Part 6 ~The Moon Embraces The Sun~
Ini sudah hampir 3
hari sejak Matahari marah, dia sangat marah saat aku tidak menonton
pertandingannya sampai selesai. Jangankan bertanya alasan mengapa aku pergi saat
itu, dia bertemu denganku saja tidak mau. Ke-ce-wa!
“Nes, lo beneran ga
tau Ari kenapa? Udah hampir 3 hari dia ga masuk sekolah loh, kan ga mungkin
cuma gara-gara marah dia bolos gini,” tanyaku penasaran pada Nesa.
“Gue juga ga tau,
Lan. Yang gue denger sih dia sakit.”
“Sakit apa? Pas aku
dateng ke rumahnya Tante Risa bilang dia lagi pergi sama Dika atau Rangga. Jadi
ga mungkin kan dia sedang sakit sekarang?”
“Kali aja Tante Risa boong sama lo, mungkin Ari lagi ga mau ketemu sama lo,” jawabnya dengan wajah serius.
“Apa aku harus tanya
Rangga sama Dika lagi ya?”
“Jangan! Ntar lo
digampar sama mereka, mereka juga pasti marah sama lo gara-gara lo ga nungguin
Ari, jadinya tim mereka kalah di menit-menit terakhir,” usulku ditolak
mentah-mentah oleh Nesa.
“Terus aku harus
gimana? Ga enak rasanya begini,” ungkapku putus asa.
“Lo mau tau Matahari
kenapa?” sahut seseorang dari arah belakang.
Aku melihat Kak Syifa
dan Kak Dita sedang bersandar di pintu kelasku, mereka tampak menimbang-nimbang
untuk melanjutkan kalimat atau tidak.
Aku bangkit dari
bangku lalu berjalan ke arah mereka, “Dia kenapa Kak?”
“Gue heran sama lo.
Bintang apain lo sih jadi lo bisa bodoh banget ninggalin Ari demi dia? Lo kan
masih berstatus pacarnya Matahari, ga seharusnya lo ninggalin pertandingan dia
demi jalan sama Bintang,” celoteh Kak Dita.
“Lo ga tau kan Ari
tiba-tiba jatuh saat menit-menit terakhir? Katanya dia cedera gitu, tapi kalo
dari penglihatan gue waktu nonton pertandingannya dia kayak sesak nafas gitu.
Terus pingsan deh,” sambung Kak Dita sambil mengetuk-ngetuk pintu dengan
kukunya.
“Kenapa ga ada yang
cerita sama aku?” gumamku lirih.
“Its your fault. I
have told you for keep distance from Bintang, don’t i? You make Bintang will
chase you from Ari,” keluh Kak Syifa.
“Lo harusnya bisa
milih, jangan jatuh di dua hati!” ujar Kak Dita. Lalu mereka pergi
meninggalkanaku yang sedang galau lau lau lau!
Pulang sekolah nanti
aku harus ke rumah Matahari. Semuanya harus diselesaikan secara tuntas dan
tanpa ada kebohongan lagi.
Saat itu aku melihat
Rangga dan Dika melewati koridor kelas, aku segera menghampiri mereka.
“Hai, maaf ya soal…”
aku tidak sempat menyelesaikan kalimatku saat ku lihat Ari berjalan lambat di belakang
mereka.
“Ariiii????!!!” aku
kaget melihat wajahnya yang pucat dan tubuhnya yang makin kurus.
Mana mungkin dalam
waktu 3 hari dia jadi begini? What’s going on?
Aku hendak
mendekatinya saat tangan Dika menahanku menyentuh Ari, “Lo jauhin Ari!” katanya
pedas menyayat hatiku.
“Kenapa?” tanyaku
lirih lalu ku lihat Ari tersenyum kepadaku.
“Ga apa-apa Dik, gue
juga mau ngomong sesuatu sama Bulan sebentar aja,” ujarnya lalu dengan tertatih
dia mengajakku duduk di belakang perpustakaan.
“Malam ini kamu ke
rumah aku ya, aku tunggu di atap jam 7. Kalau kamu mau selesain masalah sama
aku sih,” ujarnya lalu beranjak pergi.
“Kamu sakit apa?”
tanyaku menahan tangannya agar tinggal lebih lama.
“Kita biacarain nanti
aja ya,” ungkapnya lalu pergi. Benar-benar pergi!
“Ngapain lo masih
peduliin dia, setelah apa yang dia lakuin ke lo, Ri?” omel Dika padaku saat dia
mengantarkan ku pulang dengan mobilnya.
“Dia masih bulan-ku.
Dia masih milik gue, harus ya gue lepasin sesuatu yang gue sayang?”
“Tapi kan…”
“Udahlah Dik! Lo kok
sewot Ari mau baikan lagi sama Bulan. Harusnya lo bangga Matahari punya dada
yang lapang, memaafkan segalanya,” bela Rangga cepat.
“Terserah deh!” keluh
Dika.
Aku ga bakalan
lepasin Bulan, hanya untuk seorang Bintang. Aku bakal jaga Bulan apalagi di
akhir waktuku, masih kah ada kesempatan untuk aku bertahan?
**
“Ayo masuk Ari sudah
nungguin kamu di atap,” ujar Tante Risa dengan wajahnya yang kusut. Matanya
tampak sembab, apa yang terjadi sebenarnya?
“Hai, maaf ya aku
telat sekitar 5 menit,” sapaku sambil melirik jam tangan.
“Ga apa-apa, duduk
disini,” balasnya seraya menepuk kursi di sebelahnya.
“Hmm, kamu masih marah ya sama aku?
Gara-gara…”
“Gara-gara kamu pergi
sama Bintang ke suatu tempat dan ninggalin pertandingan basket aku, ga kok aku
ga marah soal itu. Aku hanya kecewa aja kenapa kamu nyembunyiin itu dari
aku,hufftt…” selanya saat aku belum selesai bicara.
“Kamu tau darimana?”
tanyaku kaget.
“Ga penting aku tau
darimana atau dari siapa. Yang penting harusnya kamu jujur sama aku, kamu kan
pacar aku. Apa sekarang kita udah…”
“Ga! Kita masih
pacaran kok, aku ga mau kamu pergi dari sisiku!” potongku cepat.
“Hahaha, makasih ya.
Aku bahagia sekali kamu itu milikku.”
“Kamu sakit apa
sebenarnya, Ri?” tanyaku saat ku lihat tawanya tidak lepas dan menahan sakit.
“Aku sakit disini,
gara-gara kamu juga sih. Hehehe” guraunya sambil menunjuk ke hati.
“Jangan bercanda
dong! Aku serius nih.”
“Aku juga serius, aku
sakit disini.”
“Aku ga ngerti deh,
Ri!” jawabku polos.
“Kata Mama, hati aku
mengalami kelainan. Ya sama kayak papa aku lah, mungkin penyakitnya menurun
kepada aku,” ungkapnya jujur.
“Kamu harus berada di
sisi aku sampai aku sembuh, kalaupun aku ga sembuh…”
“Kamu pasti sembuh!
Pasti, dokter kan punya alat canggih dan juga…”
“Dan juga ga ada
donor hati untuk aku, sampai sekarang mama masih sibuk mencari donor itu. Aku
udah pasrah sih kalau emang ga bisa di apa-apain lagi.”
Aku memeluknya baru
kali ini aku melihat seorang Matahari pasrah dalam menghadapi sesuatu.
Bagaimana mungkin ini terjadi? Aku baru saja bahagia bersama Ari.
“Lan, kamu boleh
bilang aku egois. Tapi aku mohon tetaplah di sisiku sekarang, kalau nanti aku
udah ga ada kamu boleh pergi ke sisi Bintang, aku rela…”
Puk puk puk! Aku
memukul pundaknya berulang-ulang kali. Ari bodoh! Bodoh! Bodoh!
“Kamu pikir aku ini barang
yang bisa pindah tangan terus, aku ga bisa apa cuma jadi milik kamu, Ri. Kamu
jahat biarin aku pergi ke sisi orang lain, aku ga mau Ri ga mauuuuu,” kataku
tersedu-sedu. Aku menangis di dada Matahari.
“Aku juga ga mau,
Lan. Tapi apa yang mau dikata?” lirihnya pilu. Dia sepertinya akan menyerah
saja.
“Ri, kamu boleh marah
sama aku, kamu boleh ga inget sama aku, kamu boleh kok. Asal kamu masih ada di
pandanganku dan aku masih bisa dengar kamu, aku rela…hiks” katanya pedih.
“Jadi kamu berharap
aku lupa sama kamu, gitu ya? Hmm, boleh juga deh biar rasa cemburu aku ini
hilang, kan bosen liat kamu sama Bintang terus, hehe ” gurauku.
“Kok begitu sih?”
sungutnya. Dia seperti merajuk padahal tadi dia khawatir sekali sama aku.
Tangisnya mereda, aku senang hiburanku ternyata berhasil.
“Apa mungkin aku bisa
lupain kamu, umur kita berapa sekarang? 15 tahun ya? Hmm, berarti aku udah
naksir kamu dari 10 tahun yang lalu dong ya. Saat pertama kali kita ketemu di
rumah oppa, rasanya bahagia banget. Apa jangan-jangan aku udah naksir kamu dari
dalam perut ya?” celotehku konyol. Dan Bulan hanya terbengong-bengong.
“Kamu kok jadi garing
sih, Ri. Apa cuma gara-gara sakit ya kamu jadi begini?” dumelnya dengan tampang
sok belagak mikir.
“Hahahaha, jadi kita
baikan lagi nih?” tanyaku nanggung, sebenarnya aku juga ragu sih apa masih bisa
aku mengukir kenangan bersama Bulan.
“Iyaaa! Baikan lagi! Maafin
aku yah, aku janji ga bakal deket sama Kak Bintang lagi. Tapi sebenarnya
kasihan juga sih Kak Bintang, aku jadi bisa liat gambaran jelas gimana kalo
ditinggal sama kekasih pergi. Pasti aku lebih parah dari Kak Bintang, makanya
kamu jangan…” ups! Bulan menutup mulutnya. Dia keceplosan membeberkan sesuatu
yang sepertinya, Rahasia? Ternyata mereka sangat dekat sampai ada rahasia.
“Hm, maksud aku
kasihan Kak Bintang kalau aku harus pergi ngenjauh gitu, hehehe” kilahnya
sambil tertawa hambar.
Aku merasa ada
sesuatu yang aneh di setiap kali Bulan menyebut nama Kak Bintang. Apa benar aku
masih satu-satunya orang yang ada di hatinya?
“Ri, kamu harus kuat.
Aku pasti selalu di sisi kamu,” sambungnya dengan wajah kembali suram dan
sedih. Nyesss, dalem!
“Kok jadi sok
melankolis gini sih?” ucapku sambil menoyor kepalanya. Dia hanya merengut.
Aku tidak ingin Bulan
bersedih, pasti dia sedang menahan perih di balik senyumnya itu. Bulan, aku
ingin sembuh. Ingin mengukir kenangan indah lebih banyak lagi, bersama kamu!
Hanya ada kita berdua, dan tidak ada celah untuk Bintang. I hope so.
***
Hari ini hari libur
karena cuti bersama. Aku sedang mendengarkan musik di ruang tamu saat telepon
rumah berdering. Aku beringsut hendak mengangkatnya tapi keduluan mama.
“Halo?” aku menguping
pembicaraan itu sambil pura-pura menikmati alunan musik di earphone.
Mama menoleh sekilas
lalu dengan halus dia berbicara dengan seseorang.
“Apa?! Jadi,
bagaimana Dok?” tanya Mama cemas sambil melirikku was-was.
Aku mendengar Mama
menghembuskan nafas berat lalu dia berkata, “Saya tunggu kabar selanjutnya,
Dok. Saya mohon sekali.”
Mama menutup telepon
dia tampak seperti ingin menangis. Itu pasti kabar buruk dari Dokter Bram,
dokter yang merawatku.
“Dokter bilang apa,
Ma?” tanyaku sambil menghampiri Mama yang pura-pura berjalan ke dapur.
“Oh, biasa. Kamu
disuruh check-up,” jawabnya ragu.
“Mama harus jujur
sama aku. Aku ga mau lagi mama menutupi semuanya, kalau kemarin aku ga dengar
pembicaraan mama dan dokter Bram di RS, aku sampai sekarang pasti ga tau
perihal penyakit ini. Jadi…”
Aku berhenti
berkoar-koar saat ku dapati Mama bersimpuh di dekat meja makan, bahunya
bergetar hebat. Mama menangis!
“Ma, maafin Ari. Ari
cuma mau mama jujur sama Ari,” kataku sambil memeluknya.
“Mama hanya ga
sanggup bilang. Bukan berarti mama mau berbohong sama kamu, Ri.”
“Iya, maafin aku ya
ma. Tapi Ari mohon dengan sangat…”
Mama meletakkan jari
telunjuknya di bibirku, dia menyuruhku diam. Tatapannya lelah.
“Kamu ga usah mohon,
mama akan bilang. Tadi Dokter bilang bahwa pendonornya sudah ada yang cocok,
tapi ada pasien yang keaadannya lebih parah dari kamu yang juga cocok. Jadi pihak
RS lebih mengutamakan dia, Ri!” ujar Mama sambil memandangku dengan rasa
bersalah dan sakit yang mendalam.
Aku menggeleng, “Ga
apa-apa Ma, dia memang lebih membutuhkan dibanding aku. Mungkin kalau ga kali
ini, orang itu bakalan mati, iya kan Ma? Pasti ada kesempatan lain, Tuhan itu
adil Ma” ungkapku seraya menghibur Mama.
Kring…kring….kring… Telepon
berdering lagi, aku segera menyambar telepon itu. Taku-takut kalau mama yang
mengangkat nanti ada yang disembunyikan lagi jika itu ternyata dari dokter.
“Halo?” sapaku.
“Bisa bicara dengan
Ibu Risa Anggara? Ini dari rumah sakit. Ada kabar baik yang harus kami
sampaikan,” tutur seseorang dari seberang telepon.
“Saya anaknya, tolong
beritahukan pada saya biar nanti saya sampaikan.”
“Begini……..”
Aku menutup telepon.
Perasaanku campur aduk! Mama memandangku dengan tatapan apa-yang-terjadi lalu
aku menyuruhnya duduk di kursi meja makan.
Aku menceritakannya
semua yang disampaikan pihak RS dan semua keraguanku dan mama hanya tersenyum
antara bahagia dan juga ragu, “Kamu bisa kan, Nak? Cuma sebentar saja. Ini juga
penting untuk kamu.”
“Aku takut, Ma. Bulan
bagaimana? Aku ga bisa,” jawabku menimbang-nimbang.
“Bulan pasti akan
sangat mendukung, dia juga ingin liat kamu sembuh, Ri.”
Aku berpikir sejenak
lalu dengan berat hati aku berkata, “Aku setuju. Asal mama janji satu hal untuk
aku, Ma.”
“Apa, Ri?”
Mama mendelik kaget
saat aku membisikkan permintaan itu, dia kaget, shock dan superduper ga
mengerti dengan permintaan konyolku ini. Bisa dibilang aneh!
“Apa kamu yakin
dengan ini? Mama takut…”
“Aku yakin ini yang
terbaik, Ma. Matahari mohon tolong ya, Ma.”
Mama mengangguk
dengan terpaksa dan akhirnya ku dengar derap kaki mama menjauh. Aku harus
merelakan ini, daripada melihat Bulan nantinya akan bersedih dan terus mengkhawatirkan
aku. Apalagi kalau ternyata aku ga bisa bertahan, Bulan pasti akan lebih
menderita. Tidaaaaaaaaakkkkkk! Lebay sih. Tapi semua langkah harus ku
perhitungkan agar semuanya berakhir bahagia nanti.
****
“Lo Nesa kan?” tanya
seorang cowok dingin padaku. Kalau diperhatikan sepertinya dia ini Dika
temennya Ari yang sering marah-marah sama bulan. Cakep sih tapi galak ah.
“Hm, iya. Ada ap---“
“Sini ikut gue
sebentar!” paksanya sambil menarik lenganku. Degg! Kok gue deg-degan gini.
Aduh, aneh! Secupu-cupunya gue yang hobinya cuma baca buku, tapi kan gue jago
karate. Harusnya gue bisa menghajar ni cowok, tapi dia keren cuy jadi ga
tegaaaa!
Dika menarikku ke
kelasnya. Ku lihat Matahari sedang duduk bersama satu orang lagi, pasti yang
itu namanya Rangga. Ah masih kalah cakep sama si Dika! Kok????
“Heloooo, lo dengerin
gue ga sih, Nes?” kata Ari sambil mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahku.
Nesa kok malah ngelamun sih? Bego!
“Eh, iya! Anu, tadi
ngomong apa?” tanyaku gelagapan ketauan ngelamun.
“Hahaha, aneh juga
lo! Gue daritadi emang belom ngomong apa-apa kaleee, ya habisnya lo kayak lagi
ngelamun. Eh, ternyata bener!” tawa mereka bertiga pecah. Aku jadi salting plus melting. Saltingnya
emang karena malu sih, malu bangetttt! Tapi meltingnya gara-gara Dika ketawanya
lepas bangettttt. Uhh, kerennya.
“Ehm, ehm…” deham
Matahari sambil menyuruhku duduk di depannya. Berarti di sebelah Dika dong,
OMG.
“Gini Nes, sebenarnya
gue pengen tanya sesuatu sama lo. Tapi lo harus jawab jujur ya, dan jangan
cerita ke Bulan tentang ini,” kata Matahari sambil garuk-garuk tengkuknya.
Kudisan kali ya jadi gatel gitu? Wkwkwk.
“Tanya apa? Buruan!!
Ntar Bulan keburu balik nih dari ruang musik. Eh, dia bukan ketemu Bintang lho
disana. Dia cuma ngambilin buku lagu punya Bu Meri aja,” ujarku memberi alasan
saat melihat mukanya Ari menjadi keruh bak air yang diobok-obok.
“Oh, nyantai aja. Gue
ga cemburuan amat kok,” balasnya enteng meski lipatan di keningnya tidak
hilang. Pasti cemburu sok cuek lagi, huu.
“Gue tau lo temen
deketnya Bulan, jadi gue harap lo bisa diandalkan. Hmm, sebelumnya lo udah tau
belom gue sakit apa?” tanyanya sambil menopangkan dagu.
“Gimana ya, Anu..
Hm.. Bulan ga cerita banyak sih. Dia cuma bilang separah apapun penyakit lo,
dia bakal di sisi lo kok dan terus dukung lo,” jawabku jujur. Yah, jujur banget
groginya. Dika liatin gue mulu, kepedean nih.
“Gitu ya, jadi
intinya lo ga tau. Kalau gue sakitnya parah terus bisa bikin Bulan menderita
karena khawatir lo bakal ngapain sebagai sahabatnya?”
“Gue… ya gue bakal
menghibur dialah!” jawabku melengking sambil melirik Dika. Tuh kan masih
diliatin, jadi keluar deh suara gajahnya gue.
“Bagus! Gue seneng lo
bisa di andalkan kalau seandainya gue emang bakalan buat dia menderita gue
harap lo bisa di sisinya dia. Dan juga walaupun gue nantinya ga ada disini
karena----“ ucapan Matahari berhenti saat Rangga menyikutnya tajam dan Ari
tersenyum malu sepertinya dia tadi hampir keceplosan deh.
“Hmm, maksud gue
kalau nanti ada apa-apa. Jangan tinggalin Bulan, ya!” seru Ari lalu menepuk
pundakku. Bingung? Iya, bingung banget kenapa Ari ngomong begitu ya, ckckckck.
Nggak beres nih!
“Eh, soal Bintang
itu…” Ari tampak ragu menyambung kalimatnya.
“Hufft, gue mau lo
bisa deketin Bintang sama Bulan lagi. Lo bisa kan?” tanya Ari yang jelas-jelas
tulus, tapi bikin gue mikir kok ada ya pacar yang rela pacarnya main serong?
“Kok begitu?
Emangnya---“
“Gue mau Bintang
jagain Bulan kalau gue ga ada,” potongnya sambil meringis kesakitan. Kok sakit?
“Lo kenapa, Ri?”
tanyaku basa-basi.
“Gue mungkin bakal
lama ninggalin dia, dan itu berarti gue harus rela semua yang disini hilang.”
Aku bingung mendengar
pengakuan Matahari, sakit parah apa bisa bikin dia ngawur gini ya? Apa
jangan-jangan dia mau dead?
“Lo ngasih gue pesan
terakhir ya sebelum lo meninggal?” tanyaku polos.
Matahari terlonjak
mendengar pernyataanku atau pertanyaanku. Yang mana ni?
Gelak tawa
ketiganyapun pecah lagi. Heran! Kok Matahari kayak orang yang ga kena sakit
parah kayak kata Si Bulan ya. Meski dia harus menahan dadanya saat tertawa tapi
raut wajahnya normal-normal saja.
“Hm, ehm. Ini tugas
lo, Nes. Gue bakal tenang kok perginya kalau lo ada di sisinya, Bulan,” ujarnya
tulus meski tersirat ragu-ragu.
“Makasih ya, Dika
anterin Nesa balik ke kelasnya lagi ya,” kata Ari sambil mengerlingkan sebelah
matanya padaku. Haa? Jangan-jangan Ari tau dari tadi aku melirik Dika. Wahhh,
malu!
“Eh, Nesa! Ingat ya
jangan cerita ke Bulan soal yang tadi,” ujar Dika saat kami sudah berada di
depan kelasku. Tinggal 5 menit sebelum bel istirahat berakhir.
“Dik, kenapa Matahari
ngomong begitu ya? Ada gitu orang yang mau meninggal masih ketawa lepas kayak
tadi?” tanyaku polos dan sukses bikin Dika melongo.
“Siapa yang mau
meninggal? Justru Ari mau proses pengobatan kali,ck ck ck” decaknya kesal
campur prihatin. Pasti dia mikir aku ini bodoh sekali.
“Habis dia
ngomongnya----“
“Lo tu jangan
nyumpahin temen gue mati ya!” bentaknya padaku dengan mata menyala.
“Eh, Dika! Ngapain lo
kesini? Nyari gue ya?” tiba-tiba Bulan datang dan Dika jadi khawatir
jangan-jangan Bulan mendengar percakapan kami tadi.
“Kepedean lo! Gue
cari Nesa, udah ah. Duluan ya,” katanya sambil berlalu.
“Haaaaaaaa? Gila si
Dika yang anti banget sama cewek itu nyari lo Nes?” decak kagum terdengar dari
suaranya Bulan saat dia menyelidikku.
“Ehh, tadi dia cuma
numpang tanya seputaran karate kok,” jawabku asal.
“Haaa? Dia mau ikut
karate? Basketnya gimana? Wah jangan-jangan dia naksir lo nes, sampe mau ikut
karate demi ngeliat lo,” celoteh Bulan polos tanpa memperhatikan raut wajah
gelisah Nesa.
Aku takut Bulan
curiga. Tapi sebenarnya apasih yang bakal terjadi? Kenapa Matahari nitipin
Bulan sama gue, oh iya! Bintang, tadi kenapa juga Matahari nyuruh gue deketin
Bulan sama Bintang? Wah ga beres nih.
*****
“Ri, semuanya sudah
beres. Lusa kita berangkat,” ujar Mama menghampiriku yang sedang santai
menikmati semilir angin di atap.
“Mama, apa ga repot
ngurusin kerjaan kantor sama aku sekaligus, mama ga usah ikut juga ga apa-apa
kok,” sahutku yakin.
“Kamu itu anak mama
satu-satunya, mana mungkin mama egois milih kantor. Lagian mama kan tinggal
ngatur dari telepon kalau ada apa-apa.”
“Hmm, makasih ya Ma.”
“Tapi, kamu beneran
udah yakin sama keputusan kamu ini, fatal lo jika nanti akhirnya kamu nyesel.”
“Ari yakin, Ma.
Yakin!” ungkapku sambil menatap Bintang.
Bintang pasti jagain
Bulan kalau toh ternyata dia sayang sama Bulan. Kali ini gue serahin Bulan sama
lo, kalau gue bisa kembali lagi dan ternyata Bulan masih milih gue setelah lo
mengukir kenangan Indah bersama dia, itu bukan salah gue kan?
“Halo?” sapa
seseorang dari nomor telepon yang aku hubungi. Bintang!
“Ini gue, Matahari.
Besok setelah pulang sekolah gue tunggu di taman dekat sekolah ya. Ada hal
penting yang harus gue omongin sama lo, bisa?”
“Pasti tentang Bulan.
Oke gue tunggu lo,” jawabnya mantap.
Aku mematikan ponsel.
Besok mungkin semuanya akan mengakhiri hubungan kita Bulan. Maafin aku nantinya
kalau aku berbuat senekat ini, ini semua untuk kamu juga. Demi kebahagian kamu,
jika aku memang ga bisa bertahan mungkin Bintang bisa.
Ting..Tung…Ting...Tung…
Aku mendengar bel
berbunyi, ku lirik jam tanganku menunjukkan pukul 7 malam. Itu pasti Bulan yang
akan melihat Bintang. Melihat Bintang bukan Matahari!
“Ari, ada Bulan nih!”
teriak Mama dari bawah. Bulan datang lagi malam ini, papa tolong bantu aku agar
rencana ini berhasil ya. Doaku dalam hati.
“Hai, udah lama kamu
nongkrong disini?” sapa Bulan seraya duduk di sampingku. Kami menatap Bintang,
berharap kepada Bintang!
“Kamu ke sini mau
liat Bintang ya?” tanyaku menanti jawabannya yang akan menentukan keputusanku.
“Iya! Bintang cantik
ya malam ini,” sahutnya dengan ketakjuban. Benar, kan?
“Tapi, sebenarnya aku
mau liat Bintang kalau kamu ada disini, kalau bukan kamu yang menemani aku ga
bakal mau liat Bintang, Ri!” sambungnya membuat aku terenyuh.
“I hope the moon can
embraces the sun without step on ther star,” ujarnya sambil menatapku dengan
senyum termanisnya.
“Kamu sok diplomatis
romantis deh, Lan!” balasku membuatnya cekikikan geli.
Suasana kembali
hening, beberapa saat yang lama sekali.
“Ri?” panggilnya
memecah hening.
“Apa?”
“Kamu udah nemuin
pendonor belum?”
“Belum. Kenapa? Kamu
mau nyalonin diri ya?” tanyaku asal dan jawaban Bulan lebih asal lagi!
“Kok kamu tau? Iya,
rencananya lusa aku mau check sih cocok apa ga,” jawabnya yang membuat aku
terpana. Melongo, terbego-bego dan terharuuuuuu.
Ya Tuhan bagaimana
ini? Apa aku sanggup meninggalkannya jika seperti ini? Kenapa dia harus
menggapai aku, Tuhan? Kenapa tidak aku saja yang menggapainya? Bulan, kamu
membuat aku merasa seperti penjahat sekarang. Maaf ya.
******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar