Total Tayangan Halaman

Jumat, 15 Februari 2013

Renkarnasi Matahari, Bintang, dan Bulan * Part 7 *



Part 7 ~When You Were Gone~

Aku duduk gelisah sedari tadi di taman ini, ini sudah terlambat 15 menit dari janji awal. Kemana dia pergi? Apakah dia tidak datang?

“Sorry gue telat! There’s a little trouble,” ujar Bintang saat dia berdiri menjulang di hadapanku.

Bintang Dewaputra, cowok yang sekarang berdiri di depanku terlihat gagah dengan balutan celana panjang hitam dan kemeja petak-petak birunya yang digulung mencapai siku. Garis wajahnya menunjukkan dia orang yang tegar dan bertanggung jawab.

“Apa ada masalah yang lebih penting dari urusan kita tentang Bulan ya?” tanyaku seraya bergurau dan mempersilahkan dia duduk di bangku panjang.


Dia tersenyum masam lalu berkata, “Gue udah siap kok mundur tanpa lo suruh, kalau emang lo mau bicarain itu sebenarnya---“

“Sebenarnya gue juga mau bicara tentang itu,” potongku sambil merentangkan tangan menikmati hembusan angin.

“Ya sekarang ga perlu lagi, gue tahu diri kok, gue punya malu. Jadi, gue ga bakal gangguin kalian lagi,” ungkapnya lalu menepuk pundakku hendak beranjak pergi.

“Bukan lo yang harus pergi, gue yang harus pergi,” kataku mantap membuatnya menghentikan langkah.

Dia berbalik dan mencengkram kerah bajuku dengan sorot mata menyala, “Lo gila ya! Ngomong apa barusan lo?!”

“Kenapa lo marah? Harusnya lo senang bisa bersama Bulan, ya walaupun itu karena kesempatan yang gue berikan,” sahutku sambil menyinggungkan senyuman pahit.

Dia mengendurkan cengkramannya lalu duduk di sebelahku lagi. Dia diam seribu bahasa, keadaan hening. Hanya desau angin yang menemani kami.

Satu menit…
Lima menit…

Tidak ada yang bicara sampai ku dengar Matahari menghembuskan nafas berat.
“Lo kenapa?” tanyaku ragu, aku tahu pasti ada yang salah disini.

“Gue ga bisa jagain Bulan untuk waktu yang ga bisa di tentukan batasnya. Jadi gue mau lo di sisi Bulan,” jawabnya tegar.

“Lo emang udah gila ya, kalau lo berbuat begini karena kasihan sama gue jangan harap gue bakal bertermakasih. Gue ga butuh lo kasih kesempatan emas begini.”

“Jadi lo nolak ya kesempatan ini? Wah, sayang sekali kesempatan ini cuma datang sekali saja lho!” keluhnya dengan tatapan menjatuhkan.

“Apa yang terjadi sebenarnya?” perasaanku berkata Matahari menyembunyikan sesuatu.

“Gue sakit, sakit parah. Gue mau menjalankan pengobatan di suatu tempat yang jauh,” lirihnya membuat aku terdiam. Benarkah?

“Jangan bercanda! Lelucon ini ga lucu! Ayolah kita sedang tidak membuat film drama sekarang---“

“Ya, gue juga maunya ini hanya lelucon yang dapat menghibur,” sambarnya.

“Lo sakit apa? Bulan udah tau?” pertanyaan itu terlontar begitu saja.

“Ga usah kasihan sama gue, harusnya lo bersyukur gara-gara ini lo baru bisa bersama Bulan,” jawabnnya yang spontan menggelitikku.

“Hahaha, gue baru tau kalo lo bisa ngelawak juga,” tawaku terdengar sumbang tapi jujur tidak ada yang bisa ku cerna sekarang.

“Jadi Bulan udah tau, terus dia mau ninggalin lo, gitu?” sambungku.

“Maunya juga begitu, tapi ya apa boleh buat dia kan terlalu cinta sama gue. Jadi----“

“Jadi, mendingan lo yang duluan ngelepas dia? Gue salut sama lo, Ri!” dia hanya tersenyum getir.

“Gue bakal jagain dia, lo harus kembali buat dia! Dia hanya milik lo kok, tapi kalau nanti dia jatuh cinta sama gue…” aku menggantungkan kalimatku saat ku lirik tangannya gemetaran.

“Itu hak dia. Gue tau resikonya, jadi apapun yang terjadi gue bisa bertahan. Yang penting lo jangan pernah sakitin dia, dia---“

“Gue bakal jaga dia dengan seluruh nafas ini, dengan jiwa ini dan lo bakal nangis darah karena sekarang lo udah lepasin dia buat gue!” potongku cepat.

Dia tersenyum getir, tatapannya menyiratkan bahwa dia sedang berjuang untuk tidak menangis. Dia mencoba tegar seperti apa yang aku lakukan dulu. Matahari, benarkah pertarungan kita berakhir sekarang?

“Mungkin gue bakal menyesal nantinya. Tapi sekarang gue titip dia sama lo!” ujarnya seraya mengulurkan tangan.

Kami berjabat tangan. Tangannya begitu dingin, dia pasti sangat menderita. Tapi apapun yang terjadi nantinya aku tidak akan melepaskan Bulan lagi, dia yang datang dan memberikan Bulan untukku. Benar!

**
“Hai Nesa, lagi apa?” tiba-tiba Bulan sudah ada di sampingku. Kapan dia datang?

“Kamu dari tadi bengong aja, jadi ga tau deh kalau aku udah duduk disini kira-kira 15menit-an,” ujanya membuatku terlongo. Serius cinnn? Gileee bener!

“Hahaha! Bercanda lagi, Nes! Aku baru datang,” sambungnya dengan menyunggingkan sebuah senyuman konyol.

“Dasar! Oh tumben lo ga pulang sama Ari, oh tau-tau pasti lagi nungguin Ari latian basket dulu ya disini,” tanyaku.

Dia menggeleng, dia menampakkan wajah kesusahan. Uhh, pasti masalah lagi nih.

“Kalian berantem lagi ya?”

“Ga kok!” sahutnya cepat.

“Jadi? Kenapa lo muram gitu?” aku penasaran sekali.

“Tadi aku baru dapat telepon dari rumah sakit, aku ga bisa jadi pendonor. Hasil tesnya ga cocok,” lirihnya.
“Lo kan masih muda, emang lo udah berani kalau operasi besar nantinya?”

“Hehehe,” dia tertawa geli.

“Ga siap sih, tapi kan usaha demi Matahari-ku!” sambungnya lirih.

“Iya tau! Demi cinta,” sahutku menggelegar dan dia melotot tajam.

Kami sedang berada di perpustakaan sekarang, semua mata tertuju pada kami. Bel pulang telah lama berbunyi tapi masih ada juga murid yang betah disini. Kutu Buku!

“Lo sih berisik!” keluhnya lesu.

“Hehehe, khilaf!” kilahku tidak mau disalahkan atas mulut besarku yang kalau bicara suka melengking sepertinya settingnya emang udah begitu dari lahir.

“Eh, lho kok Bulan masih disini? Ga mau farewell party ya?” cetus  Zaskia teman sekelas Ari yang resek abis.

“Maksudnya?” tanyaku bingung. Zaskia pasti lagi ngelindur. Emang siapa yang mau pergi? Kok harus farewell party, Dasar!

“Mel, kelas lo ga ada pengumuman ya kalau Ari bakal pindah sekolah?” tanya Zaskia pada Imelda yang sedang bersandar di rak buku sambil membenarkan riasan wajahnya pada cermin kecil yang selalu dia bawa kemana-mana.

“Ga ada deh, tapi masa iya sih Bulan ga tau percuma dong rumah dekat percuma dong status pacaran, toh ga tau apa-apa,” ketusnya menusukku.

“Kalian tuh ngomong apaan sih!” geramku kesal.

“Udah ah yuk cabut Zas, ngapain juga disini. Banyak kutu bukunya!” tegas Imelda seraya melangkahkan kaki meninggalkan perpustakaan.

“Nes, mereka tadi ngomongin apaan sih?” tanyaku masih dengan intonasi kesal.

Nesa terlihat kikuk. Dia kentara sekali sedang galau. Lha kenapa lagi nih?

“Lan, maaf ya. Sebenarnya Dika bilang sama gue semalam katanya Matahari mau pindah sekolah ke Singapura besok,” ujar Nesa dengan tampang bersalah.

“Hahaha, lucu deh. Mana mungkin sih? Ari kan lagi sakit terus dia juga ga bilang apa-apa tentang ini? Jangan bercanda deh, Nes!” balasku canggung.

“Justru karena dia mau jalanin pengobatan disana, rumah sakit disana lebih bagus,” sambungnya membuat buku yang sedang ku pegang terjatuh.

“Jadi? Ari beneran bakal pergi?” tanyaku ragu.

Nesa mengangguk pelan seraya membenarkan letak kacamatanya. Lutut ini terasa begitu lemas, persendianku terasa mati rasa. Tidak ada kekuatan untuk berlari pulang apalagi menangis. Kenyataan bahwa Ari tidak berkata apa-apa padaku menyayat hati ini. Kenapa?

***
“Ri, Bulan nungguin kamu tuh. Dia sekarang ada di atap,” kata Mama saat menyambut aku pulang.

Dika dan Rangga yang sengaja ingin menginap di rumahku malam ini memberi isyarat agar aku menemuinya dulu. Mereka beranjak ke kamarku. Mama tersenyum dan berlalu menuju kamarnya.

Aku melangkahkan kaki pelan menuju tempat Bulan duduk, dia sedang memandang ke atas. Memandang Bintang lagi, huft.

“Hai, Bulan!” sapaku sambil duduk disampingnya.

Dia tidak menyahut dan tidak memberi respon apa-apa. Hanya tampak aliran airmata di pipinya yang tampak kemerahan karena dinginnya malam. Bulan pasti sudah tau kalau besok aku akan pergi. Pergi dari sisinya untuk waktu yang batasnyapun aku ragu.

“Lan, maaf ya. Rencananya aku juga mau bilang sama kamu malam ini disini, tapi mungkin kamu sudah mendengarnya dulu,” lirihku.

Bulan masih tidak member respon, airmatanya semakin deras bak hujan yang lama tidak turun. Hiperbolis banget deh! Tapi suasana nya jadi rentan sekarang, aku takut menyentuh luka hatinya bila salah bicara.

“Ri?” akhirnya dia mengeluarkan suara meski terdengar serak.

“Hmm,” gumamku pelan.

“Kamu tau ga apa alasan aku setiap malam kesini?”  tanyanya masih menatap lurus ke langit.

“Karena kamu ingin lihat bintang, kan?”

“Ya, sayangnya rumah ini bakalan kosong nanti, jadi mungkin kamu ga bisa lihat bintang disini tapi-----“ disekolah sambungku dalam hati.

“Aku kesini hanya ingin lihat kamu, Ri. Hanya ingin lihat kamu ada di sampingku saat menatap bintang,” Bulan mulai tersedu-sedu pelan lagi.

“Maafin aku ya, Lan. Mungkin nanti----“

“Nanti kamu bakalan kembali kan? Setahun, dua tahun, sepuluh tahun pun aku siap nungguin kamu, Ri. Asal kamu kembali,” sambarnya, ini nih muncul sisi romantisnya Bulan.

“Cieee, belajar darimana nih cara meluluhkan?” gurauku.

Dia diam saja meski sedang ku goda, haduh kok jadi canggung gini suasananya. Mau gimana ya bilang ke Bulan agar dia ga salah paham. Hening. Kerlap-kerlip bintang menemani kami, dan udara malam pun mengusik kami.

“Tadi dokter dari rumah sakit nelepon aku. Katanya hasil tes ga cocok, sayang banget ya,” katanya seraya menatapku. Dia tidak menangis lagi sekarang.

“Ga apa-apa kok, aku pergi juga karena ingin menjalani pengobatan,” aku mengelus kepalanya lalu dia merebahkan kepala di pundakku.

Kembali hening menjepit, tidak ada yang bisa mengeluarkan emosi. Airmata Bulan mungkin sudah habis, terlalu banyak kalimat di hati yang ingin diucapkan sehingga tidak ada yang bisa dikeluarkan lagi.

“Besok, jam berapa berangkat?” tanyanya sambil berdiri tiba-tiba.

“Jam 8 pagi,” jawabku menyamakan langkah dengannya.

Kami menuruni tangga dan saat sampai di pintu depan Bulan berbalik sambil menatapku, dia tersenyum manis. Senyuman paling manis!

“Cepat pulang ya!” ujarnya lalu memelukku erat sekali.

“Apapun yang terjadi jangan lupakan kenangan kita ya,” kerlingku dan dia tertawa kecil.

Bulan berbalik pergi, dia tidak menangis dan tidak berusaha menahanku agar tidak pergi. Sebenarnya kalau dia menahanku agar tidak pergi, mungkin aku tidak akan pergi. Tidak akan pergi!

“Tidak bisakah kamu tinggal disisiku, Ri?” gumamku dalam hati. Sudah sekian banyak makian yang ku lontarkan pada diri ini.

Bagaimana bisa aku tidak menahannya untuk tetap tinggal? Ingin sekali aku menahannya, tapi aku ingin dia sembuh. Aku tidak kuat melihat dia bertambah rapuh.

“Ari bodoh!” rutukku dalam hati. Jalan pulang yang hanya sekitar 30 meter terasa menjadi 1 kilometer jauhnya. Aku sibuk mengomel dalam hati hingga tanpa sadar aku terduduk di bawah tiang lampu. Tangisan ini tidak boleh dilihatnya, dia tidak boleh tahu.

****
Jam ditanganku sudah menunjukkan pukul 07.30 pagi, Dika dan Rangga yang duduk di ruang tunggu sudah mulai gelisah. Mama sedari tadi sudah berisik sekali menceramahi.

“Ari, ayo kita masuk. Kamu lagi nungguin siapa sih!” omel Mama pasrah.

“Ri, buruan deh! Ngapain sih lo masih betah berdiri disitu?” kata Dika.

Aku berdiri di depan pintu jendela bening, berharap melihat Bulan berlari datang dan memelukku untuk yang terakhir kalinya. Mengucapkan sederet kalimat perpisahan yang manis. Tapi hingga kini sosok mungil itu tidak juga ada.

“Ri, sana!” ujar Rangga sambil menepuk pundakku.

“Bulan belum ada,” cemasku dan Rangga hanya menggeleng-geleng.

“Dia mungkin ga bakal datang,” cela Dika mengahampiri kami.

“Tapi tadi malam dia nanya jam berapa berangkat, berarti dia bakal datang dong?”

“Ari, ayo! Buruan!” teriak Mama, pengumuman keberangkatan pun sudah bergema dari tadi.

“Dik, Rang. Gue titip Bulan ya, jagain dia baik-baik. Dan awasi Bintang jangan sampe dia nyakitin Bulan-ku, ya?” pamitku pasrah pada mereka.

“Jijay! Iya-iya tau! Sana cepetan, muak tau ga liat muka lo nih,” gurau Dika dengan ekspresi dingin seperti biasa.

“Dik, lo mestinya jaga bicara lo. Nesa pasti bakalan lari dari lo kalau gini terus, ck ck ck” decakku kesal.

Dika tampak kaget mendengar pengakuanku dan Rangga hanya cekikikan geli. Dika bergumam ga jelas lalu dia menggaruk-garuk tengkuknya yang ga gatal. Tuh kan ketauan Dika sebenarnya jatuh hati ke Nesa, tapi karena dia memang dari sono nya dingin dan ketus jadi ga bisa nunjukin rasa sayangnya. Poor him!

“Hm, masa sih?” tanyanya ragu dengan wajah berlipat-lipat.

“Busyeeet! Malah konsultasi masalah cinta, Dika ntar aja deh bahasnya, liat tuh nyokap Ari udah kayak setrikaan mondar-mandir mulu,” celetuk Rangga.

Aku dan Dika hanya saling memandang lalu terbahak-bahak, aku yang mau pergi kenapa Rangga yang rusuh sekali. Wah, gawat ni anak pasti ada mental jadi perempuan! Cerewet ameett ding.

“Thanks a lot guys!” aku berpelukan dengan mereka.

Mama bernafas lega ketika akhirnya aku menyeret koperku dan berjalan mengekor di belakangnya. Aku tidak berani menoleh ke belakang lagi, aku takut tangisku pecah karena faktanya Bulan-ku tidak datang untuk mengucapkan sederet kalimat perpisahan.
Sampai di duduk dalam pesawat aku masih terpukul. Bagaimana mungkin Bulan begini? Hatiku seperti tersayat sembilu bila mengingatnya lagi.

“Mending tidur deh,” rutukku dalam hati. Aku melepaskan jaketku dan ingin menyampirkannya di pinggir kursi, Mama sudah asyik menonton LCD TV yang menayangkan film romantisme kesukaanya.

Seonggok benda keras menyembul keluar sedikit dari jaketku, setelah memastikan bahwa benda itu adalah sebuah i-pod berwarna biru ada perasaan janggal menerpaku. Ini kan i-pod punya Bulan, kok ada di saku jaketku?

Aku melirik Mama yang masih asyik menonton dan aku menekan tombol play setelah memasang earphonenya, lalu hatiku mencelos saat mendengar suara yang ada, ternyata….

Kemarin ku lihat awan membentuk wajahmu
Desau angin meniupkan namamu
Tubuhku terpaku
Semalam bulan sabit melengkungkan senyummu
Tabur bintang serupa kilau auramu
Akupun sadari ku sedang berlari
Cepat pulang cepat kembali
Jangan pergi lagi firasatku ingin kau
Tuk cepat pulang cepat kembali jangan pergi lagi

Suara fals dan tidak keruan masih terdengar di telingaku, suara gadis yang terdengar bergetar masih bernyanyi.

Akhirnya bagai sungai yang mendamba samudra
Ku tau pasti kemana kan ku bermuara
Semoga ada waktu sayangku
Ku percaya alampun berbahasa
Ada makna dibalik semua pertanda
Firasat ini rasa rindu kah atau tanda bahaya
Aku tak perduli ku terus berlari
Cepat pulang cepat kembali jangan pergi lagi
Firasatku ingin kau tuk cepat pulang cepat kembali jangan pergi lagi

Dan lihatlah sayang, hujan turun membasahi seolah ku berairmata
Cepat pulang cepat kembali jangan pergi lagi
Firasatku ingin kau tuk cepat pulang cepat kembali jangan pergi lagi
Cepat pulang cepat kembali jangan pergi lagi
Firasatku ingin kau tuk cepat pulang cepat kembali jangan pergi lagi
Akupun sadari engkaulah… firasat hati

Di akhir lagu suara gadis yang tadi hanya bergetar justru menjadi tangis yang mengerikan. Terisak-isak, tersedu-sedan, bahasa sopannya termehek-mehek! Hiii…

“Hai, Matahari-ku. Kamu mungkin udah ga ada di sisiku lagi saat mendengarkan ini, tapi suer deh! Ini lagu bukan lagu yang Bintang nyanyiin ke aku waktu dulu, liriknya sih sama tapi ini lagu ku persembahkan untuk pacarku tersayang yang bakal pergi, bukan untuk Bintang…”

Suara Bulan yang dicampur tangis terdengar mengiris hati, ternyata Bulan sengaja tidak datang dan menyiapkan kejutan romantis begini.

“Ehm.. Ehm.. Aduh, kok aku jadi mellow gini yah. Huu malu-maluin aja!” ujarnya sambil terkekeh geli dengan suaranya yang masih serak itu.

“Ri, Ari? Kamu masih dengar kan? Ini Aku Bulan. Maaf ya ga bisa datang buat memberikan pelukan gratis di bandara, aku takut banget malah ga bisa ngelepasinnya. Hehehe. Oh iya, aku cuma mau pesan cepat sembuh ya dan sesuai lagu tadi cepat kembali.”

Hening beberapa saat… lalu terdengar cekikikan geli lagi. Aku mengernyit heran jangan-jangan Bulan sedang gila pas buat ini? Aduh!

“Ehm, ehm.. Maaf aku ngerasa lucu aja mau ngucapin yang satu ini….” jeda panjang sampai ku dengar ada hembusan nafas, “When you were gone, I’ll be here. Waiting for you day by day. Come back soon honey,” dan setelah itu tidak ada lagi sambungan suara. Rekaman end!

Aku merasa menjadi pacar terbahagia di dunia, Bulan sangat romantis tis tis. Aku jadi mau mewek, ups. Saat ku lirik Mama yang dahinya sudah berlipat-lipat dan mukanya sudah berkerut-kerut serta bibirnya sudah komat-kamit manyun melihat aku tersenyum-senyum dan tergalau-galau sendiri, aku jadi batal menangis. Tengsin berat nih.

“Kamu kenapa, Ri?” tanya Mama akhirnya.

“Aku mau cepat sembuh dan balik ke Bulan, Ma!” celetuk ku yang sukses membuat Mama melongo. Aku pasti kembali! Pasti! Aku tertidur pulas setelah puas tersenyum-senyum dan meringis mengingat kekonyalanku tadi. Bikin malu!

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar