Looking For You, My Happiness
Telingaku berdengung keras, aku
memang tidak suka naik pesawat terbang. Ini bukan pertama kalinya aku melintasi
batas Negara dan menjelajah dunia. Aku sudah menyelami macam-macam kehidupan
karena orang tua ku yang sibuk dan selalu berpindah-pindah tempat tinggal
sebagai tuntutan pekerjaan mereka. Sedikit demi sedikit aku bisa melihat pulau-pulau
yang tampak kecil dari ketinggian ini. Aku tersenyum, betapa aku merindukan
Negara ini, Indonesia. Tempat dimana aku di lahirkan, di beri masa remaja yang
indah meski tanpa kasih sayang orang tua yang cukup sebagaimana anak lainnya
tapi aku bahagia. Aku merindukan tanah airku lebih dari yang ku kira. Memang
aku hanya tinggal disini saat aku menjadi anak SMP dan SMA tapi begitu banyak
memori indah yang terekam disini.
“I
like this country.” Aku bergumam halus sambil menunggu menit-menit yang tersisa
hingga aku bisa menginjakkan kaki lagi di tanah kelahiranku. Aku sudah membayangkan
wajah kedua orangtua ku yang menunggu cemas di bandara Soekarno-Hatta.
Perjalanan ini memang ku tempuh sendirian, karena aku harus menyelesaikan
pendidikan sarjana ku di Amsterdam. Sementara orang tua ku harus segera kembali
ke Indonesia demi pekerjaannya, jadi mereka tiba lebih dulu sebulan dari aku.
Pesawat
mendarat dengan selamat, dan aku bergegas menuju tempat koper diturunkan. Aku
melihat koper ungu ku dan segera menariknya. Kacamata hitam masih melekat di
atas kepalaku, aku kembali memakainya. Pakaianku memang sederhana tapi aku
selalu pandai memadukannya sehingga tampak berkelas. Kali ini pun aku merasa
sangat percaya diri mengenakan jaket bulu warna ungu yang di dalamnya aku
memakai kaos putih biasa dan legging panjang warna hitam pekat. Aku tidak suka
memakai highheels dan sepatu tinggi lainnya, jadi aku memakai sepatu teplek
memudahkan ku berjalan.
Aku
mencari ke segala penjuru dan sudut bandara tapi aku tidak melihat wajah orang
tua ku, padahal mereka berjanji akan menjemputku di bandara. Bodohnya aku
mempercayai mereka, seharusnya aku tahu mereka lebih mencintai pekerjaan
daripada aku anak sematawayang nya. Aku duduk di ruang tunggu dan mengeluarkan
ponsel dari saku. Aku menyalakan ponsel yang sedari tadi dalam keadaan
nonaktif. Tapi ponselku tetap tidak menyala, aku baru ingat bahwa aku lupa
mengisi ulang baterainya sebelum berangkat tadi.
“How
stupid I am!” keluhku kesal.
“Excuse
me, might I sit here?” tegur seorang laki-laki yang kira-kira umurnya sepadan
denganku menunjuk bangku di sebelahku. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan
jelas karena dia memakai kacamata hitam dan topi yang menutupi sebagian
wajahnya. Tapi dari penampilannya yang modis dan membawa koper juga, aku yakin
dia bukan orang jahat dan hanya ingin menunggu jemputan disini. Jadi, aku
mengangguk mempersilahkan dia duduk.
Hampir
lima belas menit tapi aku belum melihat orang yang sekiranya menjemputku akan
datang. Aku ingin menghubungi seseorang tapi ponselku mati, aku melirik kepada
laki-laki yang duduk di sebelahku. Dia tampak tenang menunggu sambil terus
mengetik sesuatu di ponselnya. Meskipun dengan rasa canggung aku nekad saja
mengajaknya bicara.
“Sorry.
Might I borrow your mobile phone? I need call someone but mine was drop.” Aku
melihatnya tersenyum sekilas dari sudut bibirnya yang mengembang lalu dia
mengangguk dan memberikan ponselnya padaku.
Aku
segera menekan tombol call setelah memastikan angka yang ku ketik benar. Nada
sambung terdengar tapi tidak ada yang mengangkatnya. Aku mencoba sebanyak tiga
kali pada nomor papa dan mama tapi tidak ada yang mengangkat. Aku menaruh
harapan terakhir pada nomor telepon rumahku tapi tetap saja hasilnya nihil. Aku
mengembalikan ponsel pria itu dengan wajah pasrah sembari mengucapkan terima
kasih.
“Kemana
mereka?” lirihku pelan.
“Apa
tidak ada yang menjemputmu?”
Aku
terkejut mendengar teguran itu, ternyata pria ini bisa berbahasa Indonesia.
Mungkin dia mendengar aku bergumam dalam bahasa Indonesia pikirku.
“Aku
tidak tahu. Seharusnya ada,” jawabku sambil tersenyum masam.
“Hahahaha.”
Aku mendengarnya tertawa pelan bukan terbahak-bahak membuatku bingung apa yang
salah dengan jawabanku.
“Maaf
aku tidak bermaksud menertawakanmu tapi sepertinya kita senasib. Aku juga tidak
tahu siapa yang akan menjemputku disini.” Dia mengatakannya dengan suara yang
sakartis atau mungkin miris. Entahlah aku juga tidak bisa memastikannya karena
raut wajahnya tidak bisa ku lihat. Jadi, aku hanya bisa tersenyum padanya.
“Sean?”
aku mendengar seseorang memanggil namaku ragu-ragu dari pintu masuk ruang
tunggu yang jaraknya tidak begitu jauh dari tempat ku duduk. Aku menoleh dan
terkesima dengan apa yang ku lihat. Di pintu itu berdiri seorang pria memakai
kemeja biru dan celana panjang warna hitam dengan sepatu kets warna putihnya.
Dia masih tampan seperti yang dulu dan senyumannya masih mempesona dengan
deretan gigi putihnya yang rapi. Dari dulu dia memang begitu mempesona dan juga
begitu… aku rindukan.
Aku
berdiri dari tempat duduk dan menarik koper ungu ku menghampirinya. Aku
melangkah pasti menuju tempat dia berdiri, aku berusaha mengendalikan langkah
kakiku agar tidak berlari mendekapnya. Di hadapannya aku tersenyum tenang dan
berkata, “Long time not see you, Langit.”
Aku
tidak menduga apa yang akan terjadi selanjutnya begitu merobohkan tameng yang
ku bangun selama ini. Dia dengan santainya memelukku erat dan berbisik di
telingaku dengan suara yang sepertinya menyampaikan bahwa dia benar-benar
merindukanku selama ini sama seperti aku merindukannya.
“I
miss you so bad,” bisiknya dalam padaku.
Aku
tidak bisa membalas ucapannya karena rasa sesak di dadaku begitu bergemuruh
membuat aku tidak sanggup menahan tetesan air mata yang akan turun. Aku terisak
di dalam pelukannya dan membiarkan dia mengelus kepalaku lembut. Aku tidak
begitu perduli pada tatapan aneh dari orang-orang yang melihat kami, bagiku
biarlah saat ini aku menjadi orang yang egois sekali saja sebelum aku kembali
melepaskannya, Langit. Satu-satunya sahabat yang begitu aku benci tapi juga
begitu aku rindukan.
“Kenapa
kamu menangis, Sean? Apakah terlalu lama bagimu untuk bisa bertemu aku lagi?”
tanya Langit sambil memegang kedua pipiku dan menghapus airmata yang ada disana
dengan tangannya. Dia tersenyum manis padaku dan kembali memelukku lagi.
“Empat
tahun itu lama, Lang.” ucapku di sela tangis yang tak bisa menutupi rasa
kebahagiaan saat aku bisa melihat lagi pria ini.
“I’m
sorry. So sorry Sean. Let me show you something.” Dia meminta maaf dengan
sungguh-sungguh dan menarik koperku, kami bergandengan tangan keluar dari ruang
tunggu. Dan betapa terkejutnya aku saat keluar ternyata papa, mama, dan mbok
tumi berdiri di samping mobil dengan spanduk bertuliskan ‘Welcome back Ocean
Larasati, My everything’. Mereka tersenyum padaku dan aku segara menghambur ke
pelukan mereka. Aku bahagia karena ternyata mereka lebih mencintai aku daripada
pekerjaan.
Aku
menikmati pemandangan setiap sudut rumah lamaku, tidak ada yang berubah masih
sama seperti empat tahun lalu. Aku menarik koper ke lantai atas menuju kamarku.
Betapa aku merindukan kamarku, dulu aku sering bermain bersama
sahabat-sahabatku disini. Mereka sering menginap disini dan berbagi cerita
tentang anak laki-laki yang disukai. Dan disini juga aku pernah menangis karena
salah satu sahabatku menyebut nama Langit sebagai orang yang disukainya. Oh
iya, tadi aku tidak melihat sahabatku itu menjemput ku di bandara? Kemana dia?
Sudah berakhirkah hubungannya
dengan Langit? Aku menyesal pernah bertengkar dengannya demi seorang Langit.
Tapi sebelum aku pergi ke Belanda empat tahun lalu, aku bahagia melihatnya
datang ke bandara mengantarkan kepergianku. Meskipun saat itu aku merasa sakit
hati melihat tangannya menggandeng tangan Langit mesra.
“Mbak
Sean?” panggil Mbok Tumi disertai ketukan pintu kamarku.
“Iya,
Mbok.” Aku membukakan pintu setelah melepaskan jaket.
“Mbok
kangen sama Mbak. Mbok mau dengar cerita Mbak waktu di Negara kompeni.” Mbok
Tumi tersenyum dan duduk di atas kasurku. Aku mulai bercerita sebagian
pengalamanku saat di Belanda. Bagaimana aku merasa kesepian tanpa sahabat dan
bagaimana berkesannya pemandangan di sana. Aku merasa mengantuk dan menyadarkan
kepalaku di pangkuan Mbok Tumi sambil bercerita.
“Wah,
enak sekali Mbak disana. Kapan-kapan ajak Mbok juga ya,” ujar Mbok Tumi sambil
mengelus rambutku.
“Hahaha.
Iya, Mbok. Ngomong-ngomong, kenapa tadi terlambat jemput Sean di bandara Mbok?”
tanyaku dengan mata terkatup.
“Gara-gara
si Langit itu Mbak. Dia telat datangnya padahal mama, papa dan Mbok udah nunggu
setengah jam sebelum pesawat Mbak landing lho. Langit nelponin nyonya supaya
jangan jemput Mbak dulu sebelum dia datang. Dia ingin jadi yang pertama di
lihat Mbak, gitu katanya.”
Mataku
yang tadi terkatup langsung terbuka lebar dan duduk tegak menghadap Mbok Tumi.
Mendengar itu hatiku sedikit berbunga-bunga. Apa mungkin Langit sudah putus
dengan dia dan menyadari bahwa Langit menyukaiku. Jantungku berdebar kencang
menunggu kelanjutan kata-kata Mbok Tumi. Tapi dia hanya tersenyum jahil padaku.
“Kok
mama mau nurutin kata-kata Langit sih, Mbok?” pancingku membuat Mbok cekikikan.
Aku mencubit gemas lengan Mbok Tumi agar segera menjawab pertanyaanku.
“Nyonya
sama Tuan malah senang disuruh nungguin, kan Langit itu menantu idamannya
mereka. Mbak lupa ya dulu mereka sering ngundang Langit makan malam bareng
kita.”
“Iya
sih Mbok. Tapi kan mama begitu sebelum Langit jadian sama sahabatnya Sean.
Setelah itu kan, mama biasa aja sama Langit. Ckckck,” dengusku kesal melihat
orangtua ku masih saja mengharapkan Langit jadi menantunya.
Aku
bingung melihat ekspresi Mbok Tumi jadi sedih begitu. Dia berdalih ingin
membereskan dapur saat ku tanyai kenapa raut wajahnya berubah begitu. Aku tahu
pasti terjadi sesuatu selama aku tidak disini. Setelah Mbok keluar dari kamar
aku menyalakan ponsel yang sudah ku isi ulang baterainya. Terlintas di pikiranku
untuk menghubungi Kiara, lebih tepatnya pacar Langit. Biar bagaimanapun dia
tetap sahabatku. Tidak ada nada sambung yang terdengar nomor ponselnya sudah
tidak aktif lagi. Kenapa Kiara tidak menjemputku? Kenapa nomor ponsel Kiara
tidak aktif? Jangan-jangan Kiara masih menyimpan rasa marah padaku karena dulu
pernah memperdebatkan Langit. Aku mencoba mengusir jauh-jauh prasangka itu.
Tanpa sadar aku tertidur karena kelelahan yang begitu terasa.
+++
Jarum
jam menunjukkan pukul sembilan pagi ketika aku terbangun karena suara ketokan
pintu kamarku. Aku mendengar suara Mbok Tumi.“Langit nunggu di bawah Mbak, apa
Mbok suruh pulang saja ya kalau Mbak capek?” tanya pembantu kesayanganku itu.
“Suruh
tunggu sebentar, Sean mau mandi dulu.”
“Iya,
Mbak.” Aku segera mandi dan turun ke bawah. Langit sedang memandangi foto sewaktu
kami masih SMA dulu yang terletak di atas meja. Foto itu diambil pada waktu
mereka memberikan pesta perpisahan padaku empat tahun lalu. Aku masih ingat
saat itu, aku begitu sedih harus meninggalkan sahabat SMA ku. Tapi yang paling
membuatku sedih saat Langit mengutarakan perasaannya pada Kiara tepat setelah
pesta berakhir. Dengan senyum miris aku mengucapkan selamat atas hubungan
mereka. Kenapa harus dia? Aku yang lebih dulu mengenal Langit, kami sudah
bersama-sama sejak SMP. Tapi kenapa harus dia yang Langit pilih?
“Sean.
Kamu masih ingat kan malam itu? Waktu foto ini diambil?” tanya Langit yang
ternyata menyadari kehadiranku. Aku pikir dia tidak tahu kalau aku ada di
belakangnya.
“Iya.
Ingat,” jawabku dan berdiri di sampingnya ikut memandang foto itu.
“Itu
hari dimana aku jadian dengan Kiara. Lihat, Kiara begitu sehat dan tegar di
foto ini.” Aku bingung mendengar Langit berkata demikian. Kiara begitu sehat
dan tegar di foto ini. Apa mungkin Kiara sedang sakit sekarang?
“Maksudnya?”
tanyaku penasaran.
“Hmm.
Ayo aku mau ajak kamu ke suatu tempat. Kamu masih capek ga?” tanya Langit
dengan ekspresi sedih.
Aku
menggeleng dan mengikuti langkahnya. Kami menelusuri jalanan yang lumayan sepi
pagi ini dengan mobilnya. Kami sampai di sebuah pemakaman elite tidak jauh dari
rumahku. Langit memberiku kerudung hitam dan dia sendiri membawa rangkaian
bunga lili. Itu kan bunga kesukaan Kiara? Aku mengatur detak jantungku, aku tidak
boleh berprasangka buruk.
Aku
tercekat saat kami sampai di sebuah makam. Tangisku pecah saat itu juga saat
membaca nama yang terukir di batu nisan makam itu. ‘Kiara Mahadewi meninggal
tanggal 30 Agustus 2012’ itu berarti lima bulan yang lalu. Langit meletakkan
rangkaian bunga lili itu di makam Kiara, dan dia mencoba menenangkan aku yang
semakin terisak-isak.
“Kenapa?
Kenapa Lang? Kamu ga kasih kabar ke aku kalau Kiara meninggal?” tanyaku parau
sambil memandang wajah Langit yang tegar.
“Waktu
itu kamu lagi sibuk untuk skripsi, aku ga mungkin ganggu kamu. Mama dan papa
kamu juga setuju untuk tidak memberi tahu kamu dulu,” jawabnya lemah.
“Tapi
Kiara kan sahabat aku, Lang!” jeritku marah kepada Langit.
“Kiara
meninggal karena sakit jantung nya, dia sempat koma seminggu waktu itu. Waktu
dia sadar dia bilang, jangan kasih tahu kamu karena kamu masih sibuk. Dia juga
menitipkan surat ini untuk kamu kalau sudah kembali ke Indonesia.” Langit
memberi sepucuk surat kepadaku. Aku tidak sanggup membaca surat itu di depan
makam Kiara. Jadi aku hanya menyelipkannya di tas tangan yang ku bawa. Setelah
aku berhenti menangis dan tenang, Langit membawaku pulang lagi.
Di
dalam mobil aku terus menatap ke luar jendela. Dalam ingatanku, Kiara adalah
gadis yang kuat dan tegar biarpun penyakit jantungnya kadang-kadang kambuh dia
tetap tertawa di hadapan kami. Aku ingat waktu dia jatuh sakit dan Langit
sangat mencemaskannya, dia menyuruhku menghibur Langit daripada menghibur
dirinya. Saat itu juga aku tahu bahwa mereka saling menyukai dan menyimpan
perasaan. Saat itu juga aku mulai membenci Langit karena dia memilih Kiara
daripada aku. Aku menyesali semuanya sekarang. Airmataku jatuh lagi dan aku
tidak bisa memungkiri ada rasa bersalah yang hinggap karena selama di Belanda
aku tidak sering berkomunikasi dengan Kiara. Bodod, bodoh, bodoh.
Aku
tidak berbicara sepatah katapun pada Langit setelah turun dari mobil. Mbok Tumi
yang menyapaku saja tidak aku gubris. Ada perasaan marah pada semua orang,
mereka menyembunyikannya dari aku. Mama, papa, Mbok Tumi, dan Langit. Tidak ada
satupun dari mereka yang memberitahu ku. Tidak ada di sisi Kiara, sahabat macam
apa aku ini?
Aku
mengunci pintu kamar dan menangis tersedu-sedu di atas kasur. Surat yang tadi
diberikan Langit belum ku sentuh sama sekali. Ada perasaan takut untuk
membacanya. Namun karena rasa keingintahuanku lebih besar, aku membuka sampul
surat itu dan membaca apa yang tertulis di surat itu. Ponselku bergetar saat
aku baru akan membaca, ku lihat ada nama Langit di sana. Aku meraih ponsel itu
dan membaca sms yang dikirimkan Langit padaku.
From :
Langit
Maaf.
Aku tahu kamu marah karena terlambat memberitahumu. But don’t cry. You must be
patient like I did before. :’)
Aku
membaca pesan itu dan merasa memalukan. Kenapa aku harus marah pada Langit, dia
juga pasti sedih ditinggal oleh Kiara. Harusnya aku menghibur dia meski sedikit
terlambat. Aku mengambil kembali surat tadi dan mulai membacanya. Tulisan
tangan Kiara begitu rapuh disana.
To : My Ocean
Hai, Sean.
Kamu apa kabar? Aku harap kamu selalu sehat dan baik.
Mungkin saat
kamu membaca surat ini, kita tidak bisa bertemu lagi. Maaf karena terlambat
memberitahumu. Tapi sedikit saja berikan aku maafmu sekali lagi seperti waktu
kamu memaafkan aku karena telah merebut Langit darimu. Aku tahu kamu menyukai
Langit sebelum kita bersahabat, dan tidak sepantasnya aku mengambilnya. Tapi
jujur, aku juga sangat menyukai Langit. Jadi biarlah Langit menjadi milikku
untuk beberapa waktu lalu.
Sekarang
setelah aku pergi jauh dari kalian, aku ikhlas jika kamu ingin mengambil lagi
Langit. Terima kasih sudah membiarkan aku memiliki kenangan indah bersama
Langit. Aku titip Langit padamu. Tapi jika kamu memang menemukan kebahagiaanmu
dengan orang lain, pastikan Langit juga bahagia. Karena sebenarnya aku bisa
melihat dalam matanya Langit, dia memilih kamu. Tidak tahukah kamu, dia sering
sekali membahas kamu saat kami bersama? Aku cemburu padamu, Sean karena kamu
mendapatkan lebih banyak tempat di hatinya. Terima kasih berkat kamu aku
bahagia.
Love.
Kiara
Aku melipat kembali surat itu dan
meletakkannya di dalam laci meja riasku. Ada perasaan kecewa karena ternyata
dulu Kiara mengetahui dengan jelas perasaannya pada Langit tapi tetap saja
berpura-pura tidak tahu dan ingin memiliki Langit seutuhnya. Tapi aku juga
senang karena Kiara mengikhlaskan bila Langit bersama denganku. Mulai sekarang
aku akan menjaga Langit demi kamu Kiara, batin Sean.
Hai kak.. Cerpen nya keren. Udah ada yang pernah di muat?
BalasHapusCeritanya bagus..
BalasHapus