Total Tayangan Halaman

Senin, 01 Juli 2013

Looking for You, My Happiness



Looking For You, My Happiness


Telingaku berdengung keras, aku memang tidak suka naik pesawat terbang. Ini bukan pertama kalinya aku melintasi batas Negara dan menjelajah dunia. Aku sudah menyelami macam-macam kehidupan karena orang tua ku yang sibuk dan selalu berpindah-pindah tempat tinggal sebagai tuntutan pekerjaan mereka. Sedikit demi sedikit aku bisa melihat pulau-pulau yang tampak kecil dari ketinggian ini. Aku tersenyum, betapa aku merindukan Negara ini, Indonesia. Tempat dimana aku di lahirkan, di beri masa remaja yang indah meski tanpa kasih sayang orang tua yang cukup sebagaimana anak lainnya tapi aku bahagia. Aku merindukan tanah airku lebih dari yang ku kira. Memang aku hanya tinggal disini saat aku menjadi anak SMP dan SMA tapi begitu banyak memori indah yang terekam disini.
            “I like this country.” Aku bergumam halus sambil menunggu menit-menit yang tersisa hingga aku bisa menginjakkan kaki lagi di tanah kelahiranku. Aku sudah membayangkan wajah kedua orangtua ku yang menunggu cemas di bandara Soekarno-Hatta. Perjalanan ini memang ku tempuh sendirian, karena aku harus menyelesaikan pendidikan sarjana ku di Amsterdam. Sementara orang tua ku harus segera kembali ke Indonesia demi pekerjaannya, jadi mereka tiba lebih dulu sebulan dari aku.
            Pesawat mendarat dengan selamat, dan aku bergegas menuju tempat koper diturunkan. Aku melihat koper ungu ku dan segera menariknya. Kacamata hitam masih melekat di atas kepalaku, aku kembali memakainya. Pakaianku memang sederhana tapi aku selalu pandai memadukannya sehingga tampak berkelas. Kali ini pun aku merasa sangat percaya diri mengenakan jaket bulu warna ungu yang di dalamnya aku memakai kaos putih biasa dan legging panjang warna hitam pekat. Aku tidak suka memakai highheels dan sepatu tinggi lainnya, jadi aku memakai sepatu teplek memudahkan ku berjalan.
            Aku mencari ke segala penjuru dan sudut bandara tapi aku tidak melihat wajah orang tua ku, padahal mereka berjanji akan menjemputku di bandara. Bodohnya aku mempercayai mereka, seharusnya aku tahu mereka lebih mencintai pekerjaan daripada aku anak sematawayang nya. Aku duduk di ruang tunggu dan mengeluarkan ponsel dari saku. Aku menyalakan ponsel yang sedari tadi dalam keadaan nonaktif. Tapi ponselku tetap tidak menyala, aku baru ingat bahwa aku lupa mengisi ulang baterainya sebelum berangkat tadi.
            “How stupid I am!” keluhku kesal.
            “Excuse me, might I sit here?” tegur seorang laki-laki yang kira-kira umurnya sepadan denganku menunjuk bangku di sebelahku. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena dia memakai kacamata hitam dan topi yang menutupi sebagian wajahnya. Tapi dari penampilannya yang modis dan membawa koper juga, aku yakin dia bukan orang jahat dan hanya ingin menunggu jemputan disini. Jadi, aku mengangguk mempersilahkan dia duduk.
            Hampir lima belas menit tapi aku belum melihat orang yang sekiranya menjemputku akan datang. Aku ingin menghubungi seseorang tapi ponselku mati, aku melirik kepada laki-laki yang duduk di sebelahku. Dia tampak tenang menunggu sambil terus mengetik sesuatu di ponselnya. Meskipun dengan rasa canggung aku nekad saja mengajaknya bicara.
            “Sorry. Might I borrow your mobile phone? I need call someone but mine was drop.” Aku melihatnya tersenyum sekilas dari sudut bibirnya yang mengembang lalu dia mengangguk dan memberikan ponselnya padaku.

            Aku segera menekan tombol call setelah memastikan angka yang ku ketik benar. Nada sambung terdengar tapi tidak ada yang mengangkatnya. Aku mencoba sebanyak tiga kali pada nomor papa dan mama tapi tidak ada yang mengangkat. Aku menaruh harapan terakhir pada nomor telepon rumahku tapi tetap saja hasilnya nihil. Aku mengembalikan ponsel pria itu dengan wajah pasrah sembari mengucapkan terima kasih.
            “Kemana mereka?” lirihku pelan.
            “Apa tidak ada yang menjemputmu?”
            Aku terkejut mendengar teguran itu, ternyata pria ini bisa berbahasa Indonesia. Mungkin dia mendengar aku bergumam dalam bahasa Indonesia pikirku.
            “Aku tidak tahu. Seharusnya ada,” jawabku sambil tersenyum masam.
            “Hahahaha.” Aku mendengarnya tertawa pelan bukan terbahak-bahak membuatku bingung apa yang salah dengan jawabanku.
            “Maaf aku tidak bermaksud menertawakanmu tapi sepertinya kita senasib. Aku juga tidak tahu siapa yang akan menjemputku disini.” Dia mengatakannya dengan suara yang sakartis atau mungkin miris. Entahlah aku juga tidak bisa memastikannya karena raut wajahnya tidak bisa ku lihat. Jadi, aku hanya bisa tersenyum padanya.
            “Sean?” aku mendengar seseorang memanggil namaku ragu-ragu dari pintu masuk ruang tunggu yang jaraknya tidak begitu jauh dari tempat ku duduk. Aku menoleh dan terkesima dengan apa yang ku lihat. Di pintu itu berdiri seorang pria memakai kemeja biru dan celana panjang warna hitam dengan sepatu kets warna putihnya. Dia masih tampan seperti yang dulu dan senyumannya masih mempesona dengan deretan gigi putihnya yang rapi. Dari dulu dia memang begitu mempesona dan juga begitu… aku rindukan.
            Aku berdiri dari tempat duduk dan menarik koper ungu ku menghampirinya. Aku melangkah pasti menuju tempat dia berdiri, aku berusaha mengendalikan langkah kakiku agar tidak berlari mendekapnya. Di hadapannya aku tersenyum tenang dan berkata, “Long time not see you, Langit.”
            Aku tidak menduga apa yang akan terjadi selanjutnya begitu merobohkan tameng yang ku bangun selama ini. Dia dengan santainya memelukku erat dan berbisik di telingaku dengan suara yang sepertinya menyampaikan bahwa dia benar-benar merindukanku selama ini sama seperti aku merindukannya.
            “I miss you so bad,” bisiknya dalam padaku.
            Aku tidak bisa membalas ucapannya karena rasa sesak di dadaku begitu bergemuruh membuat aku tidak sanggup menahan tetesan air mata yang akan turun. Aku terisak di dalam pelukannya dan membiarkan dia mengelus kepalaku lembut. Aku tidak begitu perduli pada tatapan aneh dari orang-orang yang melihat kami, bagiku biarlah saat ini aku menjadi orang yang egois sekali saja sebelum aku kembali melepaskannya, Langit. Satu-satunya sahabat yang begitu aku benci tapi juga begitu aku rindukan.
            “Kenapa kamu menangis, Sean? Apakah terlalu lama bagimu untuk bisa bertemu aku lagi?” tanya Langit sambil memegang kedua pipiku dan menghapus airmata yang ada disana dengan tangannya. Dia tersenyum manis padaku dan kembali memelukku lagi.
            “Empat tahun itu lama, Lang.” ucapku di sela tangis yang tak bisa menutupi rasa kebahagiaan saat aku bisa melihat lagi pria ini.
            “I’m sorry. So sorry Sean. Let me show you something.” Dia meminta maaf dengan sungguh-sungguh dan menarik koperku, kami bergandengan tangan keluar dari ruang tunggu. Dan betapa terkejutnya aku saat keluar ternyata papa, mama, dan mbok tumi berdiri di samping mobil dengan spanduk bertuliskan ‘Welcome back Ocean Larasati, My everything’. Mereka tersenyum padaku dan aku segara menghambur ke pelukan mereka. Aku bahagia karena ternyata mereka lebih mencintai aku daripada pekerjaan.
            Aku menikmati pemandangan setiap sudut rumah lamaku, tidak ada yang berubah masih sama seperti empat tahun lalu. Aku menarik koper ke lantai atas menuju kamarku. Betapa aku merindukan kamarku, dulu aku sering bermain bersama sahabat-sahabatku disini. Mereka sering menginap disini dan berbagi cerita tentang anak laki-laki yang disukai. Dan disini juga aku pernah menangis karena salah satu sahabatku menyebut nama Langit sebagai orang yang disukainya. Oh iya, tadi aku tidak melihat sahabatku itu menjemput ku di bandara? Kemana dia?
Sudah berakhirkah hubungannya dengan Langit? Aku menyesal pernah bertengkar dengannya demi seorang Langit. Tapi sebelum aku pergi ke Belanda empat tahun lalu, aku bahagia melihatnya datang ke bandara mengantarkan kepergianku. Meskipun saat itu aku merasa sakit hati melihat tangannya menggandeng tangan Langit mesra.
            “Mbak Sean?” panggil Mbok Tumi disertai ketukan pintu kamarku.
            “Iya, Mbok.” Aku membukakan pintu setelah melepaskan jaket.
            “Mbok kangen sama Mbak. Mbok mau dengar cerita Mbak waktu di Negara kompeni.” Mbok Tumi tersenyum dan duduk di atas kasurku. Aku mulai bercerita sebagian pengalamanku saat di Belanda. Bagaimana aku merasa kesepian tanpa sahabat dan bagaimana berkesannya pemandangan di sana. Aku merasa mengantuk dan menyadarkan kepalaku di pangkuan Mbok Tumi sambil bercerita.
            “Wah, enak sekali Mbak disana. Kapan-kapan ajak Mbok juga ya,” ujar Mbok Tumi sambil mengelus rambutku.
            “Hahaha. Iya, Mbok. Ngomong-ngomong, kenapa tadi terlambat jemput Sean di bandara Mbok?” tanyaku dengan mata terkatup.
            “Gara-gara si Langit itu Mbak. Dia telat datangnya padahal mama, papa dan Mbok udah nunggu setengah jam sebelum pesawat Mbak landing lho. Langit nelponin nyonya supaya jangan jemput Mbak dulu sebelum dia datang. Dia ingin jadi yang pertama di lihat Mbak, gitu katanya.”
            Mataku yang tadi terkatup langsung terbuka lebar dan duduk tegak menghadap Mbok Tumi. Mendengar itu hatiku sedikit berbunga-bunga. Apa mungkin Langit sudah putus dengan dia dan menyadari bahwa Langit menyukaiku. Jantungku berdebar kencang menunggu kelanjutan kata-kata Mbok Tumi. Tapi dia hanya tersenyum jahil padaku.
            “Kok mama mau nurutin kata-kata Langit sih, Mbok?” pancingku membuat Mbok cekikikan. Aku mencubit gemas lengan Mbok Tumi agar segera menjawab pertanyaanku.
            “Nyonya sama Tuan malah senang disuruh nungguin, kan Langit itu menantu idamannya mereka. Mbak lupa ya dulu mereka sering ngundang Langit makan malam bareng kita.”
            “Iya sih Mbok. Tapi kan mama begitu sebelum Langit jadian sama sahabatnya Sean. Setelah itu kan, mama biasa aja sama Langit. Ckckck,” dengusku kesal melihat orangtua ku masih saja mengharapkan Langit jadi menantunya.
            Aku bingung melihat ekspresi Mbok Tumi jadi sedih begitu. Dia berdalih ingin membereskan dapur saat ku tanyai kenapa raut wajahnya berubah begitu. Aku tahu pasti terjadi sesuatu selama aku tidak disini. Setelah Mbok keluar dari kamar aku menyalakan ponsel yang sudah ku isi ulang baterainya. Terlintas di pikiranku untuk menghubungi Kiara, lebih tepatnya pacar Langit. Biar bagaimanapun dia tetap sahabatku. Tidak ada nada sambung yang terdengar nomor ponselnya sudah tidak aktif lagi. Kenapa Kiara tidak menjemputku? Kenapa nomor ponsel Kiara tidak aktif? Jangan-jangan Kiara masih menyimpan rasa marah padaku karena dulu pernah memperdebatkan Langit. Aku mencoba mengusir jauh-jauh prasangka itu. Tanpa sadar aku tertidur karena kelelahan yang begitu terasa.
+++
            Jarum jam menunjukkan pukul sembilan pagi ketika aku terbangun karena suara ketokan pintu kamarku. Aku mendengar suara Mbok Tumi.“Langit nunggu di bawah Mbak, apa Mbok suruh pulang saja ya kalau Mbak capek?” tanya pembantu kesayanganku itu.
            “Suruh tunggu sebentar, Sean mau mandi dulu.”
            “Iya, Mbak.” Aku segera mandi dan turun ke bawah. Langit sedang memandangi foto sewaktu kami masih SMA dulu yang terletak di atas meja. Foto itu diambil pada waktu mereka memberikan pesta perpisahan padaku empat tahun lalu. Aku masih ingat saat itu, aku begitu sedih harus meninggalkan sahabat SMA ku. Tapi yang paling membuatku sedih saat Langit mengutarakan perasaannya pada Kiara tepat setelah pesta berakhir. Dengan senyum miris aku mengucapkan selamat atas hubungan mereka. Kenapa harus dia? Aku yang lebih dulu mengenal Langit, kami sudah bersama-sama sejak SMP. Tapi kenapa harus dia yang Langit pilih?
            “Sean. Kamu masih ingat kan malam itu? Waktu foto ini diambil?” tanya Langit yang ternyata menyadari kehadiranku. Aku pikir dia tidak tahu kalau aku ada di belakangnya.
            “Iya. Ingat,” jawabku dan berdiri di sampingnya ikut memandang foto itu.
            “Itu hari dimana aku jadian dengan Kiara. Lihat, Kiara begitu sehat dan tegar di foto ini.” Aku bingung mendengar Langit berkata demikian. Kiara begitu sehat dan tegar di foto ini. Apa mungkin Kiara sedang sakit sekarang?
            “Maksudnya?” tanyaku penasaran.
            “Hmm. Ayo aku mau ajak kamu ke suatu tempat. Kamu masih capek ga?” tanya Langit dengan ekspresi sedih.
            Aku menggeleng dan mengikuti langkahnya. Kami menelusuri jalanan yang lumayan sepi pagi ini dengan mobilnya. Kami sampai di sebuah pemakaman elite tidak jauh dari rumahku. Langit memberiku kerudung hitam dan dia sendiri membawa rangkaian bunga lili. Itu kan bunga kesukaan Kiara? Aku mengatur detak jantungku, aku tidak boleh berprasangka buruk.
            Aku tercekat saat kami sampai di sebuah makam. Tangisku pecah saat itu juga saat membaca nama yang terukir di batu nisan makam itu. ‘Kiara Mahadewi meninggal tanggal 30 Agustus 2012’ itu berarti lima bulan yang lalu. Langit meletakkan rangkaian bunga lili itu di makam Kiara, dan dia mencoba menenangkan aku yang semakin terisak-isak.
            “Kenapa? Kenapa Lang? Kamu ga kasih kabar ke aku kalau Kiara meninggal?” tanyaku parau sambil memandang wajah Langit yang tegar.
            “Waktu itu kamu lagi sibuk untuk skripsi, aku ga mungkin ganggu kamu. Mama dan papa kamu juga setuju untuk tidak memberi tahu kamu dulu,” jawabnya lemah.
            “Tapi Kiara kan sahabat aku, Lang!” jeritku marah kepada Langit.
            “Kiara meninggal karena sakit jantung nya, dia sempat koma seminggu waktu itu. Waktu dia sadar dia bilang, jangan kasih tahu kamu karena kamu masih sibuk. Dia juga menitipkan surat ini untuk kamu kalau sudah kembali ke Indonesia.” Langit memberi sepucuk surat kepadaku. Aku tidak sanggup membaca surat itu di depan makam Kiara. Jadi aku hanya menyelipkannya di tas tangan yang ku bawa. Setelah aku berhenti menangis dan tenang, Langit membawaku pulang lagi.
            Di dalam mobil aku terus menatap ke luar jendela. Dalam ingatanku, Kiara adalah gadis yang kuat dan tegar biarpun penyakit jantungnya kadang-kadang kambuh dia tetap tertawa di hadapan kami. Aku ingat waktu dia jatuh sakit dan Langit sangat mencemaskannya, dia menyuruhku menghibur Langit daripada menghibur dirinya. Saat itu juga aku tahu bahwa mereka saling menyukai dan menyimpan perasaan. Saat itu juga aku mulai membenci Langit karena dia memilih Kiara daripada aku. Aku menyesali semuanya sekarang. Airmataku jatuh lagi dan aku tidak bisa memungkiri ada rasa bersalah yang hinggap karena selama di Belanda aku tidak sering berkomunikasi dengan Kiara. Bodod, bodoh, bodoh.
            Aku tidak berbicara sepatah katapun pada Langit setelah turun dari mobil. Mbok Tumi yang menyapaku saja tidak aku gubris. Ada perasaan marah pada semua orang, mereka menyembunyikannya dari aku. Mama, papa, Mbok Tumi, dan Langit. Tidak ada satupun dari mereka yang memberitahu ku. Tidak ada di sisi Kiara, sahabat macam apa aku ini?
            Aku mengunci pintu kamar dan menangis tersedu-sedu di atas kasur. Surat yang tadi diberikan Langit belum ku sentuh sama sekali. Ada perasaan takut untuk membacanya. Namun karena rasa keingintahuanku lebih besar, aku membuka sampul surat itu dan membaca apa yang tertulis di surat itu. Ponselku bergetar saat aku baru akan membaca, ku lihat ada nama Langit di sana. Aku meraih ponsel itu dan membaca sms yang dikirimkan Langit padaku.
From : Langit
Maaf. Aku tahu kamu marah karena terlambat memberitahumu. But don’t cry. You must be patient like I did before. :’)
            Aku membaca pesan itu dan merasa memalukan. Kenapa aku harus marah pada Langit, dia juga pasti sedih ditinggal oleh Kiara. Harusnya aku menghibur dia meski sedikit terlambat. Aku mengambil kembali surat tadi dan mulai membacanya. Tulisan tangan Kiara begitu rapuh disana.

To : My Ocean

Hai, Sean. Kamu apa kabar? Aku harap kamu selalu sehat dan baik.
Mungkin saat kamu membaca surat ini, kita tidak bisa bertemu lagi. Maaf karena terlambat memberitahumu. Tapi sedikit saja berikan aku maafmu sekali lagi seperti waktu kamu memaafkan aku karena telah merebut Langit darimu. Aku tahu kamu menyukai Langit sebelum kita bersahabat, dan tidak sepantasnya aku mengambilnya. Tapi jujur, aku juga sangat menyukai Langit. Jadi biarlah Langit menjadi milikku untuk beberapa waktu lalu.
Sekarang setelah aku pergi jauh dari kalian, aku ikhlas jika kamu ingin mengambil lagi Langit. Terima kasih sudah membiarkan aku memiliki kenangan indah bersama Langit. Aku titip Langit padamu. Tapi jika kamu memang menemukan kebahagiaanmu dengan orang lain, pastikan Langit juga bahagia. Karena sebenarnya aku bisa melihat dalam matanya Langit, dia memilih kamu. Tidak tahukah kamu, dia sering sekali membahas kamu saat kami bersama? Aku cemburu padamu, Sean karena kamu mendapatkan lebih banyak tempat di hatinya. Terima kasih berkat kamu aku bahagia.

                                                                            Love.
                                                                            Kiara

Aku melipat kembali surat itu dan meletakkannya di dalam laci meja riasku. Ada perasaan kecewa karena ternyata dulu Kiara mengetahui dengan jelas perasaannya pada Langit tapi tetap saja berpura-pura tidak tahu dan ingin memiliki Langit seutuhnya. Tapi aku juga senang karena Kiara mengikhlaskan bila Langit bersama denganku. Mulai sekarang aku akan menjaga Langit demi kamu Kiara, batin Sean.

2 komentar: