Total Tayangan Halaman

Senin, 01 Juli 2013

Looking for You, My Happiness



Looking For You, My Happiness


Telingaku berdengung keras, aku memang tidak suka naik pesawat terbang. Ini bukan pertama kalinya aku melintasi batas Negara dan menjelajah dunia. Aku sudah menyelami macam-macam kehidupan karena orang tua ku yang sibuk dan selalu berpindah-pindah tempat tinggal sebagai tuntutan pekerjaan mereka. Sedikit demi sedikit aku bisa melihat pulau-pulau yang tampak kecil dari ketinggian ini. Aku tersenyum, betapa aku merindukan Negara ini, Indonesia. Tempat dimana aku di lahirkan, di beri masa remaja yang indah meski tanpa kasih sayang orang tua yang cukup sebagaimana anak lainnya tapi aku bahagia. Aku merindukan tanah airku lebih dari yang ku kira. Memang aku hanya tinggal disini saat aku menjadi anak SMP dan SMA tapi begitu banyak memori indah yang terekam disini.
            “I like this country.” Aku bergumam halus sambil menunggu menit-menit yang tersisa hingga aku bisa menginjakkan kaki lagi di tanah kelahiranku. Aku sudah membayangkan wajah kedua orangtua ku yang menunggu cemas di bandara Soekarno-Hatta. Perjalanan ini memang ku tempuh sendirian, karena aku harus menyelesaikan pendidikan sarjana ku di Amsterdam. Sementara orang tua ku harus segera kembali ke Indonesia demi pekerjaannya, jadi mereka tiba lebih dulu sebulan dari aku.

Senin, 18 Maret 2013

First oh He's the first



He’s The First


            Entah mengapa jantungku berdetak lebih cepat dari periode biasanya. Entah mengapa hatiku bergetar lebih hebat dari frekuensi biasanya. Sapuan abu-abu di langit menyingkap tirai duka, memberi hipotesis bahwa titik awan akan menjadi hujan. Walau  demikian suasana di lapangan utama SMP Pertama ini sungguh bersukaria. Di setiap sudut sekolah, banyak anak berseragam putih biru mengkilap bersih sedang memegang erat tasnya. Di antara mereka itu ku lihat Wulan sedang berjalan mendekatiku. Oh, sahabatku J
            “Hai, Indi! Aku seneng kita satu sekolahan lagi,” sapa Wulan padaku.
            “Its my pleasure too!” senyuman manis ku hadiahkan pada Wulan, sehabatku dari taman kanak-kanak hingga sekarang.
            Kami bergandengan tangan menyusuri koridor sekolah melirik kiri-kanan mencari adakah teman yang kami kenal lagi. Namun pencarian kami terpaksa tertunda dikarenakan suara keras dari microphone menyuruh kami berkumpul di lapangan utama. Dengan tergesa-gesa kami membaur di barisan siswa-siswi baru di lapangan.
           

Jumat, 15 Februari 2013

Renkarnasi Matahari, Bintang, dan Bulan * Part 9 * Ending



Part 9 ~Welcome Back~
Sedaritadi ruangan ini sudah sesak, banyak perawat yang mondar-mandir. Mama tidak kalah khawatir, meskipun dokter sudah berusaha menenangkannya masih saja kegelisahan membayanginya. Sebentar lagi, aku akan dioperasi dan itu pun membuat aku sedikittttt takut. Takut tidak bisa membuka mata lagi, dan takut tak bisa melihat wajah Bulan ataupun mendengar suaranya. Suara Bulan, aku rindu dia.
Aku mengaktifkan ponselku, muncul puluhan pesan yang membuatku tersenyum. Bulan sungguh mengkhawatirkan aku, terbukti dari rentetan sms nya yang jika bisa dikatakan sangat paranoid.
Dengan sedikit takut aku menekan tombol hijau dan nada sambung terdengar. Aku mencoba menghubungi Bulan untuk yang pertama setelah berminggu-minggu aku menahannya.
“Halo,” terdengar suara lirih dari seberang sana.

Renkarnasi Matahari, Bintang, dan Bulan * Part 8 *



Part 8 ~Jauh di Mata Dekat di Hati~

Semilir angin pagi menggoyang-goyangkan poni rata milik Bulan, bintik-bintik peluh di keningnya sudah mulai dilapnya dengan punggung telapak tangan. Dia dihukum lari keliling lapangan oleh Bu Meri karena datang terlambat pagi ini.

“Buseeet! Lo udah kayak budak lari dari sarang penyamun aja, Lan!” tegur Nesa saat aku tergopoh-gopoh lari mendekatinya di koridor kelas.

“Sialan! Aku kan cuma telat 5 menit tetep aja lari keliling lapangan, uhh” gerutuku membuat Nesa tertawa terpingkal-pingkal lalu aku meninju pundaknya pelan. Keki juga diketawain Nesa begini.

 “Lima menit itu berharga banget menurut teorinya Bu Meri, ya wajarlah,” ujar Nesa sambil mengibaskan rambut panjangnya. Ehhh? Tumben rambutnya digerai biasanya kan dikuncir. Pasti ada udang di balik bakwan nih.

“Cie, tumben rambutnya ga dikuncir, mau TP sama Dika ya?” godaku membuatnya salting. Rona merah segera menjalar di pipinya.


Renkarnasi Matahari, Bintang, dan Bulan * Part 7 *



Part 7 ~When You Were Gone~

Aku duduk gelisah sedari tadi di taman ini, ini sudah terlambat 15 menit dari janji awal. Kemana dia pergi? Apakah dia tidak datang?

“Sorry gue telat! There’s a little trouble,” ujar Bintang saat dia berdiri menjulang di hadapanku.

Bintang Dewaputra, cowok yang sekarang berdiri di depanku terlihat gagah dengan balutan celana panjang hitam dan kemeja petak-petak birunya yang digulung mencapai siku. Garis wajahnya menunjukkan dia orang yang tegar dan bertanggung jawab.

“Apa ada masalah yang lebih penting dari urusan kita tentang Bulan ya?” tanyaku seraya bergurau dan mempersilahkan dia duduk di bangku panjang.


Renkarnasi Matahari, Bintang, dan Bulan * Part 6 *



Part 6 ~The Moon Embraces The Sun~

Ini sudah hampir 3 hari sejak Matahari marah, dia sangat marah saat aku tidak menonton pertandingannya sampai selesai. Jangankan bertanya alasan mengapa aku pergi saat itu, dia bertemu denganku saja tidak mau. Ke-ce-wa!

“Nes, lo beneran ga tau Ari kenapa? Udah hampir 3 hari dia ga masuk sekolah loh, kan ga mungkin cuma gara-gara marah dia bolos gini,” tanyaku penasaran pada Nesa.

“Gue juga ga tau, Lan. Yang gue denger sih dia sakit.”

“Sakit apa? Pas aku dateng ke rumahnya Tante Risa bilang dia lagi pergi sama Dika atau Rangga. Jadi ga mungkin kan dia sedang sakit sekarang?”


Renkarnasi Matahari, Bintang, dan Bulan * Part 5 *



Part 5 ~Star Love More Than Before~

Tangan Ari masih menggenggam tanganku sepanjang perjalanan dari parkiran menuju kelas. Aku bahagia sekali tapi ya malu bangettttt! Semua mata liatin kami kayak kami ini pendosa berat.

“Ri, mending ga usah gandengan. Maluuu tauuu!” ujarku setengah berbisik.

“Kenapa harus malu? Kamu kan pacar aku,” jawabnya lalu memperat genggamannya.

“Eh, lo ga tau malu banget sih! Kemaren-kemaren dulu sama Matahari, belakangan ini sama Bintang, eh sekarang sama Matahari lagi. Sekali dayuh dua pulau terlampaui ya?” teriak Imelda saat kami melewatinya yang sedang duduk di pinggir koridor.

“Mel, maklum orangnya muka tembok tuh!” sambung Zaskia menyindirku.