Total Tayangan Halaman

Jumat, 15 Februari 2013

Renkarnasi Matahari, Bintang, dan Bulan * Part 9 * Ending



Part 9 ~Welcome Back~
Sedaritadi ruangan ini sudah sesak, banyak perawat yang mondar-mandir. Mama tidak kalah khawatir, meskipun dokter sudah berusaha menenangkannya masih saja kegelisahan membayanginya. Sebentar lagi, aku akan dioperasi dan itu pun membuat aku sedikittttt takut. Takut tidak bisa membuka mata lagi, dan takut tak bisa melihat wajah Bulan ataupun mendengar suaranya. Suara Bulan, aku rindu dia.
Aku mengaktifkan ponselku, muncul puluhan pesan yang membuatku tersenyum. Bulan sungguh mengkhawatirkan aku, terbukti dari rentetan sms nya yang jika bisa dikatakan sangat paranoid.
Dengan sedikit takut aku menekan tombol hijau dan nada sambung terdengar. Aku mencoba menghubungi Bulan untuk yang pertama setelah berminggu-minggu aku menahannya.
“Halo,” terdengar suara lirih dari seberang sana.

Aku tersenyum, pasti Bulan baru bangun tidur sekarang, “Hai, Lan. Kamu apa kabar?” tanyaku sembari melirik para perawat yang sebentar lagi akan mendorong ranjangku menuju ruang operasi.
“Ari????!!!! Kamu jahat, aku bisa gila kalau kamu begini. Kamu ga tau ya aku panik, takut, dan kesal sama kamu! Aku pikir tadi pasti sekedar ilusi, ternyata kamu benar-benar meneleponku setelah hampir… tunggu! Aku hitung dulu, hm.. 20 hari!! Tau?!” rentetan omelan dan makian terdengar sangat menenangkanku.
Aku bahagia Bulan ternyata tidak melupakanku barang sedetikpun, aku melihat perawat mengerling memberi tanda agar aku mematikan ponsel di telingaku. Aku tersenyum dan meminta waktu sebentar pada mereka, Mama hanya bisa menahan tangis khawatirnya.
“Lan, aku rindu kamu…” kataku menggantung kalimat yang mungkin tidak bisa ku ucapkan mendengar Bulan mendengus kesal.
Dia tidak menyahut, mungkin Bulan sangat marah padaku. Aku menghembuskan nafas berat sambil berkata, “Tunggu ya, tidak lama lagi aku kembali.”
Aku memutuskan sambungan sebelum mendengar jawaban dari Bulan, aku memberi ponsel kepada Mama dan memejamkan mata saat memasuki ruang operasi. Sungguh menakutkan saat harus berada dalam masa dimana Bulan tidak ada disana.
“Haloooo? Ari???!!” aku menghempaskan ponselku di ranjang setelah yakin tidak ada lagi sahutan suara yang ku rindukan.
Tadi aku sedang tertidur lelap saat bunyi nada dering khusus untuk Matahari terdengar sayup-sayup di telingaku.
“Dia kenapa ya?” gumamku dalam hati.
Sejuta pikiran dan dugaan melesat memenuhi otakku. Mungkinkah Ari sudah melupakanku? Tapi tadi dia bilang rindu. Mungkinkah Ari tidak punya waktu hanya untuk berbicara denganku? Tapi tadi dia bilang…. Ha! Dia bilang akan segera kembali. Aku mencerna kata-katanya yang tadi sempat ku anggap angin lalu karena rasa kantuk masih mendominasiku.
Senyum bahagia mengembang di wajahku, ku lirik jam beker ku masih setia pada angka 5 pagi. Berita yang menyenangkan membawa angin pagi yang menyejukkan! Aku meluncur menuju kamar mandi, pagi ini bawaannya tersenyum terus.
“Bulan kamu lagi ga sakit kan?” tanya Bunda padaku saat aku keluar kamar dengan seragam yang sudah lengkap sementara sekarang baru pukul 6 pagi.
Ini pasti mengherankan sekali mengingat aku baru akan bangun pukul segini biasanya, itupun Bunda yang akan menggedor-gedor kamarku seperti debt collector menagih hutang. Senyum merekah membalas raut keheranan Bunda.
“Bunda, masak apa pagi ini?” tanyaku basa-basi.
“Ha?” Bunda hanya bisa melongo.
Lalu Bunda duduk di sampingku menanyakan durian runtuh jenis apa yang telah menimpaku. Mulanya aku ragu, tapi karena didesak akhirnya mengalirlah ceritaku tentang Ari yang tadi pagi menelepon membawa kabar bahagia.
 “Lan, kamu ini bagaimana. Sekarang mungkin kamu akan lebih sulit memilih antara Bintang atau Matahari. Jangan terlalu senang sekarang, lebih baik pikirkan dulu…”
Penuturan Bunda hanya bisa membuatku menjadi gusar. Sejak kejadian di UKS waktu itu, aku dan Kak Bintang sangat dekat sekarang. Dia yang mengantar-jemputku setiap hari, Nesa saja beranggapan bahwa aku lebih bahagia saat bersama Bintang ketimbang dulu saat bersama Matahari.
Bunyi klakson motor yang sudah ku kenal membuyarkan lamunanku saat nasi di piring baru setengah ku santap. Dari tadi aku sibuk menilai, menimbang, dan mengutuk diri. Apa yang harus ku lakukan?
Aku berjalan lemas dan duduk di belakang motornya Kak Bintang. Senyumnya pagi ini membuat aku tambah galau. Kenapa aku jadi bingung memilih? Bukankah dari awal aku memang hanya melabuhkan hati untuk Matahari. Tapi sekarang…
“Lan, kamu ngelamunin apa sih?” tegur Kak Bintang.
Aku tidak sadar bahwa sekarang kami sudah sampai di pelataran parkir sekolah. Buru-buru aku turun dan berpura-pura tidak memikirkan apa-apa. Nesa yang baru keluar dari mobilnya langsung ku gandeng menjauh agar Kak Bintang tidak bertanya lebih banyak lagi. Sekilas ku lihat wajah Kak Bintang muram gara-gara dikacangin begitu.
“Nes, gawat!” celetukku sambil menyeretnya berjalan lebih cepat.
Nesa hanya bisa melipatkan kening dan memonyongkan mulutnya siap menyemburku lantaran pagi-pagi sudah mengganggu jadwalnya bertemu dengan Dika di koridor kelas.
“Ntar aja ketemu Dikanya, ini lebih darurat!” sergahku saat Nesa menunjuk Dika yang melambai-lambaikan tangan dari depan pintu kelasnya. Aku menyuruhnya duduk di depan kursi panjang yang ada di koridor.
Dengan saksama dan ekspresi yang berganti-ganti Nesa mendengarkan ku, semua kegalauanku ceritakan dan berbuah tawa garing darinya.
“Lo itu oon banget sih! Kan lo ga pacaran sama Kak Bintang, kenapa galau memilih?” ledeknya sambil memicingkan mata.
“Oh, jangan-jangan lo udah jatuh hati ya sama Kak Bintang!” teriak Nesa melengking membuat semua mata yang melewati koridor tertuju pada kami.
Aku hanya bisa memukul kepalanya ringan sambil cengar-cengir berlagak polos dengan tatapan heran semua mata, mereka kembali meneruskan aktifitasnya dan Nesa hanya bisa terkekeh geli. Menyebalkan!
**
“Ang! Sini gabung!” panggil Seto dari ujung koridor dekat koperasi.
Aku melambaikan tangan dan berjalan santai menuju Seto dan Arya yang tampak sedang menikmati makan siangnya. Aku memesan roti bakar isi keju dan jus apel kesukaanku. Koperasi kami memang gaul abis, kayak kantin. Yaiyalah! Wong sebelahnya ada food court gitu lhoo.
“Ada gossip baru ga nih?” tanya Arya sambil mengangkat mangkuk bakso yang asapnya masih mengepul menuju mejanya.
“Gila lo pada! Kok hobinya ngegosip sih sekarang!” sahutku sambil memandang geli pada kedua sohibku itu.
Mereka lalu hanya bergumam sambil tersenyum penuh arti. Yaa, aku tau dari gelagatnya pasti mereka mau membahas tentang kemajuan hubunganku dengan Bulan. Rasanya sesak sekali mesti berulang kali mendramatisir suasana seperti ini, setiap kali hendak bercerita pasti aku tidak bisa menahan kesal karena hanya mampu menyebut Bulan sebagai sahabat bukan pacar….
“Hai, semuaaaaa! Boleh gabung kan?” tanya dita dengan nada ceria dan tangannya memegangi sepiring nasi goreng dan es teh manis serta keripik-keripik yang ga jelas.
“Boleh dong!” sahut Seto antusias. Ketauan banget deh si gembul itu naksir Dita. Ihh!
“Lho Syif, kok lo duduk disitu? Sini dong!” teriak Dita pada Syifa yang hendak duduk di bangku pojok 5 meter dari kami.
Matanya menegang sesaat ketika tatapan kami bertabrakan. Lalu, kemudian dia tersenyum ragu sambil berjalan membawa makanannya bergabung dengan kami. Aku bisa merasakan Syifa masih enggan berdekatan denganku, tapi mungkin dia juga sudah berpikiran dewasa dan mulai terbuka lagi.
“Woi, Ang! Lo kok merhatiin Syifa kayak anak burung gitu,” ledek Arya yang memang blak-blakan dalam mencibir.
Syifa terkekeh geli dan disambut tawa Seto yang membahana. Aku bersungut-sungut sambil menyeruput jus apel kesukaanku. Dita hanya bisa menatapku dengan tatapan yang bisa diartikan sebagai jangan-memberi-harapan-palsu-padanya, aku bisa mengerti ekspresi itu karena Dita lah yang getol mematahkan semangat Syifa untuk menungguku berpaling padanya. Sahabat yang baik kan?
Kami makan sambil diselingi tawa kecil karena perbincangan kami yang hangat. Terkadang Syifa sudah mulai menimpali ucapanku sedikit, kemajuan bagi persahabatan kami bukan? Aku berusaha agar hubunganku dengan Syifa kembali seperti dulu persahabatan yang manis tanpa unsur asmara.
Lalu tiba-tiba topik perbincangan kami mulai menyenggol tentang hubunganku dengan Bulan, Dita yang antusias bertanya dan mendengarkan penuh minat tentang ini.
“Jadi, lo ga jadian sama Bulan? Tapi kalian jarang bareng gitu?” tanya Dita dengan wajah heran.
“Hmm, begitulah!” jawabku singkat, padat, dan jelas.
“Itu namanya lo cuma jadi selingkuhan dia dong! Toh kalau Ari sudah kembali lo ditinggal, iya kan?” tanya dita lagi-lagi membuatku hanya bisa menggerutu dalam hati.
“Gue bukan selingkuhan dia, gue sih mau-mau aja! Tapi dianya setia tuh sama pacar dunia berantahnya yang ga tau sekarang dimana, kalau Bulan setia terus begini, mungkin…” aku menggantung kalimatku saat semua mata memandangku penuh minat dan rasa ingin tahu yang besar sampai seperti ada tanda tanya yang melayang di atas kepala mereka.
“Mungkin gue bisa relain dia buat Matahari!” celetukku kontan membuat mereka saling pandang.
“Lho kok begitu? Lo ga sakit hati ya? Aduhh! Gue sih maunya bilang lo bego, tapi gimana ya…” ungkap Seto sambil meremas-remas tangannya gemas.
“Hahahah. Nyantai aja kali, slow! Gue juga udah bahagia bisa sedekat ini sama dia,” potongku sambil mengelap mulut dengan tisu.
Aku sudah selesai makan dan hendak beringsut saat terdengar suara lirih Syifa yang menusukku tepat di ulu hati. Di segala sumber derita yang pernah bersemayam, namun semua sudah bisa terobati sejak Bulan ada. Makanya, kalau dulu aku mendengar kalimat Syifa aku bakalan roboh tapi sekarang aku kuat dan bebas.
“Lo bahagia kan diberi kesempatan bersama Bulan sekali lagi? Apa cuma ini yang lo mau?” tanya Syifa lirih namun tajam menyayat.
Aku menghembuskan nafas dengan susah payah setelah sadar bahwa tadi aku menahan nafas beberapa lama. Mungkin ini sudah seharusnya berakhir, dibasmi sampai ke akar-akarnya hingga tidak bisa tumbuh dan berkembang lagi.
“Gue bahagia. Ya, meskipun hanya sebagai sahabatnya gue bahagia. Karena Bulan ada, dia masih menghirup udara yang sama kayak gue. Itu cukup, asal dia ada!” jawabku sambil memandangnya penuh rasa lega karena sekarang ku lihat Syifa menitikan airmata.
Aku tidak menerka-nerka airmata apa itu, karena sejujurnya aku tahu kalimatku tadi sudah menyapu bersih semua rasa keingintahuannya. Semua sumber kegelisahannya mungkin sudah dicabut habis, karena ku lihat dia tersenyum lemah setelah mengelap bulir-bulir airmata itu. Tatapannya berbicara bahwa dia juga bahagia sekarang karena aku ada untuknya.
Reaksi kami berdua mengundang tatapan polos dan tak berdosa dari sahabat-sahabat kami yang berada disini. Seto hanya bisa mengerutkan dahinya sampai alisnya yang hitam tebal itu bertaut menjadi satu. Arya hanya mematung sambil menatap Syifa dengan ekspresi tanda tanya. Dan yang terkahir ini yang bikin aku bakalan terpingkal-pingkal, Dita hanya menopangkan dagu sambil memegang keningnya sendiri. Apa dia sudah gila karena tidak mengerti sikon sekarang?
***
Aku menunggu Bulan di depan kelasnya, hari ini tidak biasanya cuaca dingin dan langit tampak berduka. Firasatku pun mengatakan bahwa ada yang akan hilang dari sisiku lagi, meskipun itu tidak akan menyakitiku separah dulu.
“Kak, udah lama ya nunggunya?” tanya Bulan sambil menyodok pinggangku.
Aku baru sadar ternyata wajah Bulan tampak kusut, dia pasti banyak mikir jadinya seperti serigala lapar begini. Kami berjalan bersisian menuju parkiran, dan saat itu aku mencoba menggenggam tangannya Bulan.
“Sekali saja sampai di parkiran,” ujarku lirih dengan nada memelas saat Bulan menarik lagi tangannya yang ku genggam.
Aku bisa merasakan ini. Perasaan rindu akan hangatnya cinta, dan rasa memiliki. Bulan hanya diam saja, tangannya mulai dingin. Aku sadar, mungkin ini sulit untuk Bulan. Bahkan sampai saat di depan motorku, Bulan hanya bisa menatapku meminta agar tangannya dilepas.
“Terima kasih,” kataku sambil melepas genggaman tangan itu.
Ketika saat itulah aku sadar, rasanya melepas lebih nyaman daripada mengikat dan memaksa agar tetap disisiku. Aku menyalakan mesin motor dan melaju dengan lambat di dinginnya udara siang ini, tanpa sadar aku meneteskan airmata. Aku telah melepas Bulan, aku melepasnya pergi.
“Kak, Kak Bintang?” tegur Bulan saat dia sudah hampir menutup pagar rumahnya.
Aku menoleh kaget karena barusan aku melamun lagi, dan ku lihat dia tersenyum manis padaku seraya berkata, “Hati-hati di jalan. Terima kasih untuk hari-hari yang berharga.”
Aku mengangguk dan melajukan kembali motorku. Dadaku terasa luas, tidak ada beban yang menghimpit atau menyesakkan lagi. Jam tanganku menunjukkan pukul 15.00 sore dan aku membulatkan niatku untuk menuju suatu tempat, tempat yang mungkin akan melengkapi rasa ini.
Aku duduk di pinggiran sebuah gundukan tanah. Bunga lili cantik yang ku beli tadi, ku letakkan diatasnya.  Batu nisan itu bertuliskan nama seseorang yang pernah sangat ku sayangi, Bulan Pratiwi.
“Aku sudah melepas Bulan pergi, aku sudah merelakannya ke sisi Matahari. Kamu senang tidak?” tanyaku pada batu nisan itu.
Aku bisa merasakan belaian angin dingin menyapa wajahku, firasatku berkata ini tanda bahwa Bulan merasa bahagia juga dengan keputusanku. Aku menyanyi dengan lirih sebagai bukti perasaan cintaku tidak berubah meskipun aku sudah melepasnya pergi. Lagu ‘My Love’ ku persembahkan untuk jiwa yang tak pernah mati meskipun raganya sudah tersembunyi dibawah tanah, Bulan Pratiwi aku melepasmu pergi ke sisi Matahari.
Aku tidak menyadari berapa lama aku berdiam diri disana, yang ku tahu sebuah tangan menyentuh pundakku dan ketika aku mendongkak wajah Syifa yang sendu tergambar jelas sambil menenteng bunga lili yang cantik di tangannya.
“Ini pertama kalinya kamu kesini, Ang. Sejak pemakamannya,” ujar Syifa sambil mengelus batu nisan itu.
Aku tersenyum malu, sangat malu malah! Mana mungkin aku melakukan hal bodoh itu sementara setiap detiknya aku mengaku cinta pada gadis yang terkubur disini. Syifa tersenyum masam sambil beranjak pergi meninggalkanku dengan pikiran bodohku.
“Hei, Syif! Apa kamu pikir aku begitu bodoh?” tanyaku sambil menyejajarkan langkah dengannya. Aku melambai pada makam Bulan, dan berjanji akan datang lagi nanti.
“Tidak. Kamu tidak bodoh, hanya saja rasa sakit itu telah menutup hatimu lebih dari rasa cinta itu,” jawabnya halus.
Penuturan bijak itu membuatku tersenyum, aku baru sadar meskipun Syifa mengejar-ngejarku dan menungguku berpaling ke sisinya. Dia tetap seorang sahabat yang bisa mengerti, dia juga masih sahabat Bulan Pratiwi.
“Aku akan belajar darimu,” ucapku sambil berjalan mendahuluinya.
Semua terasa begitu indah hari ini. Bagaimana kalau Syifa yang ternyata dikirim Bulan untuk menemaniku?
****
Rasanya seperti ada bom Molotov yang siap akan meledak dan menghancurleburkan diriku saat siapapun menyentuhnya. Aku sudah sangat gelisah hari ini. Setelah satu bulan lebih tidak bertemu dengan Bulan, aku merasa sudah melupakan wajahnya, senyumnya, dan semuanya. Aku mengutuk diriku sendiri karena tidak pandai mengingat hal segenting dan sepenting itu.
“Dok, kenapa saya jadi susah mengingat begini sih?!” tanyaku kesal pada Dokter Bram yang sedang mengecek keadaanku.
Sejak dua hari yang lalu aku sudah boleh dipindahkan ke rumah sakit di Indonesia karena operasinya berjalan lancar dan masa pemulihan bisa ku lakukan disini. Mama juga sudah mulai membereskan barang dan menatanya di rumah kami. Meskipun itu dilakukannya setiap hampir larut malam, karena sibuk mengurusku.
“Itu hanya efek samping saja, beberapa hari lagi kamu malah boleh pulang,” jawabnya sambil tersenyum padaku.
Dokter Bram ini masih tampan meskipun usianya sudah kepala empat dan menyandang status duda satu anak. Disinyalir Mama dan Dokter Bram punya hubungan terselubung dan nantinya bakal ku dengar bahwa mereka akan menikah. Aku sih setuju-setuju saja, karena bagiku dokter ini orang yang baik dan perhatian. Aku memukul keningku, kenapa malah urusan orangtua yang ku pikirkan?
“Tok…tok…tok…” suara ketukan pintu membuatku mengerjapkan mata berkali-kali.
“Siapa sih yang ganggu tidur siangku,” rutukku dalam hati sambil menyuruh yang di luar masuk ke dalam.
Aku tertegun sejenak saat ku lihat Dika dan Rangga tersenyum kaku sambil membawa bingkisan buah-buahan. Di sebelah Dika ada Nesa yang tampak malu-malu melepaskan genggaman tangannya dari Dika.
“Kalian…”
“Surpriseeeeeee!” teriak mereka berbarengan lalu disusul gelak tawa.
Dika dan Rangga bilang mereka mendapat kabar dari mamaku bahwa aku sudah ada di rumah sakit ini dan keadaanku sudah membaik. Mereka sengaja datang dan member semangat padaku agar cepat sembuh.
“Tadi ngapain ngetok pintu segala, lo pikir sedang bertamu apa?” dumelku sambil memandang mereka bergantian.
“Itu sih ulahnya Dika, dia grogi paling gara-gara ada Nesa. Jadinya bertingkah oon kayak tadi,” oceh Rangga menyudutkan Dika.
Yang disudutkan justru cengir kuda dan melirik malu pada Nesa. Nesa pun hanya tersenyum malu-malu kucing karena dirinya disangkutpautkan.
“Cieee.. Yang udah jadian!” sindirku pada mereka berdua.
Lalu mengalirlah semua peristiwa-peristiwa penting yang ku lewatkan sebulan belakangan ini. Dengan ekspresi sedikit kecewa, ku akui bahwa perkembangan hubungan Bintang dan Bulan memang sangat sesuai dengan apa yang ku prediksikan.
“Tapi, Ri… Bukannya mau membela Bulan ya, sebenarnya kalau gue lihat-lihat sih Bulan itu cuma nganggep Kak Bintang kayak sahabat aja. Dia ga pernah tuh cerita tentang Kak Bintang seheboh dia cerita tentang kamu,” ujar Nesa sedikit ragu.
Aku mendesah pelan dan menjawab dengan oh saja. Rangga tampak cekikikan geli karena tingkahku. Sebagai rasa penyesalan karena sikapnya yang tidak mengerti suasana Rangga membocorkan sedikit rahasia yang mengejutkanku.
“Sebenarnya ya Ri, gue selalu mantau mereka berdua. Sampai gue dapet info kalau Kak Bintang pernah ngebeberin pernyataan dia melepas Bulan ke sisi lo adalah kebahagiaan untuk dia. Itu disampaikannya secara jelas di depan para sahabatnya,” ucap Rangga antusias karena itu adalah informasi penting yang sulit di dapat.
Setelah mereka pamit pulang,aku mulai membayangkan bagaimana adegan demi adegan kebersamaan mereka selama aku ga ada. Tapi aku hanya bisa mendengus kesal, karena sekarang rasa rinduku ini sudah hipertensi banget. Bulan… hiks.
“Ma, besok aku mau pulang. Sudah bolehkan?” tanyaku iseng pada Mama malamnya.
“Boleh. Asal kamu sudah sanggup jalan,” jawabnya sambil mengerling sebentar.
Aku membuktikan padanya bahwa aku sudah pulih dan sehat untuk bisa berakatifitas seperti biasa. Maka, dengan hati berdebar-debar aku berencana menemui Bulan besok. Agar semuanya berjalan sesuai plot, aku menelepon Bulan mala mini.
“Eeeee… Ari?” tegur Bulan ragu saat mengangkat teleponku.
“Hai, Bulan! Aku rindu kamu,” jawabku spontan tanpa bisa dicerna dulu.
“Uhh! Rindu? Kamu bilang rindu? Buktinya kamu jarang nelepon aku?” keluhnya kesal sambil menghembuskan nafas berat.
Aku hanya cekikikan dengan responya itu, lalu berkata “Besok malam jam 7 datang ke rumahku ya, kita lihat Bintang lagi!”
Tidak ada sahutan dari Bulan, aku pasti tidak salah tebak sekarang Bulan tentunya sedang melongo kaget dan limbung mendengarnya.
“Ha? Maksudnya… kamu?” dia tampak sulit mengekspresikan kalimat apa yang sesuai.
“Sampai bertemu besok Bulan-ku,” ujarku lalu memutuskan sambungan telepon itu tanpa menunggu respon dari Bulan.
Tidak sabar rasanya menunggu besok malam tiba. Wah, aku bisa melihat indahnya dunia dengan hanya melihat Bulan lagi!
*****
Aku ragu sejenak menekan bel rumah ini. Rumah orang yang paling ku sayangi. Sudah lama sekali rasanya aku tidak masuk ke dalam rumah ini, sehingga tampak sekali aku merindukan semua yang ada pada rumah ini. Orangnya apalagi!
Lampu di dalam tampak menyala terang, ada sedikit kegaduhan di dalam. Aku merasa sangat rindu suasananya, akankah aku bertemu Matahari setelah ini?
“Aduh, Bulaaaaaan! Tante rindu sama kamu, ayo buruan masuk!” serbu Tante Risa setelah membuka pintu rumah saat aku menekan bel itu dua kali.
“Lan, sebenarnya tante mau banyak ngobrol sama kamu. Tapi ya tante tau diri, jadi mendingan kamu kea tap duluan deh. Ada yang sudah menunggu kamu tuh,” kata Tante Risa sambil mendorong-dorong tubuhku menaiki tangga.
Aku tidak mengelurkan sepatah katapun, berjalan dalam hening saat menghampiri seseorang yang sangat ku rindukan sedang berbaring menghadap langit.
“Kemari!” katanya singkat tanpa menoleh ke arahku.
Aku duduk di seblahnya dengan perasaan yang sangat sulit dijelaskan. Ada rindu, marah, rindu, kecewa, rindu, saying, rindu…Ha! Pokonya lebih mendominasi rasa rindu.
“Kamu kok diam? Ga mau meluk aku, atau minimal mengatakan sesuatu tentang kamu rindu aku misalnya?” tanya laki-laki itu sambil menatapku dengan tatapan beningnya.
Deggg! Aku sungguh ingin menghambur ke pelukan orang ini sekarang juga. Bagaimana dia bisa mengajukan pertanyaan begitu, apakah ia bisa membaca pikiranku sekarang? Matahari, aku rindu kamu.
“Ya sudahlah, aku pikir kamu memang tidak rindu karena sudah ada Bin---“
Aku tidak bisa meneruskan lagi kalimatku ketika tiba-tiba Bulan memelukku dengan erat sampai sesak sekali rasanya. Aku meletakkan daguku di kepalanya, mengelus-elus rambut panjangnya yang sangat indah ditemaram sinar Bulan.
“Kamu jahat!” pukulnya berkali-kali di punggungku.
Hanya ada sebuah erangan sakit dariku atas tindakan anarkisnya itu, lalu sampai terdengar bunyi tangisan sedu-sedan aku menariknya dari pelukanku. Ku lihat airmata Bulan sudah tumpah banyak.
“Maaf ya, lama meninggalkanmu. Aku rindu sekali padamu, Lan!” ujarku sambil menghapus airmatanya.
Kami hanya saling bertatapan dalam hening sampai entah siapa dulu yang memulai kami sudah terbahak-bahak lagi kemudian. Sungguh aneh kah kami ini?
“Maaf ya, aku ketawa karena ternyata aku ga nyangka bisa melihat lagi muka jelek itu!” celetuk Bulan membuatku merajuk.
“Hm, tapi bagaimana pun harus ku akui aku rindu sekali padamu, Ri. Rindu yang sampai mengiris hati,” sambungnya dengan wajah serius.
“Aku juga…” jawabku sambil bersandar pada punggungnya.
Kami diam dalam hening, hanya angin yang menemani kami. Dan kerlap-kerlip Bintang itu menyadarkan bahwa aku hampir terlelap tidur dalam keromantisan dan kesenduan malam ini. Aku sudah bisa melihat wajah itu, senyum itu, dan tawa itu. Semua yang ada padanya sudah bisa ku rekam jelas di memoriku lagi, tentang Bulan.
“Welcome back!” tegurnya tiba-tiba sambil memandangku dengan mimik yang menggemaskan.
“I have wait for today since a month. Day by day just you there in, cover my stuck mind and hurt my heart because I miss you over much,” lirihku sambil mengelus tangannya Bulan dengan penuh rasa kasih.
Aku tidak akan melepaskan Bulan lagi, meskipun harus bertempur dengan Bintang aku siap. Toh, aku sudah memberinya kesempatan sekali untuk merebut Bulan dari sisiku?
“You are the one latest on my mind,” ujarku dengan nada sendu saat ku dapati wajah Matahari tampak pucat.
Matahari sungguh dia yang ku tunggu, bukan orang lain bukan juga Kak Bintang. Aku tidak akan ragu lagi, hanya Matahari! Hanya dia pangeran charming-ku.
Matahari dan Bulan menikmati malam pertemuannya kembali dengan memandang Bintang yang bertaburan di langit yang gelap. Kenangan indah akan terukir lebih banyak lagi setelah ini. Bersama kita jelajahi dunia. Bintang pun akan tersenyum bahagia ketika menyadari bahwa dirinya adalah sumber kebahagiaan mereka.
******
~THE END~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar