya itu.
“Kamu ini kenapa selalu boros!” bentak ibu pada ayah yang sedang makan siang di meja makan. Satria pun yang sedang asyik menonton TV menoleh, ia tertegun melihat ibunya berkata seperti itu kepada ayah.
“Kamu bisa tidak untuk jangan berteriak padaku!” celoteh ayah pada ibu dengan ekspresi murka.
“Aku tidak berteriak, aku cuma lelah melihatmu terlalu memanjakan anak! Aku tidak suka,” balas ibu tidak kalah murkanya.
Tprr… bunyi piring pecah. Ayah membanting piring makannya ke lantai, ia tidak suka acara makannya diganggu. Cahaya pun terbangun dari tidurnya, ia tesentak kaget melihat banyak pecahan piring di lantai ruang makan. Ayah telah mengengkol motor vespanya hendak pergi keluar. Sementara ibu masuk ke kamar membanting pintu. Cahaya pun membersihkan pecahan piring itu dan Satria mengambil sapu serta serbet basah. Anak-anak itu terlihat takut merasa pertengkaran ibu dan ayahnya ini sudah berlebihan.
Beberapa hari sudah ayah dan ibu selalu cek-cok mulut dan bertengkar. Cahaya dan Satria merasa tidak diperhatikan. Sampai akhirnya Cahaya jatuh sakit, barulah ibu dan ayah mulai akur kembali. Mereka cemas melihat keadaan Cahaya demamnya tak kunjung turun juga.
Ayah memutuskan membawa Cahaya ke puskesmas, ternyata Cahaya terkena penyakit malaria. Cahaya dibawa pulang dan disuruh istirahat oleh dokter, banyak obat-obatan yang harus diminum Cahaya di rumah agar ia lekas sembuh. Cahaya merasa bahagia meskipun ia sakit begitu, tapi melihat ayah dan ibunya rukun kembali hatinya lega.
            Mereka hidup rukun kembali jarang terdengar ada pertengkaran dan Cahaya menjalani hari-hari disekolahnya dengan ceria. Dia tidak lagi dimusuhi oleh teman-temanya, semula ia dijauhi karena teman-temannya menganggap Cahaya terlalu egois tidak mau mengajarkan mereka pelajaran yang tidak dimengerti. Padahal Cahaya tidak bisa mengajarkan mereka, karena cahaya tidak pandai menerangkan materi pelajaran dengan baik ia terlalu rumit dalam menjelaskan kepada teman-temannya. Namun hal ini akhirnya dapat dimengerti oleh teman-teman Cahaya.
            Cahaya terus tumbuh dan berkembang menjadi anak yang lugu dan periang. Sekarang ia telah memasuki masa remaja, ia duduk di bangku kelas 1 Sekolah Menengah Atas. Dia bisa dibilang rajin dan antusias namun pemalu dan kurang percaya diri.
            “Dorrrrrr!!” kejut teman Cahaya dari belakang.
            Cahaya tersentak dan hatinya berdebar. Siapa yang usil mengejutkan dirinya. Ternyata mereka adalah teman SMA Cahaya. Cahaya bercerita bahwa baru saja ia merenungi masa kecilnya ia mengingat kembali masa-masa dimana ia masih seorang anak TK dan SD. Dia merasa beruntung memiliki kedua orang tua yang masih utuh dan mempunyai kecerdasan yang lumayan. Cahaya mengatakan kepada teman-temannya bahwa ia akan belajar dengan sungguh-sungguh ia tidak mau terhanyut dan terlena oleh masa remaja yang penuh drama percintan. Memang tidak dipungkiri masa remaja adalah masa pencarian jati diri, dimana emosi dan jalan pikiran masih labil. Tidak jarang dalam perkembangannya remaja banyak terjerumus ke dalam dunia yang salah.
Cahaya tidak mau salah dalam melangkah, ia bertekad untuk membahagiakan orangtuanya dengan kerja keras dirinya. Dia berharap dapat lulus SMA dengan nilai yang baik dan masuk ke universitas yang dia inginkan. Masalah fakultas yang dia inginkan tentu saja berat bagi kedua orang tuanya, ia menginginkan fakultas kedokteran. Namun apa mau dikata, keadaan ekonomi orangtuanya tentu tidak dapat menopang Cahaya bila ia mengambil fakultas kedokteran. Dalam hatinya, Cahaya percaya bahwa bila ada tekad yang mulia Tuhan Yang Maha Esa akan memudahkan jalan untuknya. Dengan senyum indah ia mengakhiri ceritanya kepada teman-teman. Teman-temannya pun tertegun melihat pancaran tekad Cahaya, meraka bangga pada Cahaya. Selalu berdoa dan berusaha niscaya akan menggapai sukses.

2 komentar: