Total Tayangan Halaman

Jumat, 15 Februari 2013

Renkarnasi Matahari, Bintang, dan Bulan * Part 6 *



Part 6 ~The Moon Embraces The Sun~

Ini sudah hampir 3 hari sejak Matahari marah, dia sangat marah saat aku tidak menonton pertandingannya sampai selesai. Jangankan bertanya alasan mengapa aku pergi saat itu, dia bertemu denganku saja tidak mau. Ke-ce-wa!

“Nes, lo beneran ga tau Ari kenapa? Udah hampir 3 hari dia ga masuk sekolah loh, kan ga mungkin cuma gara-gara marah dia bolos gini,” tanyaku penasaran pada Nesa.

“Gue juga ga tau, Lan. Yang gue denger sih dia sakit.”

“Sakit apa? Pas aku dateng ke rumahnya Tante Risa bilang dia lagi pergi sama Dika atau Rangga. Jadi ga mungkin kan dia sedang sakit sekarang?”


“Kali aja Tante Risa boong sama lo, mungkin Ari lagi ga mau ketemu sama lo,” jawabnya dengan wajah serius.

“Apa aku harus tanya Rangga sama Dika lagi ya?”

“Jangan! Ntar lo digampar sama mereka, mereka juga pasti marah sama lo gara-gara lo ga nungguin Ari, jadinya tim mereka kalah di menit-menit terakhir,” usulku ditolak mentah-mentah oleh Nesa.

“Terus aku harus gimana? Ga enak rasanya begini,” ungkapku putus asa.

“Lo mau tau Matahari kenapa?” sahut seseorang dari arah belakang.

Aku melihat Kak Syifa dan Kak Dita sedang bersandar di pintu kelasku, mereka tampak menimbang-nimbang untuk melanjutkan kalimat atau tidak.

Aku bangkit dari bangku lalu berjalan ke arah mereka, “Dia kenapa Kak?”

“Gue heran sama lo. Bintang apain lo sih jadi lo bisa bodoh banget ninggalin Ari demi dia? Lo kan masih berstatus pacarnya Matahari, ga seharusnya lo ninggalin pertandingan dia demi jalan sama Bintang,” celoteh Kak Dita.

“Lo ga tau kan Ari tiba-tiba jatuh saat menit-menit terakhir? Katanya dia cedera gitu, tapi kalo dari penglihatan gue waktu nonton pertandingannya dia kayak sesak nafas gitu. Terus pingsan deh,” sambung Kak Dita sambil mengetuk-ngetuk pintu dengan kukunya.

“Kenapa ga ada yang cerita sama aku?” gumamku lirih.

“Its your fault. I have told you for keep distance from Bintang, don’t i? You make Bintang will chase you from Ari,” keluh Kak Syifa.

“Lo harusnya bisa milih, jangan jatuh di dua hati!” ujar Kak Dita. Lalu mereka pergi meninggalkanaku yang sedang galau lau lau lau!

Pulang sekolah nanti aku harus ke rumah Matahari. Semuanya harus diselesaikan secara tuntas dan tanpa ada kebohongan lagi.

Saat itu aku melihat Rangga dan Dika melewati koridor kelas, aku segera menghampiri mereka.

“Hai, maaf ya soal…” aku tidak sempat menyelesaikan kalimatku saat ku lihat Ari berjalan lambat di belakang mereka.

“Ariiii????!!!” aku kaget melihat wajahnya yang pucat dan tubuhnya yang makin kurus.

Mana mungkin dalam waktu 3 hari dia jadi begini? What’s going on?

Aku hendak mendekatinya saat tangan Dika menahanku menyentuh Ari, “Lo jauhin Ari!” katanya pedas menyayat hatiku.

“Kenapa?” tanyaku lirih lalu ku lihat Ari tersenyum kepadaku.

“Ga apa-apa Dik, gue juga mau ngomong sesuatu sama Bulan sebentar aja,” ujarnya lalu dengan tertatih dia mengajakku duduk di belakang perpustakaan.

“Malam ini kamu ke rumah aku ya, aku tunggu di atap jam 7. Kalau kamu mau selesain masalah sama aku sih,” ujarnya lalu beranjak pergi.

“Kamu sakit apa?” tanyaku menahan tangannya agar tinggal lebih lama.

“Kita biacarain nanti aja ya,” ungkapnya lalu pergi. Benar-benar pergi!

“Ngapain lo masih peduliin dia, setelah apa yang dia lakuin ke lo, Ri?” omel Dika padaku saat dia mengantarkan ku pulang dengan mobilnya.

“Dia masih bulan-ku. Dia masih milik gue, harus ya gue lepasin sesuatu yang gue sayang?”

“Tapi kan…”

“Udahlah Dik! Lo kok sewot Ari mau baikan lagi sama Bulan. Harusnya lo bangga Matahari punya dada yang lapang, memaafkan segalanya,” bela Rangga cepat.

“Terserah deh!” keluh Dika.

Aku ga bakalan lepasin Bulan, hanya untuk seorang Bintang. Aku bakal jaga Bulan apalagi di akhir waktuku, masih kah ada kesempatan untuk aku bertahan?

**
“Ayo masuk Ari sudah nungguin kamu di atap,” ujar Tante Risa dengan wajahnya yang kusut. Matanya tampak sembab, apa yang terjadi sebenarnya?

“Hai, maaf ya aku telat sekitar 5 menit,” sapaku sambil melirik jam tangan.

“Ga apa-apa, duduk disini,” balasnya seraya menepuk kursi di sebelahnya.

 “Hmm, kamu masih marah ya sama aku? Gara-gara…”

“Gara-gara kamu pergi sama Bintang ke suatu tempat dan ninggalin pertandingan basket aku, ga kok aku ga marah soal itu. Aku hanya kecewa aja kenapa kamu nyembunyiin itu dari aku,hufftt…” selanya saat aku belum selesai bicara.

“Kamu tau darimana?” tanyaku kaget.

“Ga penting aku tau darimana atau dari siapa. Yang penting harusnya kamu jujur sama aku, kamu kan pacar aku. Apa sekarang kita udah…”

“Ga! Kita masih pacaran kok, aku ga mau kamu pergi dari sisiku!” potongku cepat.

“Hahaha, makasih ya. Aku bahagia sekali kamu itu milikku.”

“Kamu sakit apa sebenarnya, Ri?” tanyaku saat ku lihat tawanya tidak lepas dan menahan sakit.

“Aku sakit disini, gara-gara kamu juga sih. Hehehe” guraunya sambil menunjuk ke hati.
“Jangan bercanda dong! Aku serius nih.”

“Aku juga serius, aku sakit disini.”

“Aku ga ngerti deh, Ri!” jawabku polos.

“Kata Mama, hati aku mengalami kelainan. Ya sama kayak papa aku lah, mungkin penyakitnya menurun kepada aku,” ungkapnya jujur.

“Kamu harus berada di sisi aku sampai aku sembuh, kalaupun aku ga sembuh…”

“Kamu pasti sembuh! Pasti, dokter kan punya alat canggih dan juga…”

“Dan juga ga ada donor hati untuk aku, sampai sekarang mama masih sibuk mencari donor itu. Aku udah pasrah sih kalau emang ga bisa di apa-apain lagi.”

Aku memeluknya baru kali ini aku melihat seorang Matahari pasrah dalam menghadapi sesuatu. Bagaimana mungkin ini terjadi? Aku baru saja bahagia bersama Ari.

“Lan, kamu boleh bilang aku egois. Tapi aku mohon tetaplah di sisiku sekarang, kalau nanti aku udah ga ada kamu boleh pergi ke sisi Bintang, aku rela…”

Puk puk puk! Aku memukul pundaknya berulang-ulang kali. Ari bodoh! Bodoh! Bodoh!

“Kamu pikir aku ini barang yang bisa pindah tangan terus, aku ga bisa apa cuma jadi milik kamu, Ri. Kamu jahat biarin aku pergi ke sisi orang lain, aku ga mau Ri ga mauuuuu,” kataku tersedu-sedu. Aku menangis di dada Matahari.

“Aku juga ga mau, Lan. Tapi apa yang mau dikata?” lirihnya pilu. Dia sepertinya akan menyerah saja.

“Ri, kamu boleh marah sama aku, kamu boleh ga inget sama aku, kamu boleh kok. Asal kamu masih ada di pandanganku dan aku masih bisa dengar kamu, aku rela…hiks” katanya pedih.

“Jadi kamu berharap aku lupa sama kamu, gitu ya? Hmm, boleh juga deh biar rasa cemburu aku ini hilang, kan bosen liat kamu sama Bintang terus, hehe ” gurauku.

“Kok begitu sih?” sungutnya. Dia seperti merajuk padahal tadi dia khawatir sekali sama aku. Tangisnya mereda, aku senang hiburanku ternyata berhasil.
“Apa mungkin aku bisa lupain kamu, umur kita berapa sekarang? 15 tahun ya? Hmm, berarti aku udah naksir kamu dari 10 tahun yang lalu dong ya. Saat pertama kali kita ketemu di rumah oppa, rasanya bahagia banget. Apa jangan-jangan aku udah naksir kamu dari dalam perut ya?” celotehku konyol. Dan Bulan hanya terbengong-bengong.

“Kamu kok jadi garing sih, Ri. Apa cuma gara-gara sakit ya kamu jadi begini?” dumelnya dengan tampang sok belagak mikir.

“Hahahaha, jadi kita baikan lagi nih?” tanyaku nanggung, sebenarnya aku juga ragu sih apa masih bisa aku mengukir kenangan bersama Bulan.

“Iyaaa! Baikan lagi! Maafin aku yah, aku janji ga bakal deket sama Kak Bintang lagi. Tapi sebenarnya kasihan juga sih Kak Bintang, aku jadi bisa liat gambaran jelas gimana kalo ditinggal sama kekasih pergi. Pasti aku lebih parah dari Kak Bintang, makanya kamu jangan…” ups! Bulan menutup mulutnya. Dia keceplosan membeberkan sesuatu yang sepertinya, Rahasia? Ternyata mereka sangat dekat sampai ada rahasia.

“Hm, maksud aku kasihan Kak Bintang kalau aku harus pergi ngenjauh gitu, hehehe” kilahnya sambil tertawa hambar.

Aku merasa ada sesuatu yang aneh di setiap kali Bulan menyebut nama Kak Bintang. Apa benar aku masih satu-satunya orang yang ada di hatinya?

“Ri, kamu harus kuat. Aku pasti selalu di sisi kamu,” sambungnya dengan wajah kembali suram dan sedih. Nyesss, dalem!

“Kok jadi sok melankolis gini sih?” ucapku sambil menoyor kepalanya. Dia hanya merengut.

Aku tidak ingin Bulan bersedih, pasti dia sedang menahan perih di balik senyumnya itu. Bulan, aku ingin sembuh. Ingin mengukir kenangan indah lebih banyak lagi, bersama kamu! Hanya ada kita berdua, dan tidak ada celah untuk Bintang. I hope so.

***
Hari ini hari libur karena cuti bersama. Aku sedang mendengarkan musik di ruang tamu saat telepon rumah berdering. Aku beringsut hendak mengangkatnya tapi keduluan mama.

“Halo?” aku menguping pembicaraan itu sambil pura-pura menikmati alunan musik di earphone.
Mama menoleh sekilas lalu dengan halus dia berbicara dengan seseorang.

“Apa?! Jadi, bagaimana Dok?” tanya Mama cemas sambil melirikku was-was.

Aku mendengar Mama menghembuskan nafas berat lalu dia berkata, “Saya tunggu kabar selanjutnya, Dok. Saya mohon sekali.”

Mama menutup telepon dia tampak seperti ingin menangis. Itu pasti kabar buruk dari Dokter Bram, dokter yang merawatku.

“Dokter bilang apa, Ma?” tanyaku sambil menghampiri Mama yang pura-pura berjalan ke dapur.

“Oh, biasa. Kamu disuruh check-up,” jawabnya ragu.

“Mama harus jujur sama aku. Aku ga mau lagi mama menutupi semuanya, kalau kemarin aku ga dengar pembicaraan mama dan dokter Bram di RS, aku sampai sekarang pasti ga tau perihal penyakit ini. Jadi…”

Aku berhenti berkoar-koar saat ku dapati Mama bersimpuh di dekat meja makan, bahunya bergetar hebat. Mama menangis!

“Ma, maafin Ari. Ari cuma mau mama jujur sama Ari,” kataku sambil memeluknya.

“Mama hanya ga sanggup bilang. Bukan berarti mama mau berbohong sama kamu, Ri.”

“Iya, maafin aku ya ma. Tapi Ari mohon dengan sangat…”

Mama meletakkan jari telunjuknya di bibirku, dia menyuruhku diam. Tatapannya lelah.

“Kamu ga usah mohon, mama akan bilang. Tadi Dokter bilang bahwa pendonornya sudah ada yang cocok, tapi ada pasien yang keaadannya lebih parah dari kamu yang juga cocok. Jadi pihak RS lebih mengutamakan dia, Ri!” ujar Mama sambil memandangku dengan rasa bersalah dan sakit yang mendalam.

Aku menggeleng, “Ga apa-apa Ma, dia memang lebih membutuhkan dibanding aku. Mungkin kalau ga kali ini, orang itu bakalan mati, iya kan Ma? Pasti ada kesempatan lain, Tuhan itu adil Ma” ungkapku seraya menghibur Mama.

Kring…kring….kring… Telepon berdering lagi, aku segera menyambar telepon itu. Taku-takut kalau mama yang mengangkat nanti ada yang disembunyikan lagi jika itu ternyata dari dokter.

“Halo?” sapaku.

“Bisa bicara dengan Ibu Risa Anggara? Ini dari rumah sakit. Ada kabar baik yang harus kami sampaikan,” tutur seseorang dari seberang telepon.

“Saya anaknya, tolong beritahukan pada saya biar nanti saya sampaikan.”

“Begini……..”

Aku menutup telepon. Perasaanku campur aduk! Mama memandangku dengan tatapan apa-yang-terjadi lalu aku menyuruhnya duduk di kursi meja makan.
Aku menceritakannya semua yang disampaikan pihak RS dan semua keraguanku dan mama hanya tersenyum antara bahagia dan juga ragu, “Kamu bisa kan, Nak? Cuma sebentar saja. Ini juga penting untuk kamu.”

“Aku takut, Ma. Bulan bagaimana? Aku ga bisa,” jawabku menimbang-nimbang.

“Bulan pasti akan sangat mendukung, dia juga ingin liat kamu sembuh, Ri.”

Aku berpikir sejenak lalu dengan berat hati aku berkata, “Aku setuju. Asal mama janji satu hal untuk aku, Ma.”

“Apa, Ri?”
Mama mendelik kaget saat aku membisikkan permintaan itu, dia kaget, shock dan superduper ga mengerti dengan permintaan konyolku ini. Bisa dibilang aneh!

“Apa kamu yakin dengan ini? Mama takut…”

“Aku yakin ini yang terbaik, Ma. Matahari mohon tolong ya, Ma.”
Mama mengangguk dengan terpaksa dan akhirnya ku dengar derap kaki mama menjauh. Aku harus merelakan ini, daripada melihat Bulan nantinya akan bersedih dan terus mengkhawatirkan aku. Apalagi kalau ternyata aku ga bisa bertahan, Bulan pasti akan lebih menderita. Tidaaaaaaaaakkkkkk! Lebay sih. Tapi semua langkah harus ku perhitungkan agar semuanya berakhir bahagia nanti.

****
“Lo Nesa kan?” tanya seorang cowok dingin padaku. Kalau diperhatikan sepertinya dia ini Dika temennya Ari yang sering marah-marah sama bulan. Cakep sih tapi galak ah.

“Hm, iya. Ada ap---“

“Sini ikut gue sebentar!” paksanya sambil menarik lenganku. Degg! Kok gue deg-degan gini. Aduh, aneh! Secupu-cupunya gue yang hobinya cuma baca buku, tapi kan gue jago karate. Harusnya gue bisa menghajar ni cowok, tapi dia keren cuy jadi ga tegaaaa!

Dika menarikku ke kelasnya. Ku lihat Matahari sedang duduk bersama satu orang lagi, pasti yang itu namanya Rangga. Ah masih kalah cakep sama si Dika! Kok????

“Heloooo, lo dengerin gue ga sih, Nes?” kata Ari sambil mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahku. Nesa kok malah ngelamun sih? Bego!

“Eh, iya! Anu, tadi ngomong apa?” tanyaku gelagapan ketauan ngelamun.

“Hahaha, aneh juga lo! Gue daritadi emang belom ngomong apa-apa kaleee, ya habisnya lo kayak lagi ngelamun. Eh, ternyata bener!” tawa mereka bertiga pecah.  Aku jadi salting plus melting. Saltingnya emang karena malu sih, malu bangetttt! Tapi meltingnya gara-gara Dika ketawanya lepas bangettttt. Uhh, kerennya.

“Ehm, ehm…” deham Matahari sambil menyuruhku duduk di depannya. Berarti di sebelah Dika dong, OMG.

“Gini Nes, sebenarnya gue pengen tanya sesuatu sama lo. Tapi lo harus jawab jujur ya, dan jangan cerita ke Bulan tentang ini,” kata Matahari sambil garuk-garuk tengkuknya. Kudisan kali ya jadi gatel gitu? Wkwkwk.

“Tanya apa? Buruan!! Ntar Bulan keburu balik nih dari ruang musik. Eh, dia bukan ketemu Bintang lho disana. Dia cuma ngambilin buku lagu punya Bu Meri aja,” ujarku memberi alasan saat melihat mukanya Ari menjadi keruh bak air yang diobok-obok.

“Oh, nyantai aja. Gue ga cemburuan amat kok,” balasnya enteng meski lipatan di keningnya tidak hilang. Pasti cemburu sok cuek lagi, huu.

“Gue tau lo temen deketnya Bulan, jadi gue harap lo bisa diandalkan. Hmm, sebelumnya lo udah tau belom gue sakit apa?” tanyanya sambil menopangkan dagu.

“Gimana ya, Anu.. Hm.. Bulan ga cerita banyak sih. Dia cuma bilang separah apapun penyakit lo, dia bakal di sisi lo kok dan terus dukung lo,” jawabku jujur. Yah, jujur banget groginya. Dika liatin gue mulu, kepedean nih.

“Gitu ya, jadi intinya lo ga tau. Kalau gue sakitnya parah terus bisa bikin Bulan menderita karena khawatir lo bakal ngapain sebagai sahabatnya?”

“Gue… ya gue bakal menghibur dialah!” jawabku melengking sambil melirik Dika. Tuh kan masih diliatin, jadi keluar deh suara gajahnya gue.

“Bagus! Gue seneng lo bisa di andalkan kalau seandainya gue emang bakalan buat dia menderita gue harap lo bisa di sisinya dia. Dan juga walaupun gue nantinya ga ada disini karena----“ ucapan Matahari berhenti saat Rangga menyikutnya tajam dan Ari tersenyum malu sepertinya dia tadi hampir keceplosan deh.

“Hmm, maksud gue kalau nanti ada apa-apa. Jangan tinggalin Bulan, ya!” seru Ari lalu menepuk pundakku. Bingung? Iya, bingung banget kenapa Ari ngomong begitu ya, ckckckck. Nggak beres nih!

“Eh, soal Bintang itu…” Ari tampak ragu menyambung kalimatnya.

“Hufft, gue mau lo bisa deketin Bintang sama Bulan lagi. Lo bisa kan?” tanya Ari yang jelas-jelas tulus, tapi bikin gue mikir kok ada ya pacar yang rela pacarnya main serong?

“Kok begitu? Emangnya---“

“Gue mau Bintang jagain Bulan kalau gue ga ada,” potongnya sambil meringis kesakitan. Kok sakit?

“Lo kenapa, Ri?” tanyaku basa-basi.

“Gue mungkin bakal lama ninggalin dia, dan itu berarti gue harus rela semua yang disini hilang.”

Aku bingung mendengar pengakuan Matahari, sakit parah apa bisa bikin dia ngawur gini ya? Apa jangan-jangan dia mau dead?

“Lo ngasih gue pesan terakhir ya sebelum lo meninggal?” tanyaku polos.

Matahari terlonjak mendengar pernyataanku atau pertanyaanku. Yang mana ni?

Gelak tawa ketiganyapun pecah lagi. Heran! Kok Matahari kayak orang yang ga kena sakit parah kayak kata Si Bulan ya. Meski dia harus menahan dadanya saat tertawa tapi raut wajahnya normal-normal saja.

“Hm, ehm. Ini tugas lo, Nes. Gue bakal tenang kok perginya kalau lo ada di sisinya, Bulan,” ujarnya tulus meski tersirat ragu-ragu.

“Makasih ya, Dika anterin Nesa balik ke kelasnya lagi ya,” kata Ari sambil mengerlingkan sebelah matanya padaku. Haa? Jangan-jangan Ari tau dari tadi aku melirik Dika. Wahhh, malu!

“Eh, Nesa! Ingat ya jangan cerita ke Bulan soal yang tadi,” ujar Dika saat kami sudah berada di depan kelasku. Tinggal 5 menit sebelum bel istirahat berakhir.

“Dik, kenapa Matahari ngomong begitu ya? Ada gitu orang yang mau meninggal masih ketawa lepas kayak tadi?” tanyaku polos dan sukses bikin Dika melongo.

“Siapa yang mau meninggal? Justru Ari mau proses pengobatan kali,ck ck ck” decaknya kesal campur prihatin. Pasti dia mikir aku ini bodoh sekali.

“Habis dia ngomongnya----“

“Lo tu jangan nyumpahin temen gue mati ya!” bentaknya padaku dengan mata menyala.

“Eh, Dika! Ngapain lo kesini? Nyari gue ya?” tiba-tiba Bulan datang dan Dika jadi khawatir jangan-jangan Bulan mendengar percakapan kami tadi.

“Kepedean lo! Gue cari Nesa, udah ah. Duluan ya,” katanya sambil berlalu.

“Haaaaaaaa? Gila si Dika yang anti banget sama cewek itu nyari lo Nes?” decak kagum terdengar dari suaranya Bulan saat dia menyelidikku.

“Ehh, tadi dia cuma numpang tanya seputaran karate kok,” jawabku asal.

“Haaa? Dia mau ikut karate? Basketnya gimana? Wah jangan-jangan dia naksir lo nes, sampe mau ikut karate demi ngeliat lo,” celoteh Bulan polos tanpa memperhatikan raut wajah gelisah Nesa.

Aku takut Bulan curiga. Tapi sebenarnya apasih yang bakal terjadi? Kenapa Matahari nitipin Bulan sama gue, oh iya! Bintang, tadi kenapa juga Matahari nyuruh gue deketin Bulan sama  Bintang? Wah ga beres nih.

*****
“Ri, semuanya sudah beres. Lusa kita berangkat,” ujar Mama menghampiriku yang sedang santai menikmati semilir angin di atap.

“Mama, apa ga repot ngurusin kerjaan kantor sama aku sekaligus, mama ga usah ikut juga ga apa-apa kok,” sahutku yakin.

“Kamu itu anak mama satu-satunya, mana mungkin mama egois milih kantor. Lagian mama kan tinggal ngatur dari telepon kalau ada apa-apa.”

“Hmm, makasih ya Ma.”

“Tapi, kamu beneran udah yakin sama keputusan kamu ini, fatal lo jika nanti akhirnya kamu nyesel.”

“Ari yakin, Ma. Yakin!” ungkapku sambil menatap Bintang.

Bintang pasti jagain Bulan kalau toh ternyata dia sayang sama Bulan. Kali ini gue serahin Bulan sama lo, kalau gue bisa kembali lagi dan ternyata Bulan masih milih gue setelah lo mengukir kenangan Indah bersama dia, itu bukan salah gue kan?

“Halo?” sapa seseorang dari nomor telepon yang aku hubungi. Bintang!

“Ini gue, Matahari. Besok setelah pulang sekolah gue tunggu di taman dekat sekolah ya. Ada hal penting yang harus gue omongin sama lo, bisa?”

“Pasti tentang Bulan. Oke gue tunggu lo,” jawabnya mantap.

Aku mematikan ponsel. Besok mungkin semuanya akan mengakhiri hubungan kita Bulan. Maafin aku nantinya kalau aku berbuat senekat ini, ini semua untuk kamu juga. Demi kebahagian kamu, jika aku memang ga bisa bertahan mungkin Bintang bisa.

Ting..Tung…Ting...Tung…
Aku mendengar bel berbunyi, ku lirik jam tanganku menunjukkan pukul 7 malam. Itu pasti Bulan yang akan melihat Bintang. Melihat Bintang bukan Matahari!

“Ari, ada Bulan nih!” teriak Mama dari bawah. Bulan datang lagi malam ini, papa tolong bantu aku agar rencana ini berhasil ya. Doaku dalam hati.

“Hai, udah lama kamu nongkrong disini?” sapa Bulan seraya duduk di sampingku. Kami menatap Bintang, berharap kepada Bintang!

“Kamu ke sini mau liat Bintang ya?” tanyaku menanti jawabannya yang akan menentukan keputusanku.

“Iya! Bintang cantik ya malam ini,” sahutnya dengan ketakjuban. Benar, kan?

“Tapi, sebenarnya aku mau liat Bintang kalau kamu ada disini, kalau bukan kamu yang menemani aku ga bakal mau liat Bintang, Ri!” sambungnya membuat aku terenyuh.

“I hope the moon can embraces the sun without step on ther star,” ujarnya sambil menatapku dengan senyum termanisnya.

“Kamu sok diplomatis romantis deh, Lan!” balasku membuatnya cekikikan geli.

Suasana kembali hening, beberapa saat yang lama sekali.

“Ri?” panggilnya memecah hening.

“Apa?”

“Kamu udah nemuin pendonor belum?”

“Belum. Kenapa? Kamu mau nyalonin diri ya?” tanyaku asal dan jawaban Bulan lebih asal lagi!

“Kok kamu tau? Iya, rencananya lusa aku mau check sih cocok apa ga,” jawabnya yang membuat aku terpana. Melongo, terbego-bego dan terharuuuuuu.

Ya Tuhan bagaimana ini? Apa aku sanggup meninggalkannya jika seperti ini? Kenapa dia harus menggapai aku, Tuhan? Kenapa tidak aku saja yang menggapainya? Bulan, kamu membuat aku merasa seperti penjahat sekarang. Maaf ya.

******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar