Total Tayangan Halaman

Jumat, 15 Februari 2013

Renkarnasi Matahari, Bintang, dan Bulan * Part 5 *



Part 5 ~Star Love More Than Before~

Tangan Ari masih menggenggam tanganku sepanjang perjalanan dari parkiran menuju kelas. Aku bahagia sekali tapi ya malu bangettttt! Semua mata liatin kami kayak kami ini pendosa berat.

“Ri, mending ga usah gandengan. Maluuu tauuu!” ujarku setengah berbisik.

“Kenapa harus malu? Kamu kan pacar aku,” jawabnya lalu memperat genggamannya.

“Eh, lo ga tau malu banget sih! Kemaren-kemaren dulu sama Matahari, belakangan ini sama Bintang, eh sekarang sama Matahari lagi. Sekali dayuh dua pulau terlampaui ya?” teriak Imelda saat kami melewatinya yang sedang duduk di pinggir koridor.

“Mel, maklum orangnya muka tembok tuh!” sambung Zaskia menyindirku.


Aku hampir berbalik dan melabrak mereka, tapi ternyata Ari beraksi dulu “Mulut lo ga pernah diajarin ya? Tangan gue kuat kok ngajarin mulut lo! Bulan pacar gue sekarang, jangan ganggu dia!”

“Ari kamu jangan kasar gitu sama mereka,” bisikku saat kami berjalan lagi.

“Emang kamu ga bakalan sekasar itu kalau ngelabrak?”

“Heeeheee, ga tau juga sih.”

“Udah, sana masuk kelas. Pulangnya aku ada latian basket, kamu mau nungguin aku atau…”

“Ya pasti tungguin kamu lah,” kataku cepat memotong ucapannya.

“Oke!  Bye honey!”

Uhh, rasanya berjuta kupu-kupu beterbangan deh di sekeliling aku. Begini ya rasanya pacaran, so sweet gitu! Ari I Love You So Sweet. Cihuy!

Aku baru saja memarkirkan tubuhku di atas bangku saat Nesa dengan histeris datang dan berkata keras, “Lo pacaran sama Ari?”

Seisi kelas menoleh tajam padaku, aku segera mengisyaratkan agar Nesa duduk dan memelankan suaranya.

“Lo beneran pacaran ama Ari? Sejak kapan?”

“Sejak semalam, so sweet deh pokoknya! Aku bisa bayangin ya kalau di buat film pasti judulnya ‘Love You In The Roof’ hehehe.”

“Gila lo, gue pikir lo sukanya sama Kak Bintang!” suaranya melengking lagi.

Aku segera menepuk keningnya, “Pelan dikit kalau ngomong, sekalian aja pake microphone ngomongnya!”

“Soalnya ini fantastis, kamu, Bintang, dan Matahari. Cinta segitiga yang kayak ada di legenda itu,” katanya sambil mengelus kening.

“Udahlah, pokoknya yang sekarang sama aku itu Ari. M-A-T-A-H-A-R-I,” ejaku padanya lalu dia mengangguk.

“Tapi dalam cerita itu, at least Bulan bersama Bintang loh!”

“I don’t care! It just a legend, and we are in true life,” sahutku mantap. Biarpun begitu, pernyataan Nesa sedikit mengusikku.

“Wah bro mamen! Matahari kita udah bersinar lagi nih,” sapa Dika padaku saat memasuki kelas.

“Maklum ada yang baru jadian,” sambung Rangga.

“Thanks ya, maaf ya gara-gara gue latian basket kita jadi tersendat-sendat. Tapi ntar sore kita jadi latian kok,” jawabku sambil tersenyum malu.

“Gimana ceritanya lo bisa jadian sama Bulan? Secara lo kan ga pernah ketemu lagi sama dia akhir-akhir ini,” tanya Rangga penasaran.

“Bego banget sih lu Rang! Rumah mereka kan dekat sedekat hati mereka, ya jadi its possible lah!” sahut Dika sambil menoyor kepala Rangga.

“Congrats ya! Happy ending juga ternyata,” ujar Rangga menepuk dadaku.

Padahal tepukan tadi pelan, tapi dadaku terasa sesak sekarang. Ahh, mungkin efek samping karena sakit kemarin. Aku menghiraukannya.

**
“Wah kenapa sih anak mama kok senyam-senyum terus dari malam kemaren, padahal sebelumnya sakit sampe ga bisa bangun. Apa yang terjadi ni pas Bulan jengukin kamu?” tanya mama iseng saat aku sedang melamun di atap sendirian.

“Ma, Ari bahagia banget ma. Sekarang Ari sama Bulan udah baikan lagi,” jawabku sambil bertopang dagu.

“Masa cuma sebatas itu sih?” balas mama usil.

“Ya ga gitu aja sih, soalnya Bulan sama Ari udah jadian, Ma!” sahutku malu-malu.

“Wah wah wah, anak mama udah gede ya sekarang. Beruntung deh Bulan bisa dapet anak mama ini.”

“Seharusnya Ari yang beruntung karena bisa dapet Bulan,” jawabku lalu terbatuk-batuk.

“Ma, kok Ari kayaknya berasa beda ya setelah sakit kemarin, emang kata dokter Ari sakit apa sih?” tanyaku pada Mama yang gelagapan hendak menjawab.

“Cuma demam biasa kok, atau cuma penyakit hati,” jawab Mama garing.

“Uhh Mama bisa aja, iya juga ya Ari kemarin sakitnya di sini Ma gara-gara Bulan,” ujarku sambil menunjuk dada.

Mama mendekapku sambil mengelus kepalaku, dia aneh belakangan ini. Dia sibuk menelepon sana-sini dan setiap kali aku memergokinya dia tampak khawatir. Apa ada yang salah?

“Ri, kamu harus bahagiakan diri kamu ya. JadikanBulan sebagai sumber kekuatanmu, kamu harus kuat.”

“Mama ngomong apa sih?” tanyaku bingung.

“Maksud mama, kamu harus bahagia bersama Bulan di umurmu yang masih muda ini. Jadikan setiap momen kenangan, Nak. Mama kan pernah muda, hehehe” jawab mama lalu tertawa yang seperti dibuat-dibuat.
“Iya, pasti! Ari bakal mengukir kenangan indah sebisa Ari, Ma!”

Mama tersenyum getir melihatku, matanya berkaca-kaca. Mama kok aneh begini?

“Mama kenapa nangis?”

“Mama terharu anak mama bisa begini, sejak kapan ya anak mama sedewasa ini,” lirihnya lalu duduk menghadap bintang di langit.

“Mas, tolong jaga Ari darisana mas. Beri aku petunjuk bagaimana caranya agar aku bisa menolong Ari, tolong aku mas. Dia masih muda, kenapa harus menderita?” gumamku sambil terus menatap ke arah langit.

“Ari sayang mama,” ucap anakku sambil tersenyum.
“Mama juga sayang Ari,” jawabku lalu masuk ke dalam rumah.

Bagaimanapun caranya aku harus mendapatkan donor itu. Aku ga mau kehilangan Ari. Dia milikku satu-satunya, Tuhan beri aku kemudahan.

***
“Ang, lo ga apa-apa kan?” tanya Seto padaku saat aku melamun memandang langit.

Malam ini aku menginap di rumah Arya, ada Seto juga disini. Kami duduk di taman di belakang rumah Arya.

“Lo pasti gelisah ya gara-gara gossip itu?” tanya Seto lagi.

“Itu bukan gossip, gue liat sendiri kok Bulan sama Matahari kemana-mana gandengan terus. Mereka bener udah jadian kok,” sahut Arya yang baru saja keluar dari rumahnya.

“Huffft,” aku menghembuskan nafas berat.

“Lagi-lagi gue kalah sama Matahari ya,” keluhku.

“Lagi? Maksudnya?” Arya melontarkan pertanyaan yang tidak bisa ku jawab sekarang.

“Kali ini, gue bakal rebut Bulan dari Matahari. Dia masih bernafas jadi gue masih punya kesempatan kan untuk dapetin dia?”

“Jangan gila lo, Ang! Dia udah ada yang punya, masa sih lo mau ngerebut sesuatu yang bukan milik lo,ck ck ck” ujar Seto sambil berdecak.

“Sesuatu milik gue juga pernah direbut paksa,” jawabku lirih.

“Maksud lo apa sih? Kami ini sohib lo sejak lo pindah ke sekolah kita, tapi kenapa ya lo itu tetap aja misterius bagi kami. Lo bisa cerita, Ang. Lo ada masalah apa?” tanya Arya dengan wajah prihatin.

Aku ga bisa bagi cerita ini sekarang, terlalu sakit untuk keluar dari mulut ini penuturan itu. Aku merasa semuanya masih bisa dirubah, dengan adanya Bulan.

“Pokoknya gue bakal mencintai Bulan lebih dari sebelumnya, gue bakal buat dia milih gue.”

“Wah, gue pasrah deh sama lo!” balas Seto kecewa.

“I will love more than before, so please support me guys!”

“Kami ga bisa dukung lo kalau caranya ga sportif men, lo bisa ngelakuin apa emangnya?” sahut Arya.

“Gue bakal buat Bulan luluh, gue bakal buat dia ngeliat kalo gue lebih baik dari Matahari.”

“Selama cara lo bener, kami bakal dukung kok!” ucap Seto sambil menepuk pundakku.

“Thanks, bro!” balasku sambil tersenyum lelah.

Lelah rasanya harus bertarung lagi, dulu di awal aku yang menang. Tapi akhirnya kalah juga. Akankah sekarang berubah?

****
Aku menunggu Bulan di luar kelasnya, sudah hampir seminggu aku tidak melihatnya. Aku rindu sekali!

“Hai, Lan! Apa kabar?” tanyaku saat dia dan Nesa hendak berjalan menuju kantin.

“Ehh, Kak Bintang. Baik kak, ada apa ya?” balasnya kebingungan.

“Lo masih ingat ga, gue mau ajak lo ke suatu tempat?” ujarku memandangnya dalam.

“Hm, yang waktu itu ga jadi ya Kak?”

“Iya. Kira-kira kapan lo bisa nemenin gue?”

“Wah, aku kebelet pipis nih. Gue ke toilet dulu ya Lan. Ntar kita ketemu di kantin aja,” kata Nesa lalu dia berjalan terburu-buru meninggalkan kami berdua.

“Nesa tungguin aku dong,” dengus Bulan kesal.

“Jadi?”

“Ha? Jadi apanya Kak?”

“Kapan lo bisa nemenin gue, cuma sebentar kok.”

“Itu, emang kemana Kak? Kenapa harus aku?” tanyanya ragu.

“Karena cuma lo Bulan, gue cuma mau lo yang tau.”

“Hm, tapi aku harus tanya sama Ari dulu Kak, dia kan…”

“Lo belum jadi istrinya, lo ga boleh takut sama dia. Kan lo cuma bakalan pergi sebentar aja,” potongku cepat. Aku malas mendengar dia menyebut Ari pacarnya. Huh!

“Nanti aja deh Kak, kita bahas lagi. Bulan pikir-pikir dulu.”

“Oh begitu ya, yaudah deh,” harapanku pupus sudah.

Aku tidak tega melihat mendung di wajah Kak Bintang dan entah apa yang aku pikirkan aku berani menerima tawarannya lagi.

“Kak, hari Minggu ini ya sekitar jam 2 siang aja,” kataku lalu buru-buru pergi.

“Iya, tunggu gue ya!” teriak Kak Bintang dan aku menjadi takut ada seseorang yang mengadu pada Ari tentang hal ini.

“Nes, lo liat Bulan ga?” tanya Matahari padaku saat aku sedang menikmati bakso di kantin.
“Hee? Itu… oh dia lagi ngumpulin buku tugas ke kantor, jadi aku makan duluan, Ri!” jawabku asal karena takut ketauan.

“Kok lo gugup gitu?” tanyanya mendesakku agar jujur.

Kacamata ku melorot ke hidung, aku jadi serba salah sekarang. Aduh, Bulan kemana nih lama amat.

“Hai Ari!” panggil Bulan.

Untung Bulan cepat datang, kalau ga mungkin aku udah mati kutu nih.

“Kamu dari mana, Lan?” tembak Ari saat Bulan baru memarkirkan tubuhnya di atas kursi.

Aku menggerakkan mulut memberi isyarat agar Bulan menjawab bahwa dia dari kantor. Tapi tubuh Ari yang jangkung menghalagiku, aduh pasti ketahuan deh bohongnya sekarang. Mampus gue!

“Aku tadi dari toilet, kenapa?” tuh kan jawaban Bulan bikin kisruh bentar lagi.

“Ha? Kata Nesa kamu dari kantor?”

“Oh, anu.. Eh iya, tadi aku dari kantor habis ketemu Bu Meri lalu aku ke toilet deh, hehehe…” Bulan mengada-ada bikin situasi jadi tambah rumit.

“Oh begituuuu, yaudah aku cuma mau bilang kalau Minggu besok aku ada pertandingan basket dari jam 1 sampe selesai, kamu datang kan?”

“Pastinya dong! Di lapangan biasa kan? Oke!”

Matahari pergi lalu aku menarik tangan Bulan agar duduk, dengan degup jantung yang masih ga beraturan aku berkata pada Bulan, “Lo bego! Tadi gue bilang lo abis ngumpulin buku tugas di kantor. Ketauan deh boongnya!”

“Apa?!! Aneh, tapi kok Ari ga curiga ya. Udahlah mungkin dia ga ambil pusing. Lo curang nih makan duluan, huuuh!” cemberut Bulan.

Aku merasa Matahari pasti mencium gelagat aneh dari kami, Bulan kok ga peka banget sih. Aduh, runyam deh urusan.
“Lo kenapa lagi, Ri?” tanya Dika padaku.

“Gue rasa Bulan nyembunyiin sesuatu deh dari gue.”

“Maksudnya?” sambar Rangga.

“Dia janjian sama Bintang! Hari Minggu besok!” sahut seseorang dari balik tembok koridor tempat kami berdiri.

“Kak Syifa?” ucap kami bersamaan.

“Kakak tau darimana?” tanyaku was-was.

“Tadi gue denger mereka ngobrol di depan kelasnya Bulan pas gue ga sengaja lewat sana, Bintang ngajakin Bulan ke suatu tempat hari minggu besok jam 2,” jawab Kak Syifa dengan wajah serius.

“Syif, kenapa lo bocorin ke Matahari sih!” omel Kak Dita padanya.

“Dia harus tau, pacarnya main serong!” ucap Kak Syifa tanpa belas kasih. Lalu Kak Dita membekap mulutnya dan menyeret dia pergi.

“Lo jangan percaya, Ri! Mana mungkinlah Bulan begitu,” ujar Rangga menenangkanku.

Aku hanya diam saja. Pikiranku kacau sekarang, kalau benar apa yang dikatakan Kak Syifa berarti Bulan tidak akan datang saat pertandinganku. Ada perasaan kecewa tapi aku yakin Bulan pasti datang.

*****
Aku melihat Bulan duduk di antara para penonton. Aku bahagia ternyata apa yang dikatakan Kak Syifa hanya bualan belaka. Buktinya dia datang menonton pertandinganku.

“Tenang, Ri. Bulan ga mungkin selingkuh,” ujar Dika padaku.

Aku mengangguk lalu melambaikan tangan pada Bulan. Dia tersenyum padaku, aku akan memenangkan pertandingan ini seperti aku memenangkan hatimu Bulan.

“Udah siap kan?” tanya Kak Bintang padaku seraya memberikan helm. Tadi aku mengiriminya SMS agar menjemputku di lapangan ini saja.
“Kak, ga apa-apa ya aku ninggalin pertandingannya Ari. Kalau dia tau gimana?”
balasku ragu.

Aku sudah menonton pertandingan Ari setengah jalan. Rasanya tidak fair bila aku meninggalkan pertandingan ini demi pergi bersama Kak Bintang.

“Tinggal 5 menit lagi, Ari pasti bisa menang!” ujar Kak Bintang meyakinkanku.

“Lagian kamu udah mundurin janji kita, ini udah jam 3 loh,” sambungnya.

“Yaudah, ayo Kak! Kita mau kemana sebenarnya?”

“Ke tempat dimana pertarungan ini dimulai dan diakhiri.”

Aku bingung mendengar Kak Bintang bicara seperti itu. Aku bisa melihat matanya menyiratkan ketakutan mendalam saat mengucapkannya. Ada kesedihan dan duka yang menyelimuti ketakutan itu. Lalu ada topeng baja berupa senyuman yang membentengi semua itu agar tidak tertembus oleh pandangan manusia.

Ternyata Kak Bintang membawaku ke sebuah bukit, bukit ini cukup indah walaupun jauh dari Jakarta dengan kebisingannya. Banyak bunga-bunga liar dan pemandangan ke bawah pun sangat wah eksotis men!

“Ayo ikut aku, kita ke atas!” ajak Kak Bintang sambil mengulurkan tangan.

Kami berjalan meniti hati-hati, bukit ini cukup licin apalagi setelah hujan. Aku hampir terpeleset ketika itu tapi Kak Bintang dengan lengannya yang kekar mampu menangkapku.

“Kak, kenapa ajak aku ke sini?” tanyaku saat kami sudah sampai di puncak.

Disini ada sebuah kursi panjang dan sepertinya beberapa orang sering mengunjungi tempat ini, masih ada sampah-sampah minuman yang terlihat baru. Namun ada juga sampah-sampah makanan kecil  yang sudah membusuk tidak jauh dari sini.

“Disini gue sama Bulan sering menghabiskan waktu bersama, huft” lirih Kak Bintang.

Bulan? Bersama? Maksudnya apa nih? Aku merasa ga pernah ke sini sebelumnya.
Ku lihat tangan Kak Bintang  bergetar, ada apa ini sebenarnya?

“Namanya Bulan Pratiwi, dia pacar aku dulu. Ya dulu, karena sekarang dia bersama Matahari. Dia pergi ke sisi dimana ada mataharinya,” ujarnya pelan.

“Kak?”

“Dia sakit keras, dia menderita kelainan hati. Di tempat ini terakhir kalinya aku bersama dia, melihat senyumnya. Memegang tangannya dan mendengar ungkapan hatinya.”

Aku hanya diam mendengar Kak Bintang mengeluarkan semua kepedihannya. Dia menghancurkan bentengnya sendiri. Dia menangis!

“Waktu itu kalau aku ga ngikutin permintaan dia untuk kesini mungkin dia masih bisa bernafas sampai sekarang, aku bunuh dia!” ada kemarahan disana, Kak Bintang memukul dadanya sendiri.

“Kak Bintang ga bunuh dia, Kak Bintang justru mengisi detik-detik terakhirnya dengan kenangan indah. Kakak pasti ga sadar itu,” ungkapku sambil memegang tangannya yang bergetar hebat.

Aku sebenarnya bingung ngung ngung abis. Tiba-tiba diajak pergi ke tempat begini, lalu beruntun curcol nya Kak Bintang mengalir. Aku jadi mellow sekarang.

“Lan, mungkin bener ya. Kata Syifa aku emang belum relain dia, aku memang masih menyalahkan diriku sendiri. Tapi aku jujur, aku ga pernah ngeliat kamu dalam bayangan dirinya. Aku ngeliat kamu sebagai Bulan Dewanti. Kamu pasti ga percaya juga kan?”

“Aku percaya kok, Kak. Aku tau Kak Bintang tulus.”

“Tapi kenapa kamu ga milih aku, Lan? Kenapa kamu juga pergi ke sisi Matahari?” tanyanya galau. Kasihan Kak Bintang, uhh.

“Itu karena dari awal aku emang hanya menyukai Matahari, sebelum bertemu kakak aku udah milih Ari.”

“Tapi…”

“Mungkin benar ya ada yang namanya renkarnasi, kakak tau ga? Kakeknya Ari itu adalah kakak tirinya nenek aku. Kakek Dimas itu mencintai nenek aku. Tapi karena mereka ga bisa bersama, mungkin cinta mereka diturunkan pada aku dan Ari. Nenek Estania sering cerita saat dia masih hidup, katanya kalau dia bisa berenkarnasi dia akan mencintai Dimas lagi.”

“Maksud kamu?”

“Ya, mungkin cinta mereka diturunkan pada kami. Karena kami cucunya ini, ga punya hubungan keluarga yang kental lagi. Jadi, kami bisa bersama. Kakak harus percaya mungkin di balik semua ini, Kak Bulan akan mengirimkan seseorang yang bisa menjaga Kakak selamanya.”

“Mungkin aja dia mengirimkan lo buat gue?” tanyanya ragu.

“Aku juga ga tau siapa yang dia kirim, tapi aku mohon Kak kita jalani aja semuanya seperti seorang sahabat. Aku ga mau kehilangan Ari,” kataku penuh harap.

“Gue ngerti. Makasih ya, udah dengerin gue hari ini. Makasih udah hadir dalam hidup gue disaat hati gue hampir beku, makasih Lan!” ujarnya sambil tersenyum.

Aku tersenyum, ada rasa lega melihat Kak Bintang sudah bisa lepas dari segala deritanya. Mungkin setelah ini semua akan baik-baik aja.

“Kalau yang dikirim Bulan itu lo, gue bakal mencintai lo lebih dari yang sebelumnya,” gumamku seraya memandangnya.

Mungkin bukan sekarang tapi nanti pasti ada sebuah lentera terang yang menautkan hati kita, Lan. Aku yakin Tuhan itu adil. Dia ga mungkin mengambil bulan-ku untuk yang kedua kalinya. Aku yakin!

“Ayo kita pulang!”

******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar