Part 7 ~When You Were Gone~
Aku duduk gelisah
sedari tadi di taman ini, ini sudah terlambat 15 menit dari janji awal. Kemana
dia pergi? Apakah dia tidak datang?
“Sorry gue telat!
There’s a little trouble,” ujar Bintang saat dia berdiri menjulang di
hadapanku.
Bintang Dewaputra,
cowok yang sekarang berdiri di depanku terlihat gagah dengan balutan celana
panjang hitam dan kemeja petak-petak birunya yang digulung mencapai siku. Garis
wajahnya menunjukkan dia orang yang tegar dan bertanggung jawab.
“Apa ada masalah yang
lebih penting dari urusan kita tentang Bulan ya?” tanyaku seraya bergurau dan
mempersilahkan dia duduk di bangku panjang.
Dia tersenyum masam lalu berkata, “Gue udah siap kok mundur tanpa lo suruh, kalau emang lo mau bicarain itu sebenarnya---“
“Sebenarnya gue juga
mau bicara tentang itu,” potongku sambil merentangkan tangan menikmati hembusan
angin.
“Ya sekarang ga perlu
lagi, gue tahu diri kok, gue punya malu. Jadi, gue ga bakal gangguin kalian
lagi,” ungkapnya lalu menepuk pundakku hendak beranjak pergi.
“Bukan lo yang harus
pergi, gue yang harus pergi,” kataku mantap membuatnya menghentikan langkah.
Dia berbalik dan
mencengkram kerah bajuku dengan sorot mata menyala, “Lo gila ya! Ngomong apa
barusan lo?!”
“Kenapa lo marah?
Harusnya lo senang bisa bersama Bulan, ya walaupun itu karena kesempatan yang
gue berikan,” sahutku sambil menyinggungkan senyuman pahit.
Dia mengendurkan
cengkramannya lalu duduk di sebelahku lagi. Dia diam seribu bahasa, keadaan
hening. Hanya desau angin yang menemani kami.
Satu menit…
Lima menit…
Tidak ada yang bicara
sampai ku dengar Matahari menghembuskan nafas berat.
“Lo kenapa?” tanyaku
ragu, aku tahu pasti ada yang salah disini.
“Gue ga bisa jagain
Bulan untuk waktu yang ga bisa di tentukan batasnya. Jadi gue mau lo di sisi
Bulan,” jawabnya tegar.
“Lo emang udah gila
ya, kalau lo berbuat begini karena kasihan sama gue jangan harap gue bakal
bertermakasih. Gue ga butuh lo kasih kesempatan emas begini.”
“Jadi lo nolak ya
kesempatan ini? Wah, sayang sekali kesempatan ini cuma datang sekali saja lho!”
keluhnya dengan tatapan menjatuhkan.
“Apa yang terjadi
sebenarnya?” perasaanku berkata Matahari menyembunyikan sesuatu.
“Gue sakit, sakit
parah. Gue mau menjalankan pengobatan di suatu tempat yang jauh,” lirihnya
membuat aku terdiam. Benarkah?
“Jangan bercanda!
Lelucon ini ga lucu! Ayolah kita sedang tidak membuat film drama sekarang---“
“Ya, gue juga maunya
ini hanya lelucon yang dapat menghibur,” sambarnya.
“Lo sakit apa? Bulan
udah tau?” pertanyaan itu terlontar begitu saja.
“Ga usah kasihan sama
gue, harusnya lo bersyukur gara-gara ini lo baru bisa bersama Bulan,” jawabnnya
yang spontan menggelitikku.
“Hahaha, gue baru tau
kalo lo bisa ngelawak juga,” tawaku terdengar sumbang tapi jujur tidak ada yang
bisa ku cerna sekarang.
“Jadi Bulan udah tau,
terus dia mau ninggalin lo, gitu?” sambungku.
“Maunya juga begitu,
tapi ya apa boleh buat dia kan terlalu cinta sama gue. Jadi----“
“Jadi, mendingan lo
yang duluan ngelepas dia? Gue salut sama lo, Ri!” dia hanya tersenyum getir.
“Gue bakal jagain
dia, lo harus kembali buat dia! Dia hanya milik lo kok, tapi kalau nanti dia
jatuh cinta sama gue…” aku menggantungkan kalimatku saat ku lirik tangannya
gemetaran.
“Itu hak dia. Gue tau
resikonya, jadi apapun yang terjadi gue bisa bertahan. Yang penting lo jangan
pernah sakitin dia, dia---“
“Gue bakal jaga dia
dengan seluruh nafas ini, dengan jiwa ini dan lo bakal nangis darah karena
sekarang lo udah lepasin dia buat gue!” potongku cepat.
Dia tersenyum getir,
tatapannya menyiratkan bahwa dia sedang berjuang untuk tidak menangis. Dia
mencoba tegar seperti apa yang aku lakukan dulu. Matahari, benarkah pertarungan
kita berakhir sekarang?
“Mungkin gue bakal
menyesal nantinya. Tapi sekarang gue titip dia sama lo!” ujarnya seraya
mengulurkan tangan.
Kami berjabat tangan.
Tangannya begitu dingin, dia pasti sangat menderita. Tapi apapun yang terjadi
nantinya aku tidak akan melepaskan Bulan lagi, dia yang datang dan memberikan
Bulan untukku. Benar!
**
“Hai Nesa, lagi apa?”
tiba-tiba Bulan sudah ada di sampingku. Kapan dia datang?
“Kamu dari tadi bengong
aja, jadi ga tau deh kalau aku udah duduk disini kira-kira 15menit-an,” ujanya
membuatku terlongo. Serius cinnn? Gileee bener!
“Hahaha! Bercanda
lagi, Nes! Aku baru datang,” sambungnya dengan menyunggingkan sebuah senyuman
konyol.
“Dasar! Oh tumben lo
ga pulang sama Ari, oh tau-tau pasti lagi nungguin Ari latian basket dulu ya
disini,” tanyaku.
Dia menggeleng, dia
menampakkan wajah kesusahan. Uhh, pasti masalah lagi nih.
“Kalian berantem lagi
ya?”
“Ga kok!” sahutnya
cepat.
“Jadi? Kenapa lo muram
gitu?” aku penasaran sekali.
“Tadi aku baru dapat
telepon dari rumah sakit, aku ga bisa jadi pendonor. Hasil tesnya ga cocok,”
lirihnya.
“Lo kan masih muda,
emang lo udah berani kalau operasi besar nantinya?”
“Hehehe,” dia tertawa
geli.
“Ga siap sih, tapi
kan usaha demi Matahari-ku!” sambungnya lirih.
“Iya tau! Demi
cinta,” sahutku menggelegar dan dia melotot tajam.
Kami sedang berada di
perpustakaan sekarang, semua mata tertuju pada kami. Bel pulang telah lama
berbunyi tapi masih ada juga murid yang betah disini. Kutu Buku!
“Lo sih berisik!”
keluhnya lesu.
“Hehehe, khilaf!”
kilahku tidak mau disalahkan atas mulut besarku yang kalau bicara suka
melengking sepertinya settingnya emang udah begitu dari lahir.
“Eh, lho kok Bulan
masih disini? Ga mau farewell party ya?” cetus
Zaskia teman sekelas Ari yang resek abis.
“Maksudnya?” tanyaku
bingung. Zaskia pasti lagi ngelindur. Emang siapa yang mau pergi? Kok harus
farewell party, Dasar!
“Mel, kelas lo ga ada
pengumuman ya kalau Ari bakal pindah sekolah?” tanya Zaskia pada Imelda yang
sedang bersandar di rak buku sambil membenarkan riasan wajahnya pada cermin
kecil yang selalu dia bawa kemana-mana.
“Ga ada deh, tapi
masa iya sih Bulan ga tau percuma dong rumah dekat percuma dong status pacaran,
toh ga tau apa-apa,” ketusnya menusukku.
“Kalian tuh ngomong
apaan sih!” geramku kesal.
“Udah ah yuk cabut
Zas, ngapain juga disini. Banyak kutu bukunya!” tegas Imelda seraya
melangkahkan kaki meninggalkan perpustakaan.
“Nes, mereka tadi
ngomongin apaan sih?” tanyaku masih dengan intonasi kesal.
Nesa terlihat kikuk.
Dia kentara sekali sedang galau. Lha kenapa lagi nih?
“Lan, maaf ya.
Sebenarnya Dika bilang sama gue semalam katanya Matahari mau pindah sekolah ke
Singapura besok,” ujar Nesa dengan tampang bersalah.
“Hahaha, lucu deh.
Mana mungkin sih? Ari kan lagi sakit terus dia juga ga bilang apa-apa tentang
ini? Jangan bercanda deh, Nes!” balasku canggung.
“Justru karena dia
mau jalanin pengobatan disana, rumah sakit disana lebih bagus,” sambungnya
membuat buku yang sedang ku pegang terjatuh.
“Jadi? Ari beneran
bakal pergi?” tanyaku ragu.
Nesa mengangguk pelan
seraya membenarkan letak kacamatanya. Lutut ini terasa begitu lemas,
persendianku terasa mati rasa. Tidak ada kekuatan untuk berlari pulang apalagi
menangis. Kenyataan bahwa Ari tidak berkata apa-apa padaku menyayat hati ini.
Kenapa?
***
“Ri, Bulan nungguin
kamu tuh. Dia sekarang ada di atap,” kata Mama saat menyambut aku pulang.
Dika dan Rangga yang
sengaja ingin menginap di rumahku malam ini memberi isyarat agar aku menemuinya
dulu. Mereka beranjak ke kamarku. Mama tersenyum dan berlalu menuju kamarnya.
Aku melangkahkan kaki
pelan menuju tempat Bulan duduk, dia sedang memandang ke atas. Memandang
Bintang lagi, huft.
“Hai, Bulan!” sapaku sambil
duduk disampingnya.
Dia tidak menyahut
dan tidak memberi respon apa-apa. Hanya tampak aliran airmata di pipinya yang
tampak kemerahan karena dinginnya malam. Bulan pasti sudah tau kalau besok aku
akan pergi. Pergi dari sisinya untuk waktu yang batasnyapun aku ragu.
“Lan, maaf ya.
Rencananya aku juga mau bilang sama kamu malam ini disini, tapi mungkin kamu
sudah mendengarnya dulu,” lirihku.
Bulan masih tidak
member respon, airmatanya semakin deras bak hujan yang lama tidak turun. Hiperbolis
banget deh! Tapi suasana nya jadi rentan sekarang, aku takut menyentuh luka
hatinya bila salah bicara.
“Ri?” akhirnya dia
mengeluarkan suara meski terdengar serak.
“Hmm,” gumamku pelan.
“Kamu tau ga apa
alasan aku setiap malam kesini?”
tanyanya masih menatap lurus ke langit.
“Karena kamu ingin
lihat bintang, kan?”
“Ya, sayangnya rumah
ini bakalan kosong nanti, jadi mungkin kamu ga bisa lihat bintang disini
tapi-----“ disekolah sambungku dalam
hati.
“Aku kesini hanya
ingin lihat kamu, Ri. Hanya ingin lihat kamu ada di sampingku saat menatap
bintang,” Bulan mulai tersedu-sedu pelan lagi.
“Maafin aku ya, Lan.
Mungkin nanti----“
“Nanti kamu bakalan
kembali kan? Setahun, dua tahun, sepuluh tahun pun aku siap nungguin kamu, Ri.
Asal kamu kembali,” sambarnya, ini nih muncul sisi romantisnya Bulan.
“Cieee, belajar
darimana nih cara meluluhkan?” gurauku.
Dia diam saja meski
sedang ku goda, haduh kok jadi canggung gini suasananya. Mau gimana ya bilang
ke Bulan agar dia ga salah paham. Hening. Kerlap-kerlip bintang menemani kami,
dan udara malam pun mengusik kami.
“Tadi dokter dari
rumah sakit nelepon aku. Katanya hasil tes ga cocok, sayang banget ya,” katanya
seraya menatapku. Dia tidak menangis lagi sekarang.
“Ga apa-apa kok, aku
pergi juga karena ingin menjalani pengobatan,” aku mengelus kepalanya lalu dia
merebahkan kepala di pundakku.
Kembali hening
menjepit, tidak ada yang bisa mengeluarkan emosi. Airmata Bulan mungkin sudah
habis, terlalu banyak kalimat di hati yang ingin diucapkan sehingga tidak ada
yang bisa dikeluarkan lagi.
“Besok, jam berapa
berangkat?” tanyanya sambil berdiri tiba-tiba.
“Jam 8 pagi,” jawabku
menyamakan langkah dengannya.
Kami menuruni tangga
dan saat sampai di pintu depan Bulan berbalik sambil menatapku, dia tersenyum
manis. Senyuman paling manis!
“Cepat pulang ya!”
ujarnya lalu memelukku erat sekali.
“Apapun yang terjadi
jangan lupakan kenangan kita ya,” kerlingku dan dia tertawa kecil.
Bulan berbalik pergi,
dia tidak menangis dan tidak berusaha menahanku agar tidak pergi. Sebenarnya
kalau dia menahanku agar tidak pergi, mungkin aku tidak akan pergi. Tidak akan
pergi!
“Tidak bisakah kamu
tinggal disisiku, Ri?” gumamku dalam hati. Sudah sekian banyak makian yang ku
lontarkan pada diri ini.
Bagaimana bisa aku
tidak menahannya untuk tetap tinggal? Ingin sekali aku menahannya, tapi aku
ingin dia sembuh. Aku tidak kuat melihat dia bertambah rapuh.
“Ari bodoh!” rutukku
dalam hati. Jalan pulang yang hanya sekitar 30 meter terasa menjadi 1 kilometer
jauhnya. Aku sibuk mengomel dalam hati hingga tanpa sadar aku terduduk di bawah
tiang lampu. Tangisan ini tidak boleh dilihatnya, dia tidak boleh tahu.
****
Jam ditanganku sudah
menunjukkan pukul 07.30 pagi, Dika dan Rangga yang duduk di ruang tunggu sudah
mulai gelisah. Mama sedari tadi sudah berisik sekali menceramahi.
“Ari, ayo kita masuk.
Kamu lagi nungguin siapa sih!” omel Mama pasrah.
“Ri, buruan deh!
Ngapain sih lo masih betah berdiri disitu?” kata Dika.
Aku berdiri di depan
pintu jendela bening, berharap melihat Bulan berlari datang dan memelukku untuk
yang terakhir kalinya. Mengucapkan sederet kalimat perpisahan yang manis. Tapi
hingga kini sosok mungil itu tidak juga ada.
“Ri, sana!” ujar
Rangga sambil menepuk pundakku.
“Bulan belum ada,”
cemasku dan Rangga hanya menggeleng-geleng.
“Dia mungkin ga bakal
datang,” cela Dika mengahampiri kami.
“Tapi tadi malam dia
nanya jam berapa berangkat, berarti dia bakal datang dong?”
“Ari, ayo! Buruan!”
teriak Mama, pengumuman keberangkatan pun sudah bergema dari tadi.
“Dik, Rang. Gue titip
Bulan ya, jagain dia baik-baik. Dan awasi Bintang jangan sampe dia nyakitin
Bulan-ku, ya?” pamitku pasrah pada mereka.
“Jijay! Iya-iya tau!
Sana cepetan, muak tau ga liat muka lo nih,” gurau Dika dengan ekspresi dingin
seperti biasa.
“Dik, lo mestinya
jaga bicara lo. Nesa pasti bakalan lari dari lo kalau gini terus, ck ck ck”
decakku kesal.
Dika tampak kaget
mendengar pengakuanku dan Rangga hanya cekikikan geli. Dika bergumam ga jelas
lalu dia menggaruk-garuk tengkuknya yang ga gatal. Tuh kan ketauan Dika
sebenarnya jatuh hati ke Nesa, tapi karena dia memang dari sono nya dingin dan
ketus jadi ga bisa nunjukin rasa sayangnya. Poor him!
“Hm, masa sih?”
tanyanya ragu dengan wajah berlipat-lipat.
“Busyeeet! Malah
konsultasi masalah cinta, Dika ntar aja deh bahasnya, liat tuh nyokap Ari udah
kayak setrikaan mondar-mandir mulu,” celetuk Rangga.
Aku dan Dika hanya
saling memandang lalu terbahak-bahak, aku yang mau pergi kenapa Rangga yang
rusuh sekali. Wah, gawat ni anak pasti ada mental jadi perempuan! Cerewet
ameett ding.
“Thanks a lot guys!”
aku berpelukan dengan mereka.
Mama bernafas lega
ketika akhirnya aku menyeret koperku dan berjalan mengekor di belakangnya. Aku
tidak berani menoleh ke belakang lagi, aku takut tangisku pecah karena faktanya
Bulan-ku tidak datang untuk mengucapkan sederet kalimat perpisahan.
Sampai di duduk dalam
pesawat aku masih terpukul. Bagaimana mungkin Bulan begini? Hatiku seperti
tersayat sembilu bila mengingatnya lagi.
“Mending tidur deh,”
rutukku dalam hati. Aku melepaskan jaketku dan ingin menyampirkannya di pinggir
kursi, Mama sudah asyik menonton LCD TV yang menayangkan film romantisme
kesukaanya.
Seonggok benda keras
menyembul keluar sedikit dari jaketku, setelah memastikan bahwa benda itu
adalah sebuah i-pod berwarna biru ada perasaan janggal menerpaku. Ini kan i-pod
punya Bulan, kok ada di saku jaketku?
Aku melirik Mama yang
masih asyik menonton dan aku menekan tombol play setelah memasang earphonenya,
lalu hatiku mencelos saat mendengar suara yang ada, ternyata….
Kemarin
ku lihat awan membentuk wajahmu
Desau
angin meniupkan namamu
Tubuhku
terpaku
Semalam
bulan sabit melengkungkan senyummu
Tabur
bintang serupa kilau auramu
Akupun
sadari ku sedang berlari
Cepat
pulang cepat kembali
Jangan
pergi lagi firasatku ingin kau
Tuk
cepat pulang cepat kembali jangan pergi lagi
Suara fals dan tidak keruan masih
terdengar di telingaku, suara gadis yang terdengar bergetar masih bernyanyi.
Akhirnya
bagai sungai yang mendamba samudra
Ku
tau pasti kemana kan ku bermuara
Semoga
ada waktu sayangku
Ku
percaya alampun berbahasa
Ada
makna dibalik semua pertanda
Firasat
ini rasa rindu kah atau tanda bahaya
Aku
tak perduli ku terus berlari
Cepat
pulang cepat kembali jangan pergi lagi
Firasatku
ingin kau tuk cepat pulang cepat kembali jangan pergi lagi
Dan
lihatlah sayang, hujan turun membasahi seolah ku berairmata
Cepat
pulang cepat kembali jangan pergi lagi
Firasatku
ingin kau tuk cepat pulang cepat kembali jangan pergi lagi
Cepat
pulang cepat kembali jangan pergi lagi
Firasatku
ingin kau tuk cepat pulang cepat kembali jangan pergi lagi
Akupun
sadari engkaulah… firasat hati
Di akhir lagu suara
gadis yang tadi hanya bergetar justru menjadi tangis yang mengerikan.
Terisak-isak, tersedu-sedan, bahasa sopannya termehek-mehek! Hiii…
“Hai, Matahari-ku.
Kamu mungkin udah ga ada di sisiku lagi saat mendengarkan ini, tapi suer deh!
Ini lagu bukan lagu yang Bintang nyanyiin ke aku waktu dulu, liriknya sih sama
tapi ini lagu ku persembahkan untuk pacarku tersayang yang bakal pergi, bukan
untuk Bintang…”
Suara Bulan yang
dicampur tangis terdengar mengiris hati, ternyata Bulan sengaja tidak datang
dan menyiapkan kejutan romantis begini.
“Ehm.. Ehm.. Aduh,
kok aku jadi mellow gini yah. Huu malu-maluin aja!” ujarnya sambil terkekeh geli
dengan suaranya yang masih serak itu.
“Ri, Ari? Kamu masih
dengar kan? Ini Aku Bulan. Maaf ya ga bisa datang buat memberikan pelukan
gratis di bandara, aku takut banget malah ga bisa ngelepasinnya. Hehehe. Oh
iya, aku cuma mau pesan cepat sembuh ya dan sesuai lagu tadi cepat kembali.”
Hening beberapa saat…
lalu terdengar cekikikan geli lagi. Aku mengernyit heran jangan-jangan Bulan
sedang gila pas buat ini? Aduh!
“Ehm, ehm.. Maaf aku
ngerasa lucu aja mau ngucapin yang satu ini….” jeda panjang sampai ku dengar
ada hembusan nafas, “When you were gone, I’ll be here. Waiting for you day by
day. Come back soon honey,” dan setelah itu tidak ada lagi sambungan suara.
Rekaman end!
Aku merasa menjadi
pacar terbahagia di dunia, Bulan sangat romantis tis tis. Aku jadi mau mewek,
ups. Saat ku lirik Mama yang dahinya sudah berlipat-lipat dan mukanya sudah
berkerut-kerut serta bibirnya sudah komat-kamit manyun melihat aku
tersenyum-senyum dan tergalau-galau sendiri, aku jadi batal menangis. Tengsin
berat nih.
“Kamu kenapa, Ri?”
tanya Mama akhirnya.
“Aku mau cepat sembuh
dan balik ke Bulan, Ma!” celetuk ku yang sukses membuat Mama melongo. Aku pasti
kembali! Pasti! Aku tertidur pulas setelah puas tersenyum-senyum dan meringis
mengingat kekonyalanku tadi. Bikin malu!
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar