Telingaku berdengung keras, aku
memang tidak suka naik pesawat terbang. Ini bukan pertama kalinya aku melintasi
batas Negara dan menjelajah dunia. Aku sudah menyelami macam-macam kehidupan
karena orang tua ku yang sibuk dan selalu berpindah-pindah tempat tinggal
sebagai tuntutan pekerjaan mereka. Sedikit demi sedikit aku bisa melihat pulau-pulau
yang tampak kecil dari ketinggian ini. Aku tersenyum, betapa aku merindukan
Negara ini, Indonesia. Tempat dimana aku di lahirkan, di beri masa remaja yang
indah meski tanpa kasih sayang orang tua yang cukup sebagaimana anak lainnya
tapi aku bahagia. Aku merindukan tanah airku lebih dari yang ku kira. Memang
aku hanya tinggal disini saat aku menjadi anak SMP dan SMA tapi begitu banyak
memori indah yang terekam disini.
“I
like this country.” Aku bergumam halus sambil menunggu menit-menit yang tersisa
hingga aku bisa menginjakkan kaki lagi di tanah kelahiranku. Aku sudah membayangkan
wajah kedua orangtua ku yang menunggu cemas di bandara Soekarno-Hatta.
Perjalanan ini memang ku tempuh sendirian, karena aku harus menyelesaikan
pendidikan sarjana ku di Amsterdam. Sementara orang tua ku harus segera kembali
ke Indonesia demi pekerjaannya, jadi mereka tiba lebih dulu sebulan dari aku.
Entah mengapa jantungku berdetak lebih cepat dari periode
biasanya. Entah mengapa hatiku bergetar lebih hebat dari frekuensi biasanya.
Sapuan abu-abu di langit menyingkap tirai duka, memberi hipotesis bahwa titik
awan akan menjadi hujan. Walau demikian
suasana di lapangan utama SMP Pertama ini sungguh bersukaria. Di setiap sudut
sekolah, banyak anak berseragam putih biru mengkilap bersih sedang memegang
erat tasnya. Di antara mereka itu ku lihat Wulan sedang berjalan mendekatiku.
Oh, sahabatku J
“Hai,
Indi! Aku seneng kita satu sekolahan lagi,” sapa Wulan padaku.
“Its
my pleasure too!” senyuman manis ku hadiahkan pada Wulan, sehabatku dari taman
kanak-kanak hingga sekarang.
Kami
bergandengan tangan menyusuri koridor sekolah melirik kiri-kanan mencari adakah
teman yang kami kenal lagi. Namun pencarian kami terpaksa tertunda dikarenakan
suara keras dari microphone menyuruh kami berkumpul di lapangan utama. Dengan
tergesa-gesa kami membaur di barisan siswa-siswi baru di lapangan.
Sedaritadi
ruangan ini sudah sesak, banyak perawat yang mondar-mandir. Mama tidak kalah
khawatir, meskipun dokter sudah berusaha menenangkannya masih saja kegelisahan membayanginya.
Sebentar lagi, aku akan dioperasi dan itu pun membuat aku sedikittttt takut.
Takut tidak bisa membuka mata lagi, dan takut tak bisa melihat wajah Bulan
ataupun mendengar suaranya. Suara Bulan, aku rindu dia.
Aku
mengaktifkan ponselku, muncul puluhan pesan yang membuatku tersenyum. Bulan
sungguh mengkhawatirkan aku, terbukti dari rentetan sms nya yang jika bisa
dikatakan sangat paranoid.
Dengan
sedikit takut aku menekan tombol hijau dan nada sambung terdengar. Aku mencoba
menghubungi Bulan untuk yang pertama setelah berminggu-minggu aku menahannya.
Semilir angin pagi
menggoyang-goyangkan poni rata milik Bulan, bintik-bintik peluh di keningnya
sudah mulai dilapnya dengan punggung telapak tangan. Dia dihukum lari keliling
lapangan oleh Bu Meri karena datang terlambat pagi ini.
“Buseeet! Lo udah
kayak budak lari dari sarang penyamun aja, Lan!” tegur Nesa saat aku
tergopoh-gopoh lari mendekatinya di koridor kelas.
“Sialan! Aku kan cuma
telat 5 menit tetep aja lari keliling lapangan, uhh” gerutuku membuat Nesa
tertawa terpingkal-pingkal lalu aku meninju pundaknya pelan. Keki juga
diketawain Nesa begini.
“Lima menit itu berharga banget menurut
teorinya Bu Meri, ya wajarlah,” ujar Nesa sambil mengibaskan rambut panjangnya.
Ehhh? Tumben rambutnya digerai biasanya kan dikuncir. Pasti ada udang di balik
bakwan nih.
“Cie, tumben
rambutnya ga dikuncir, mau TP sama Dika ya?” godaku membuatnya salting. Rona
merah segera menjalar di pipinya.
Aku duduk gelisah
sedari tadi di taman ini, ini sudah terlambat 15 menit dari janji awal. Kemana
dia pergi? Apakah dia tidak datang?
“Sorry gue telat!
There’s a little trouble,” ujar Bintang saat dia berdiri menjulang di
hadapanku.
Bintang Dewaputra,
cowok yang sekarang berdiri di depanku terlihat gagah dengan balutan celana
panjang hitam dan kemeja petak-petak birunya yang digulung mencapai siku. Garis
wajahnya menunjukkan dia orang yang tegar dan bertanggung jawab.
“Apa ada masalah yang
lebih penting dari urusan kita tentang Bulan ya?” tanyaku seraya bergurau dan
mempersilahkan dia duduk di bangku panjang.
Ini sudah hampir 3
hari sejak Matahari marah, dia sangat marah saat aku tidak menonton
pertandingannya sampai selesai. Jangankan bertanya alasan mengapa aku pergi saat
itu, dia bertemu denganku saja tidak mau. Ke-ce-wa!
“Nes, lo beneran ga
tau Ari kenapa? Udah hampir 3 hari dia ga masuk sekolah loh, kan ga mungkin
cuma gara-gara marah dia bolos gini,” tanyaku penasaran pada Nesa.
“Gue juga ga tau,
Lan. Yang gue denger sih dia sakit.”
“Sakit apa? Pas aku
dateng ke rumahnya Tante Risa bilang dia lagi pergi sama Dika atau Rangga. Jadi
ga mungkin kan dia sedang sakit sekarang?”
Tangan Ari masih
menggenggam tanganku sepanjang perjalanan dari parkiran menuju kelas. Aku
bahagia sekali tapi ya malu bangettttt! Semua mata liatin kami kayak kami ini
pendosa berat.
“Ri, mending ga usah
gandengan. Maluuu tauuu!” ujarku setengah berbisik.
“Kenapa harus malu?
Kamu kan pacar aku,” jawabnya lalu memperat genggamannya.
“Eh, lo ga tau malu
banget sih! Kemaren-kemaren dulu sama Matahari, belakangan ini sama Bintang, eh
sekarang sama Matahari lagi. Sekali dayuh dua pulau terlampaui ya?” teriak
Imelda saat kami melewatinya yang sedang duduk di pinggir koridor.
Sudah hampir seminggu
aku menghindar dari Kak Bintang, setiap melihat dia aku pasti bersembunyi atau
melarikan diri. Sebenarnya aku takut Ari marah lagi kalau tau aku masih
berdekatan dengan Kak Bintang.
Tapi pagi ini, aku
sepertinya tidak bisa lagi melarikan diri. Sekarang Kak Bintang ada di depan
rumahku, hari ini hari Minggu dan apa keperluan dia datang ke rumahku?
“Hai, Bulan!” sapanya
saat aku membuka pagar.
“Kakak ada perlu apa
ya?” tanyaku sambil celingak-celinguk siapa tau Ari melihat. Syukurlah dia tidak
ada.
Aku
baru duduk sebentar di kelas ketika ku dengar rebut-ribut dari arah luar. Akupun
tidak ambil pusing dan hanya duduk di bangku. Lalu Rangga datang dan berkata
dengan terbata-bata.
“Ri,
lo keluar seka..rang deh! Itu… itu…” katanya ga jelas.
“Apaan
sih, ngomong tu pelan-pelan Rang,” kataku sambil mengelus pungunggnya.
“Itu
cewek lo, Bulan. Anu…”
“Bulan
kenapa?” desakku.
“Dia
lagi ditembak Kak Bintang!” katanya lantang dan nyaring seperti telah
mengeluarkan sesuatu yang menyumpal ternggorokannya.
Aku
sudah menunggu Ari sekitar satu jam lebih, namun dia tidak muncul juga. Sudah 3
gelas cappuccino ku habiskan di kafe ini. Kami janjian makan siang bareng hari
minggu ini. Aku lelah sekali jadi ku putuskan untuk pulang saja.
Saat
sedang menunggu di halte bus aku melihat ada toko musik di seberang jalan.
Tanpa pikir panjang aku segera mendatangi toko itu. Ternyata di dalamnya banyak
sekali di jual alat musik dan kaset lagu-lagu.
“Wah
kok aku baru tau ya ternyata ada toko musik baru buka disini,” gumamku seraya
terkagum-kagum.
“Bintang, aku ada satu
permintaan. Aku mau kamu nemuin aku sama pangeran charming ku. Aku harap dia
adalah orang yang sedang ada di sebelah aku sekarang,” doaku dalam hati seraya
menatap bintang jatuh diangkasa.
Aku memanjatkan harapan
seperti ini sudah beribu kali namun tetap saja orang yang di sebelahku ini
tidak pernah menunjukkan tanda-tanda bahwa dirinya adalah pangeran charming ku
itu. Maksudku dia tidak menunjukkan kenyataan bahwa dia menyukaiku!
“Kamu pasti doa sama bintang
jatuh lagi kan?” tanya nya kepadaku.
“Iya dong! Soalnya bintang
jatuh pasti bakal ngabulin harapan aku,” kataku mantap.
“Kamu berharap apa, kenapa
harus setiap malam?” dia menoleh penasaran padaku.
Aku bergumam dalam hati,
“berharap kamu menjadi pangeran charming-ku, Ri.”
“Woi! Lo kok bengong pagi-pagi gini, pasti lagimikirin gue kan. Kangen ya?” celoteh bella
saat dia tiba di kelas pagi ini. Libur semester telah usai dan kami disibukkan
kembali dengan kegiatan sekolah.
Aku rindu Surabaya, aku rindu ayahku dan aku rindu dia
Tuhan. Kenapa aku ada disini dan bukan di Surabaya bersama orang-orang yang aku
sayangi? Aku ingin kembali.
“Mas, besok kan udah libur semester lo mau nemenin gue ga
pergi ke suatu tempat?” aku bertanya pada Dimas yang sedang bermain game.
Hari ini cuacanya galau badai banget. Di luar hujan lebat
dan aku lupa bawa payung. Sementara teman-teman yang lain sudah pada nekat
pulang, aku malah masih betah berdiri di pinggiran perpustakaan ini sambil
menunggu hujan reda. Dingin brrrr!
Apalagi dari jendela aku bisa liat Ramzi sedang duduk di
perpustakaan sambil membaca novel. Dia terlihat sangat tampan saat seperti ini,
aku menahan kaki ini agar tidak masuk ke dalam dan menyapanya.
“Esta bangun dong! Woi bangun! Lo bisa telat ke sekolah
kalo ga bangun sekarang,” kata seseorang sayup-sayup di telingaku.
“Jam.. be..ya..pa seka..yang?” tanyaku dari balik
selimut. Mata ini terasa di lem, setelah tiga hari ikut MOS badan ini capeknya
beeuuh seperti ditimpa karung besi.
“Ah, lelah sekali rasanya! Aku ingin
pulang! Sekarang jugaaaaa!” gerutu ku dalam hati.
Aku dan teman-temanku sudah berdiri di
bawah terik matahari ini selama kurang lebih satu jam, dan hasilnya apa. Para
senior-senior itu hanya memandang kami dari bawah pohon. Mereka seakan menjemur
cucian di lapangan basket sekolah ini. Mungkin inilah yang namanya MOS versi
anak SMA Bhayangkari. Huh!
Bukan maksudku membiarkan dia berlalu
begitu saja. Hati ini selalu menjerit memanggil namanya, hanya saja dia yang
tak pernah berpaling dan menyambutku. Dia masih tetap dia. Dia masih seperti
yang dulu, yang pernah membuat hatiku membeku untuk waktu yang lama. Dia masih
seperti yang dulu, dan aku masih seperti yang dulu, kokoh dan dingin tanpa senyum ketika
berhadapan dengannya. Dia bagai batukarang yang setiap kali ombak datang hanya bisa diam di tempat menantang,
namun terus terkikis hingga hilang dan berlalu.
Kisah cinta romantis dengan pengorbanan besar
danketulusan cinta yang abadi.
Ringkasan cerita :
Indah dan Pandu pertama kali bertemu
di sebuah pedesaan yang dikelilingi kebun teh. Indah pergi berlibur disana dan
berkenalan dengan Pandu, seorang pria yang menderita kanker otak stadium akhir
yang telah menyentuh hatinya dengan ketulusan. Pandu ingin terus bersama Indah,
namun kebersamaan mereka hanya berlangsung 3 hari. Indah kembali ke Jakarta
kota asalnya, dan Pandu sendiri nantinya akan pergi ke Jakarta untuk
melanjutkan SMA nya disana. “Kalau kita berjodoh, kita pasti akan bertemu lagi”
demikianlah Pandu berkata kepada Indah agar dia merasa yakin bahwa mereka
sebenarnya ditakdirkan bersama meskipun pada kenyataanya Indah telah memiliki
seorang kekasih bernama Ramon. Indah dan Ramon telah dijodohkan oleh kedua orangtua
mereka sejak kecil.
Suatu malam, Indah bertengkar dengan
Ramon. Pertengkaran ini adalah puncak dari kegelisahan Ramon karena Indah
ternyata selalu bersama dengan Pandu di sekolah. Setelah kepindahan Pandu ke
SMA itu, Ramon merasa Indah menjauh darinya. Malam itu, Indah mengalami
kecelakaan mobil yang menyebabkan dia buta dan bisu. Setelah kecelakaan itu,
Ramon menjauhi Indah. Sedangkan Pandu sulit mendekati Indah karena dia selalu
berusaha menutup dirinya.
Indah yang merasa depresi dan tertekan
dengan nasibnya memilih untuk menyendiri ke desa tempat dia pertama kali
bertemu dengan Pandu. Disana ia dirawat oleh temannya bernama Dita yang setia
menemaninya. Hingga akhirnya, Pandu pun memutuskan untuk kembali ke desa dan
menemani Indah juga. Mereka menghabiskan waktu bersama-sama demi mengurangi
kesedihan Indah. Dita yang mengetahui penyakit Pandu bekerjasama dengan Dimas
teman Pandu agar kebersamaan mereka dapat berlangsung lebih lama lagi.
Saat Indah dan Pandu pergi ke bukit,
Pandu merasa waktunya tidak akan lama lagi. Dia berkata kepada Indah, dia akan
menjadi mata untuk Indah agar dapat melihat dunia lagi. Indah yang meraung kuat
saat Pandu meninggal dunia di sisinya akhirnya mampu mengeluarkan suara dengan
memanggil nama Pandu berulang kali. Namun Pandu tetap tidak bergerak dan
menjawab. Pandu telah pergi ke dunia lain, dan meninggalkan matanya untuk Indah
agar mereka tetap bisa bersama meski jarak telah memisahkan. Akhirnya Indah
dapat tersenyum lagi dan melihat kembali dunia, dia tetap menyimpan kenangan bersama
Pandu di hatinya.
Tokoh/nama :
·Utama
1.Indah: Baik hati, murah senyum, lemah lembut,
penyayang dan lemah.
2.Pandu : Baik
hati, setia, penyayang, rela berkorban dan berjiwa besar.
3.Ramon : Kasar,
pemarah, tidak setia dan egois.
·Pembantu :
1.Mama Indah :
Keras kepala, egois dan penyayang.
2.Papa Indah :
Ringan tangan, pemarah dan pekerja keras.
3.Kakak Indah :
Keras kepala, penyayang dan mandiri.
4.Dita (Teman
Indah) : Baik, setia kawan, penyabar dan perhatian.
5.Dimas (Teman
Pandu) : Baik dan setia kawan.
Kritikan :
Dari keseluruhan film, saya merasa sudah cukup
baik. Nuansa romantis dan sedihnya mampu menggugah perasaan seakan itu terjadi
pada penonton sendiri. Namun, alur ceritanya sedikit membingungkan karena
keterkaitan antara peristiwa satu dan yang lainnya kurang jelas.Apabila peristiwa tersebut ingin ditampilkan
secara singkat, maka seharus ada narator yanag membacakan jalan ceritanya.