He’s The First
Entah mengapa jantungku berdetak lebih cepat dari periode
biasanya. Entah mengapa hatiku bergetar lebih hebat dari frekuensi biasanya.
Sapuan abu-abu di langit menyingkap tirai duka, memberi hipotesis bahwa titik
awan akan menjadi hujan. Walau demikian
suasana di lapangan utama SMP Pertama ini sungguh bersukaria. Di setiap sudut
sekolah, banyak anak berseragam putih biru mengkilap bersih sedang memegang
erat tasnya. Di antara mereka itu ku lihat Wulan sedang berjalan mendekatiku.
Oh, sahabatku J
“Hai,
Indi! Aku seneng kita satu sekolahan lagi,” sapa Wulan padaku.
“Its
my pleasure too!” senyuman manis ku hadiahkan pada Wulan, sehabatku dari taman
kanak-kanak hingga sekarang.
Kami
bergandengan tangan menyusuri koridor sekolah melirik kiri-kanan mencari adakah
teman yang kami kenal lagi. Namun pencarian kami terpaksa tertunda dikarenakan
suara keras dari microphone menyuruh kami berkumpul di lapangan utama. Dengan
tergesa-gesa kami membaur di barisan siswa-siswi baru di lapangan.
Guru olahraga yang ku ketahui namanya Ibu Nuroni itu menjelaskan rangkaian kegiatan yang akan kami lakukan sore hari ini untuk menghadapi masa 3 hari MOS yang akan dimulai senin nanti. Aku dan Widya berpegang erat berharap kami sekelas. Kemudian pada akhir pengarahan Bu Nuroni menyebutkan daftar nama murid baru beserta di kelas mana mereka ditempatkan nantinya. Dari daftar nama yang disebutkan oleh Bu Nuroni, aku dimasukkan ke kelas 7F. Dengan berat hati ku lepaskan gandengan tangan itu dan berjalan keluar dari barisan menuju kelasku.
“Ah,
melelahkan sekali jika harus berada di kelas tersingkir begini,” gerutuku dalam
hati sambil menaiki satu persatu anak tangga.
Kelas
7F berada di tingkat kedua SMP Pertama, kelas kami berada di antara dua
ruangan. Paling pojoknya adalah ruang multimedia dan di kiri kelas kami adalah
ruang kelas 8F. Bagaimana bisa kelas kami berda di wilayah menyeramkan begini,
sungguh sadis.
Aku
melangkah masuk dan ku dapati seluruh mata yang sudah menempati tempat duduk
memandang ke arahku. Dengan senyuman kikuk aku berjalan dan memilih duduk di
barisan ketiga dari pintu masuk dan berada nomor dua dari depan. Sengaja aku
duduk agak di depan agar dapat menerima pelajaran dengan baik.
Setelah
risih menunggu, datang seorang siswi perempuan yang terlihat seperti keturunan
cina dengan mata sipitnya itu duduk di bangku sebelahku. Rasa gugup mulai
menyerang sendi-sendi pertulanganku, aku tidak kenal dia. Sebelum sempat aku
berkenalan, ku lihat sesosok tubuh sedikit gemuk dengan rambut keriting dan
kulit sawo matangnya memasuki kelasku. Aku tersenyum lega dan melambaikan
tangan pada gadis itu, Wulan.
“Maaf
ya, dia temanku. Aku berencana duduk berdua dengannya, bisa pindah kan?” ujarku
lembut sambil menunjuk ke arah Wulan yang sedang berdiri di sisi meja kami.
“Oh,
iya. Tidak apa-apa,” sahut gadis bermata sipit itu seraya beringsut dari
bangkunya.
Wulan
tersenyum sungkan pada gadis itu lalu mengambil alih tempat duduk di sampingku.
Sungguh dengan kehadiran Wulan di kelas ini, aku mendapat atmosfer segar. Ku
lirik gadis bermata sipit yang ku lihat di name tagnya bernama Tamara itu
menempati tempat duduk di deretan samping kanan kami. Seulas senyuman permintaan
maaf ku haturkan padanya, dan disambut dengan senyuman manis nan bersahaja dari
gadis cina itu.
“Kok
bisa ya kita sekelas lagi?” teguran tipis dari Wulan mengalihkan pandanganku.
“Soulmate
always together!” sahutku dengan satu kerlingan nakal membuatnya tertawa pelan
dan memukul ringan pundakku.
Saat
itulah waktu terasa berhenti berputar dan berjalan di tempat pada dimensi yang
sama. Senyumanku pudar berganti seribu watt aliran aneh di sekujur tubuhku saat
seseorang melangkah masuk ke dalam kelas. Tingginya kurang lebih sebahuku,
tubuhnya kurus bagai tulangnya hanya berlapis kulit putih. Rambutnya hitam
lebat dan bulu matanya melengkung lentik dengan kedua bola mata jernih seperti
air. Siswa laki-laki itu duduk di dereten sebelah kiriku berselang satu bangku
dari tempatku terpesona.
“Woi,
liatin apa kamu In?” ujar Wulan membuyarkan segala slow motion yang barusan
terjadi.
“Eh,
bukan apa-apa, Lan. Coba kamu liat ke sebelah kamu, ada seorang anak yang
mirip… mirip---“ ucapanku menggantung begitu saja. Entah mengapa kecerdasanku
berkurang 99,99% saat menentukan mirip siapakah siswa laki-laki itu. Dia
memakai kacamatanya sesaat kemudian dan memandang lurus ke jendela sampingnya.
“Oh!
Mirip Harry Potter tu!” sahut Wulan setengah bersemangat dan melirikku dengan
sudut matanya yang hitam.
“Iyaaaa!
Mirip Harry Potter! Kok bisa lupa ya,” desahku kecewa karena ketidakberdayaanku
justru menampakkan diri di permukaan saat sedang adegan penting begini.
“Ciee,
kenapa kamu jadi salah tingkah begini?” tembak Wulan pas kena sasaran.
Dapat
ku rasakan semburat merah panas di wajahku pasti memberikan jawaban yang jelas
pada Wulan. Wulan pasti dapat langsung menerka-nerka apa yang sedang berkecamuk
di antara otakku yang rumit ini. Benar saja dia mengulum senyum ganjil sesaat
kemudian membuatku menepuk punggungnya.
“Bukan
mirip Harry Potter-nya kan yang bikin kamu klepek-klepek begini?” goda Wulan
dengan segurat senyuman jahil diwajahnya.
“Eh…
Bukanlah! Eh eh eh, maksudku itu… Ah sudahlah, aku hanya bisa berkata dia cukup
menarik hati,” ucapku jujur sambil menopang dagu dan menjatuhkan wajah di atas
meja kayu di depanku.
“I
think it’s the first time you catch someone on your view,” sindir Wulan sambil
mengetuk-ngetuk jari telunjukknya di mejaku.
“Sungguh
ini pertama kalinya,” keluhku sambil menutup wajah dengan telapak tangan
setelah ketahuan melirik siswa laki-laki itu untuk yang kedua kalinya.
Sampai
saat itu, tidak pernah sekalipun aku terjerat oleh aura magis dari siswa
laki-laki manapun. Wajarlah, kan aku baru lulus SD kali. Tapi saat ini berbeda,
hanya dengan sekilas aku dapat merasakan ada yang beda dengan dia. Laki-laki
itu siapa dia? Sungguh penasaran.
“Udah
lah, jangan diliatin terus. Ntar dikira kamu nge-fans lagi sama dia. Malu tau,”
kata Wulan memperingatkanku atas sikap over-lebay yang ku tunjukkan. Hanya
cengiran bersalah yang ku tunjukkan pada Wulan saat itu. Inikah yang dinamakan
cinta pada pandangan pertama?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar