Part 9 ~Welcome Back~
Sedaritadi
ruangan ini sudah sesak, banyak perawat yang mondar-mandir. Mama tidak kalah
khawatir, meskipun dokter sudah berusaha menenangkannya masih saja kegelisahan membayanginya.
Sebentar lagi, aku akan dioperasi dan itu pun membuat aku sedikittttt takut.
Takut tidak bisa membuka mata lagi, dan takut tak bisa melihat wajah Bulan
ataupun mendengar suaranya. Suara Bulan, aku rindu dia.
Aku
mengaktifkan ponselku, muncul puluhan pesan yang membuatku tersenyum. Bulan
sungguh mengkhawatirkan aku, terbukti dari rentetan sms nya yang jika bisa
dikatakan sangat paranoid.
Dengan
sedikit takut aku menekan tombol hijau dan nada sambung terdengar. Aku mencoba
menghubungi Bulan untuk yang pertama setelah berminggu-minggu aku menahannya.
“Halo,”
terdengar suara lirih dari seberang sana.
Aku tersenyum, pasti Bulan baru bangun tidur sekarang, “Hai, Lan. Kamu apa kabar?” tanyaku sembari melirik para perawat yang sebentar lagi akan mendorong ranjangku menuju ruang operasi.
“Ari????!!!!
Kamu jahat, aku bisa gila kalau kamu begini. Kamu ga tau ya aku panik, takut,
dan kesal sama kamu! Aku pikir tadi pasti sekedar ilusi, ternyata kamu
benar-benar meneleponku setelah hampir… tunggu! Aku hitung dulu, hm.. 20 hari!!
Tau?!” rentetan omelan dan makian terdengar sangat menenangkanku.
Aku
bahagia Bulan ternyata tidak melupakanku barang sedetikpun, aku melihat perawat
mengerling memberi tanda agar aku mematikan ponsel di telingaku. Aku tersenyum
dan meminta waktu sebentar pada mereka, Mama hanya bisa menahan tangis
khawatirnya.
“Lan,
aku rindu kamu…” kataku menggantung kalimat yang mungkin tidak bisa ku ucapkan
mendengar Bulan mendengus kesal.
Dia
tidak menyahut, mungkin Bulan sangat marah padaku. Aku menghembuskan nafas
berat sambil berkata, “Tunggu ya, tidak lama lagi aku kembali.”
Aku
memutuskan sambungan sebelum mendengar jawaban dari Bulan, aku memberi ponsel
kepada Mama dan memejamkan mata saat memasuki ruang operasi. Sungguh menakutkan
saat harus berada dalam masa dimana Bulan tidak ada disana.
“Haloooo?
Ari???!!” aku menghempaskan ponselku di ranjang setelah yakin tidak ada lagi
sahutan suara yang ku rindukan.
Tadi
aku sedang tertidur lelap saat bunyi nada dering khusus untuk Matahari
terdengar sayup-sayup di telingaku.
“Dia
kenapa ya?” gumamku dalam hati.
Sejuta
pikiran dan dugaan melesat memenuhi otakku. Mungkinkah Ari sudah melupakanku?
Tapi tadi dia bilang rindu. Mungkinkah Ari tidak punya waktu hanya untuk
berbicara denganku? Tapi tadi dia bilang…. Ha! Dia bilang akan segera kembali.
Aku mencerna kata-katanya yang tadi sempat ku anggap angin lalu karena rasa
kantuk masih mendominasiku.
Senyum
bahagia mengembang di wajahku, ku lirik jam beker ku masih setia pada angka 5
pagi. Berita yang menyenangkan membawa angin pagi yang menyejukkan! Aku
meluncur menuju kamar mandi, pagi ini bawaannya tersenyum terus.
“Bulan
kamu lagi ga sakit kan?” tanya Bunda padaku saat aku keluar kamar dengan
seragam yang sudah lengkap sementara sekarang baru pukul 6 pagi.
Ini
pasti mengherankan sekali mengingat aku baru akan bangun pukul segini biasanya,
itupun Bunda yang akan menggedor-gedor kamarku seperti debt collector menagih
hutang. Senyum merekah membalas raut keheranan Bunda.
“Bunda,
masak apa pagi ini?” tanyaku basa-basi.
“Ha?”
Bunda hanya bisa melongo.
Lalu
Bunda duduk di sampingku menanyakan durian runtuh jenis apa yang telah
menimpaku. Mulanya aku ragu, tapi karena didesak akhirnya mengalirlah ceritaku
tentang Ari yang tadi pagi menelepon membawa kabar bahagia.
“Lan, kamu ini bagaimana. Sekarang mungkin
kamu akan lebih sulit memilih antara Bintang atau Matahari. Jangan terlalu
senang sekarang, lebih baik pikirkan dulu…”
Penuturan
Bunda hanya bisa membuatku menjadi gusar. Sejak kejadian di UKS waktu itu, aku
dan Kak Bintang sangat dekat sekarang. Dia yang mengantar-jemputku setiap hari,
Nesa saja beranggapan bahwa aku lebih bahagia saat bersama Bintang ketimbang
dulu saat bersama Matahari.
Bunyi
klakson motor yang sudah ku kenal membuyarkan lamunanku saat nasi di piring
baru setengah ku santap. Dari tadi aku sibuk menilai, menimbang, dan mengutuk
diri. Apa yang harus ku lakukan?
Aku
berjalan lemas dan duduk di belakang motornya Kak Bintang. Senyumnya pagi ini
membuat aku tambah galau. Kenapa aku jadi bingung memilih? Bukankah dari awal
aku memang hanya melabuhkan hati untuk Matahari. Tapi sekarang…
“Lan,
kamu ngelamunin apa sih?” tegur Kak Bintang.
Aku
tidak sadar bahwa sekarang kami sudah sampai di pelataran parkir sekolah.
Buru-buru aku turun dan berpura-pura tidak memikirkan apa-apa. Nesa yang baru
keluar dari mobilnya langsung ku gandeng menjauh agar Kak Bintang tidak
bertanya lebih banyak lagi. Sekilas ku lihat wajah Kak Bintang muram gara-gara
dikacangin begitu.
“Nes,
gawat!” celetukku sambil menyeretnya berjalan lebih cepat.
Nesa
hanya bisa melipatkan kening dan memonyongkan mulutnya siap menyemburku
lantaran pagi-pagi sudah mengganggu jadwalnya bertemu dengan Dika di koridor
kelas.
“Ntar
aja ketemu Dikanya, ini lebih darurat!” sergahku saat Nesa menunjuk Dika yang
melambai-lambaikan tangan dari depan pintu kelasnya. Aku menyuruhnya duduk di
depan kursi panjang yang ada di koridor.
Dengan
saksama dan ekspresi yang berganti-ganti Nesa mendengarkan ku, semua
kegalauanku ceritakan dan berbuah tawa garing darinya.
“Lo
itu oon banget sih! Kan lo ga pacaran sama Kak Bintang, kenapa galau memilih?”
ledeknya sambil memicingkan mata.
“Oh,
jangan-jangan lo udah jatuh hati ya sama Kak Bintang!” teriak Nesa melengking
membuat semua mata yang melewati koridor tertuju pada kami.
Aku
hanya bisa memukul kepalanya ringan sambil cengar-cengir berlagak polos dengan
tatapan heran semua mata, mereka kembali meneruskan aktifitasnya dan Nesa hanya
bisa terkekeh geli. Menyebalkan!
**
“Ang!
Sini gabung!” panggil Seto dari ujung koridor dekat koperasi.
Aku
melambaikan tangan dan berjalan santai menuju Seto dan Arya yang tampak sedang
menikmati makan siangnya. Aku memesan roti bakar isi keju dan jus apel
kesukaanku. Koperasi kami memang gaul abis, kayak kantin. Yaiyalah! Wong sebelahnya
ada food court gitu lhoo.
“Ada
gossip baru ga nih?” tanya Arya sambil mengangkat mangkuk bakso yang asapnya
masih mengepul menuju mejanya.
“Gila
lo pada! Kok hobinya ngegosip sih sekarang!” sahutku sambil memandang geli pada
kedua sohibku itu.
Mereka
lalu hanya bergumam sambil tersenyum penuh arti. Yaa, aku tau dari gelagatnya
pasti mereka mau membahas tentang kemajuan hubunganku dengan Bulan. Rasanya
sesak sekali mesti berulang kali mendramatisir suasana seperti ini, setiap kali
hendak bercerita pasti aku tidak bisa menahan kesal karena hanya mampu menyebut
Bulan sebagai sahabat bukan pacar….
“Hai,
semuaaaaa! Boleh gabung kan?” tanya dita dengan nada ceria dan tangannya
memegangi sepiring nasi goreng dan es teh manis serta keripik-keripik yang ga
jelas.
“Boleh
dong!” sahut Seto antusias. Ketauan banget deh si gembul itu naksir Dita. Ihh!
“Lho
Syif, kok lo duduk disitu? Sini dong!” teriak Dita pada Syifa yang hendak duduk
di bangku pojok 5 meter dari kami.
Matanya
menegang sesaat ketika tatapan kami bertabrakan. Lalu, kemudian dia tersenyum
ragu sambil berjalan membawa makanannya bergabung dengan kami. Aku bisa
merasakan Syifa masih enggan berdekatan denganku, tapi mungkin dia juga sudah
berpikiran dewasa dan mulai terbuka lagi.
“Woi,
Ang! Lo kok merhatiin Syifa kayak anak burung gitu,” ledek Arya yang memang
blak-blakan dalam mencibir.
Syifa
terkekeh geli dan disambut tawa Seto yang membahana. Aku bersungut-sungut
sambil menyeruput jus apel kesukaanku. Dita hanya bisa menatapku dengan tatapan
yang bisa diartikan sebagai jangan-memberi-harapan-palsu-padanya, aku bisa
mengerti ekspresi itu karena Dita lah yang getol mematahkan semangat Syifa
untuk menungguku berpaling padanya. Sahabat yang baik kan?
Kami
makan sambil diselingi tawa kecil karena perbincangan kami yang hangat.
Terkadang Syifa sudah mulai menimpali ucapanku sedikit, kemajuan bagi
persahabatan kami bukan? Aku berusaha agar hubunganku dengan Syifa kembali
seperti dulu persahabatan yang manis tanpa unsur asmara.
Lalu
tiba-tiba topik perbincangan kami mulai menyenggol tentang hubunganku dengan
Bulan, Dita yang antusias bertanya dan mendengarkan penuh minat tentang ini.
“Jadi,
lo ga jadian sama Bulan? Tapi kalian jarang bareng gitu?” tanya Dita dengan
wajah heran.
“Hmm,
begitulah!” jawabku singkat, padat, dan jelas.
“Itu
namanya lo cuma jadi selingkuhan dia dong! Toh kalau Ari sudah kembali lo
ditinggal, iya kan?” tanya dita lagi-lagi membuatku hanya bisa menggerutu dalam
hati.
“Gue
bukan selingkuhan dia, gue sih mau-mau aja! Tapi dianya setia tuh sama pacar
dunia berantahnya yang ga tau sekarang dimana, kalau Bulan setia terus begini,
mungkin…” aku menggantung kalimatku saat semua mata memandangku penuh minat dan
rasa ingin tahu yang besar sampai seperti ada tanda tanya yang melayang di atas
kepala mereka.
“Mungkin
gue bisa relain dia buat Matahari!” celetukku kontan membuat mereka saling
pandang.
“Lho
kok begitu? Lo ga sakit hati ya? Aduhh! Gue sih maunya bilang lo bego, tapi
gimana ya…” ungkap Seto sambil meremas-remas tangannya gemas.
“Hahahah.
Nyantai aja kali, slow! Gue juga udah bahagia bisa sedekat ini sama dia,”
potongku sambil mengelap mulut dengan tisu.
Aku
sudah selesai makan dan hendak beringsut saat terdengar suara lirih Syifa yang
menusukku tepat di ulu hati. Di segala sumber derita yang pernah bersemayam,
namun semua sudah bisa terobati sejak Bulan ada. Makanya, kalau dulu aku
mendengar kalimat Syifa aku bakalan roboh tapi sekarang aku kuat dan bebas.
“Lo
bahagia kan diberi kesempatan bersama Bulan sekali lagi? Apa cuma ini yang lo mau?”
tanya Syifa lirih namun tajam menyayat.
Aku
menghembuskan nafas dengan susah payah setelah sadar bahwa tadi aku menahan
nafas beberapa lama. Mungkin ini sudah seharusnya berakhir, dibasmi sampai ke
akar-akarnya hingga tidak bisa tumbuh dan berkembang lagi.
“Gue
bahagia. Ya, meskipun hanya sebagai sahabatnya gue bahagia. Karena Bulan ada,
dia masih menghirup udara yang sama kayak gue. Itu cukup, asal dia ada!”
jawabku sambil memandangnya penuh rasa lega karena sekarang ku lihat Syifa
menitikan airmata.
Aku
tidak menerka-nerka airmata apa itu, karena sejujurnya aku tahu kalimatku tadi
sudah menyapu bersih semua rasa keingintahuannya. Semua sumber kegelisahannya
mungkin sudah dicabut habis, karena ku lihat dia tersenyum lemah setelah
mengelap bulir-bulir airmata itu. Tatapannya berbicara bahwa dia juga bahagia
sekarang karena aku ada untuknya.
Reaksi
kami berdua mengundang tatapan polos dan tak berdosa dari sahabat-sahabat kami
yang berada disini. Seto hanya bisa mengerutkan dahinya sampai alisnya yang
hitam tebal itu bertaut menjadi satu. Arya hanya mematung sambil menatap Syifa
dengan ekspresi tanda tanya. Dan yang terkahir ini yang bikin aku bakalan
terpingkal-pingkal, Dita hanya menopangkan dagu sambil memegang keningnya
sendiri. Apa dia sudah gila karena tidak mengerti sikon sekarang?
***
Aku
menunggu Bulan di depan kelasnya, hari ini tidak biasanya cuaca dingin dan langit
tampak berduka. Firasatku pun mengatakan bahwa ada yang akan hilang dari sisiku
lagi, meskipun itu tidak akan menyakitiku separah dulu.
“Kak,
udah lama ya nunggunya?” tanya Bulan sambil menyodok pinggangku.
Aku
baru sadar ternyata wajah Bulan tampak kusut, dia pasti banyak mikir jadinya
seperti serigala lapar begini. Kami berjalan bersisian menuju parkiran, dan
saat itu aku mencoba menggenggam tangannya Bulan.
“Sekali
saja sampai di parkiran,” ujarku lirih dengan nada memelas saat Bulan menarik
lagi tangannya yang ku genggam.
Aku
bisa merasakan ini. Perasaan rindu akan hangatnya cinta, dan rasa memiliki.
Bulan hanya diam saja, tangannya mulai dingin. Aku sadar, mungkin ini sulit
untuk Bulan. Bahkan sampai saat di depan motorku, Bulan hanya bisa menatapku
meminta agar tangannya dilepas.
“Terima
kasih,” kataku sambil melepas genggaman tangan itu.
Ketika
saat itulah aku sadar, rasanya melepas lebih nyaman daripada mengikat dan
memaksa agar tetap disisiku. Aku menyalakan mesin motor dan melaju dengan
lambat di dinginnya udara siang ini, tanpa sadar aku meneteskan airmata. Aku
telah melepas Bulan, aku melepasnya pergi.
“Kak,
Kak Bintang?” tegur Bulan saat dia sudah hampir menutup pagar rumahnya.
Aku
menoleh kaget karena barusan aku melamun lagi, dan ku lihat dia tersenyum manis
padaku seraya berkata, “Hati-hati di jalan. Terima kasih untuk hari-hari yang
berharga.”
Aku
mengangguk dan melajukan kembali motorku. Dadaku terasa luas, tidak ada beban
yang menghimpit atau menyesakkan lagi. Jam tanganku menunjukkan pukul 15.00
sore dan aku membulatkan niatku untuk menuju suatu tempat, tempat yang mungkin
akan melengkapi rasa ini.
Aku
duduk di pinggiran sebuah gundukan tanah. Bunga lili cantik yang ku beli tadi,
ku letakkan diatasnya. Batu nisan itu
bertuliskan nama seseorang yang pernah sangat ku sayangi, Bulan Pratiwi.
“Aku
sudah melepas Bulan pergi, aku sudah merelakannya ke sisi Matahari. Kamu senang
tidak?” tanyaku pada batu nisan itu.
Aku
bisa merasakan belaian angin dingin menyapa wajahku, firasatku berkata ini
tanda bahwa Bulan merasa bahagia juga dengan keputusanku. Aku menyanyi dengan
lirih sebagai bukti perasaan cintaku tidak berubah meskipun aku sudah
melepasnya pergi. Lagu ‘My Love’ ku persembahkan untuk jiwa yang tak pernah
mati meskipun raganya sudah tersembunyi dibawah tanah, Bulan Pratiwi aku
melepasmu pergi ke sisi Matahari.
Aku
tidak menyadari berapa lama aku berdiam diri disana, yang ku tahu sebuah tangan
menyentuh pundakku dan ketika aku mendongkak wajah Syifa yang sendu tergambar
jelas sambil menenteng bunga lili yang cantik di tangannya.
“Ini
pertama kalinya kamu kesini, Ang. Sejak pemakamannya,” ujar Syifa sambil
mengelus batu nisan itu.
Aku
tersenyum malu, sangat malu malah! Mana mungkin aku melakukan hal bodoh itu
sementara setiap detiknya aku mengaku cinta pada gadis yang terkubur disini.
Syifa tersenyum masam sambil beranjak pergi meninggalkanku dengan pikiran
bodohku.
“Hei,
Syif! Apa kamu pikir aku begitu bodoh?” tanyaku sambil menyejajarkan langkah
dengannya. Aku melambai pada makam Bulan, dan berjanji akan datang lagi nanti.
“Tidak.
Kamu tidak bodoh, hanya saja rasa sakit itu telah menutup hatimu lebih dari
rasa cinta itu,” jawabnya halus.
Penuturan
bijak itu membuatku tersenyum, aku baru sadar meskipun Syifa mengejar-ngejarku
dan menungguku berpaling ke sisinya. Dia tetap seorang sahabat yang bisa
mengerti, dia juga masih sahabat Bulan Pratiwi.
“Aku
akan belajar darimu,” ucapku sambil berjalan mendahuluinya.
Semua
terasa begitu indah hari ini. Bagaimana kalau Syifa yang ternyata dikirim Bulan
untuk menemaniku?
****
Rasanya
seperti ada bom Molotov yang siap akan meledak dan menghancurleburkan diriku
saat siapapun menyentuhnya. Aku sudah sangat gelisah hari ini. Setelah satu
bulan lebih tidak bertemu dengan Bulan, aku merasa sudah melupakan wajahnya,
senyumnya, dan semuanya. Aku mengutuk diriku sendiri karena tidak pandai
mengingat hal segenting dan sepenting itu.
“Dok,
kenapa saya jadi susah mengingat begini sih?!” tanyaku kesal pada Dokter Bram
yang sedang mengecek keadaanku.
Sejak
dua hari yang lalu aku sudah boleh dipindahkan ke rumah sakit di Indonesia
karena operasinya berjalan lancar dan masa pemulihan bisa ku lakukan disini.
Mama juga sudah mulai membereskan barang dan menatanya di rumah kami. Meskipun
itu dilakukannya setiap hampir larut malam, karena sibuk mengurusku.
“Itu
hanya efek samping saja, beberapa hari lagi kamu malah boleh pulang,” jawabnya
sambil tersenyum padaku.
Dokter
Bram ini masih tampan meskipun usianya sudah kepala empat dan menyandang status
duda satu anak. Disinyalir Mama dan Dokter Bram punya hubungan terselubung dan
nantinya bakal ku dengar bahwa mereka akan menikah. Aku sih setuju-setuju saja,
karena bagiku dokter ini orang yang baik dan perhatian. Aku memukul keningku,
kenapa malah urusan orangtua yang ku pikirkan?
“Tok…tok…tok…”
suara ketukan pintu membuatku mengerjapkan mata berkali-kali.
“Siapa
sih yang ganggu tidur siangku,” rutukku dalam hati sambil menyuruh yang di luar
masuk ke dalam.
Aku
tertegun sejenak saat ku lihat Dika dan Rangga tersenyum kaku sambil membawa
bingkisan buah-buahan. Di sebelah Dika ada Nesa yang tampak malu-malu
melepaskan genggaman tangannya dari Dika.
“Kalian…”
“Surpriseeeeeee!”
teriak mereka berbarengan lalu disusul gelak tawa.
Dika
dan Rangga bilang mereka mendapat kabar dari mamaku bahwa aku sudah ada di
rumah sakit ini dan keadaanku sudah membaik. Mereka sengaja datang dan member
semangat padaku agar cepat sembuh.
“Tadi
ngapain ngetok pintu segala, lo pikir sedang bertamu apa?” dumelku sambil
memandang mereka bergantian.
“Itu
sih ulahnya Dika, dia grogi paling gara-gara ada Nesa. Jadinya bertingkah oon
kayak tadi,” oceh Rangga menyudutkan Dika.
Yang
disudutkan justru cengir kuda dan melirik malu pada Nesa. Nesa pun hanya
tersenyum malu-malu kucing karena dirinya disangkutpautkan.
“Cieee..
Yang udah jadian!” sindirku pada mereka berdua.
Lalu
mengalirlah semua peristiwa-peristiwa penting yang ku lewatkan sebulan
belakangan ini. Dengan ekspresi sedikit kecewa, ku akui bahwa perkembangan
hubungan Bintang dan Bulan memang sangat sesuai dengan apa yang ku prediksikan.
“Tapi,
Ri… Bukannya mau membela Bulan ya, sebenarnya kalau gue lihat-lihat sih Bulan
itu cuma nganggep Kak Bintang kayak sahabat aja. Dia ga pernah tuh cerita
tentang Kak Bintang seheboh dia cerita tentang kamu,” ujar Nesa sedikit ragu.
Aku
mendesah pelan dan menjawab dengan oh saja. Rangga tampak cekikikan geli karena
tingkahku. Sebagai rasa penyesalan karena sikapnya yang tidak mengerti suasana
Rangga membocorkan sedikit rahasia yang mengejutkanku.
“Sebenarnya
ya Ri, gue selalu mantau mereka berdua. Sampai gue dapet info kalau Kak Bintang
pernah ngebeberin pernyataan dia melepas Bulan ke sisi lo adalah kebahagiaan
untuk dia. Itu disampaikannya secara jelas di depan para sahabatnya,” ucap
Rangga antusias karena itu adalah informasi penting yang sulit di dapat.
Setelah
mereka pamit pulang,aku mulai membayangkan bagaimana adegan demi adegan
kebersamaan mereka selama aku ga ada. Tapi aku hanya bisa mendengus kesal,
karena sekarang rasa rinduku ini sudah hipertensi banget. Bulan… hiks.
“Ma,
besok aku mau pulang. Sudah bolehkan?” tanyaku iseng pada Mama malamnya.
“Boleh.
Asal kamu sudah sanggup jalan,” jawabnya sambil mengerling sebentar.
Aku
membuktikan padanya bahwa aku sudah pulih dan sehat untuk bisa berakatifitas seperti
biasa. Maka, dengan hati berdebar-debar aku berencana menemui Bulan besok. Agar
semuanya berjalan sesuai plot, aku menelepon Bulan mala mini.
“Eeeee…
Ari?” tegur Bulan ragu saat mengangkat teleponku.
“Hai,
Bulan! Aku rindu kamu,” jawabku spontan tanpa bisa dicerna dulu.
“Uhh!
Rindu? Kamu bilang rindu? Buktinya kamu jarang nelepon aku?” keluhnya kesal
sambil menghembuskan nafas berat.
Aku
hanya cekikikan dengan responya itu, lalu berkata “Besok malam jam 7 datang ke
rumahku ya, kita lihat Bintang lagi!”
Tidak
ada sahutan dari Bulan, aku pasti tidak salah tebak sekarang Bulan tentunya
sedang melongo kaget dan limbung mendengarnya.
“Ha?
Maksudnya… kamu?” dia tampak sulit mengekspresikan kalimat apa yang sesuai.
“Sampai
bertemu besok Bulan-ku,” ujarku lalu memutuskan sambungan telepon itu tanpa
menunggu respon dari Bulan.
Tidak
sabar rasanya menunggu besok malam tiba. Wah, aku bisa melihat indahnya dunia
dengan hanya melihat Bulan lagi!
*****
Aku
ragu sejenak menekan bel rumah ini. Rumah orang yang paling ku sayangi. Sudah
lama sekali rasanya aku tidak masuk ke dalam rumah ini, sehingga tampak sekali
aku merindukan semua yang ada pada rumah ini. Orangnya apalagi!
Lampu
di dalam tampak menyala terang, ada sedikit kegaduhan di dalam. Aku merasa
sangat rindu suasananya, akankah aku bertemu Matahari setelah ini?
“Aduh,
Bulaaaaaan! Tante rindu sama kamu, ayo buruan masuk!” serbu Tante Risa setelah
membuka pintu rumah saat aku menekan bel itu dua kali.
“Lan,
sebenarnya tante mau banyak ngobrol sama kamu. Tapi ya tante tau diri, jadi
mendingan kamu kea tap duluan deh. Ada yang sudah menunggu kamu tuh,” kata
Tante Risa sambil mendorong-dorong tubuhku menaiki tangga.
Aku
tidak mengelurkan sepatah katapun, berjalan dalam hening saat menghampiri
seseorang yang sangat ku rindukan sedang berbaring menghadap langit.
“Kemari!”
katanya singkat tanpa menoleh ke arahku.
Aku
duduk di seblahnya dengan perasaan yang sangat sulit dijelaskan. Ada rindu,
marah, rindu, kecewa, rindu, saying, rindu…Ha! Pokonya lebih mendominasi rasa rindu.
“Kamu
kok diam? Ga mau meluk aku, atau minimal mengatakan sesuatu tentang kamu rindu
aku misalnya?” tanya laki-laki itu sambil menatapku dengan tatapan beningnya.
Deggg!
Aku sungguh ingin menghambur ke pelukan orang ini sekarang juga. Bagaimana dia bisa
mengajukan pertanyaan begitu, apakah ia bisa membaca pikiranku sekarang?
Matahari, aku rindu kamu.
“Ya
sudahlah, aku pikir kamu memang tidak rindu karena sudah ada Bin---“
Aku
tidak bisa meneruskan lagi kalimatku ketika tiba-tiba Bulan memelukku dengan
erat sampai sesak sekali rasanya. Aku meletakkan daguku di kepalanya,
mengelus-elus rambut panjangnya yang sangat indah ditemaram sinar Bulan.
“Kamu
jahat!” pukulnya berkali-kali di punggungku.
Hanya
ada sebuah erangan sakit dariku atas tindakan anarkisnya itu, lalu sampai
terdengar bunyi tangisan sedu-sedan aku menariknya dari pelukanku. Ku lihat
airmata Bulan sudah tumpah banyak.
“Maaf
ya, lama meninggalkanmu. Aku rindu sekali padamu, Lan!” ujarku sambil menghapus
airmatanya.
Kami
hanya saling bertatapan dalam hening sampai entah siapa dulu yang memulai kami
sudah terbahak-bahak lagi kemudian. Sungguh aneh kah kami ini?
“Maaf
ya, aku ketawa karena ternyata aku ga nyangka bisa melihat lagi muka jelek
itu!” celetuk Bulan membuatku merajuk.
“Hm,
tapi bagaimana pun harus ku akui aku rindu sekali padamu, Ri. Rindu yang sampai
mengiris hati,” sambungnya dengan wajah serius.
“Aku
juga…” jawabku sambil bersandar pada punggungnya.
Kami
diam dalam hening, hanya angin yang menemani kami. Dan kerlap-kerlip Bintang
itu menyadarkan bahwa aku hampir terlelap tidur dalam keromantisan dan
kesenduan malam ini. Aku sudah bisa melihat wajah itu, senyum itu, dan tawa
itu. Semua yang ada padanya sudah bisa ku rekam jelas di memoriku lagi, tentang
Bulan.
“Welcome
back!” tegurnya tiba-tiba sambil memandangku dengan mimik yang menggemaskan.
“I
have wait for today since a month. Day by day just you there in, cover my stuck
mind and hurt my heart because I miss you over much,” lirihku sambil mengelus
tangannya Bulan dengan penuh rasa kasih.
Aku
tidak akan melepaskan Bulan lagi, meskipun harus bertempur dengan Bintang aku
siap. Toh, aku sudah memberinya kesempatan sekali untuk merebut Bulan dari
sisiku?
“You
are the one latest on my mind,” ujarku dengan nada sendu saat ku dapati wajah
Matahari tampak pucat.
Matahari
sungguh dia yang ku tunggu, bukan orang lain bukan juga Kak Bintang. Aku tidak
akan ragu lagi, hanya Matahari! Hanya dia pangeran charming-ku.
Matahari
dan Bulan menikmati malam pertemuannya kembali dengan memandang Bintang yang
bertaburan di langit yang gelap. Kenangan indah akan terukir lebih banyak lagi
setelah ini. Bersama kita jelajahi dunia. Bintang pun akan tersenyum bahagia
ketika menyadari bahwa dirinya adalah sumber kebahagiaan mereka.
******
~THE END~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar