Part 5 ~Star Love More Than Before~
Tangan Ari masih
menggenggam tanganku sepanjang perjalanan dari parkiran menuju kelas. Aku
bahagia sekali tapi ya malu bangettttt! Semua mata liatin kami kayak kami ini
pendosa berat.
“Ri, mending ga usah
gandengan. Maluuu tauuu!” ujarku setengah berbisik.
“Kenapa harus malu?
Kamu kan pacar aku,” jawabnya lalu memperat genggamannya.
“Eh, lo ga tau malu
banget sih! Kemaren-kemaren dulu sama Matahari, belakangan ini sama Bintang, eh
sekarang sama Matahari lagi. Sekali dayuh dua pulau terlampaui ya?” teriak
Imelda saat kami melewatinya yang sedang duduk di pinggir koridor.
“Mel, maklum orangnya
muka tembok tuh!” sambung Zaskia menyindirku.
Aku hampir berbalik dan melabrak mereka, tapi ternyata Ari beraksi dulu “Mulut lo ga pernah diajarin ya? Tangan gue kuat kok ngajarin mulut lo! Bulan pacar gue sekarang, jangan ganggu dia!”
“Ari kamu jangan
kasar gitu sama mereka,” bisikku saat kami berjalan lagi.
“Emang kamu ga
bakalan sekasar itu kalau ngelabrak?”
“Heeeheee, ga tau
juga sih.”
“Udah, sana masuk
kelas. Pulangnya aku ada latian basket, kamu mau nungguin aku atau…”
“Ya pasti tungguin
kamu lah,” kataku cepat memotong ucapannya.
“Oke! Bye honey!”
Uhh, rasanya berjuta
kupu-kupu beterbangan deh di sekeliling aku. Begini ya rasanya pacaran, so
sweet gitu! Ari I Love You So Sweet. Cihuy!
Aku baru saja
memarkirkan tubuhku di atas bangku saat Nesa dengan histeris datang dan berkata
keras, “Lo pacaran sama Ari?”
Seisi kelas menoleh
tajam padaku, aku segera mengisyaratkan agar Nesa duduk dan memelankan
suaranya.
“Lo beneran pacaran
ama Ari? Sejak kapan?”
“Sejak semalam, so
sweet deh pokoknya! Aku bisa bayangin ya kalau di buat film pasti judulnya
‘Love You In The Roof’ hehehe.”
“Gila lo, gue pikir
lo sukanya sama Kak Bintang!” suaranya melengking lagi.
Aku segera menepuk
keningnya, “Pelan dikit kalau ngomong, sekalian aja pake microphone
ngomongnya!”
“Soalnya ini
fantastis, kamu, Bintang, dan Matahari. Cinta segitiga yang kayak ada di
legenda itu,” katanya sambil mengelus kening.
“Udahlah, pokoknya
yang sekarang sama aku itu Ari. M-A-T-A-H-A-R-I,” ejaku padanya lalu dia
mengangguk.
“Tapi dalam cerita
itu, at least Bulan bersama Bintang loh!”
“I don’t care! It
just a legend, and we are in true life,” sahutku mantap. Biarpun begitu,
pernyataan Nesa sedikit mengusikku.
“Wah bro mamen!
Matahari kita udah bersinar lagi nih,” sapa Dika padaku saat memasuki kelas.
“Maklum ada yang baru
jadian,” sambung Rangga.
“Thanks ya, maaf ya
gara-gara gue latian basket kita jadi tersendat-sendat. Tapi ntar sore kita
jadi latian kok,” jawabku sambil tersenyum malu.
“Gimana ceritanya lo
bisa jadian sama Bulan? Secara lo kan ga pernah ketemu lagi sama dia
akhir-akhir ini,” tanya Rangga penasaran.
“Bego banget sih lu
Rang! Rumah mereka kan dekat sedekat hati mereka, ya jadi its possible lah!”
sahut Dika sambil menoyor kepala Rangga.
“Congrats ya! Happy
ending juga ternyata,” ujar Rangga menepuk dadaku.
Padahal tepukan tadi
pelan, tapi dadaku terasa sesak sekarang. Ahh, mungkin efek samping karena
sakit kemarin. Aku menghiraukannya.
**
“Wah kenapa sih anak
mama kok senyam-senyum terus dari malam kemaren, padahal sebelumnya sakit sampe
ga bisa bangun. Apa yang terjadi ni pas Bulan jengukin kamu?” tanya mama iseng
saat aku sedang melamun di atap sendirian.
“Ma, Ari bahagia
banget ma. Sekarang Ari sama Bulan udah baikan lagi,” jawabku sambil bertopang
dagu.
“Masa cuma sebatas
itu sih?” balas mama usil.
“Ya ga gitu aja sih,
soalnya Bulan sama Ari udah jadian, Ma!” sahutku malu-malu.
“Wah wah wah, anak
mama udah gede ya sekarang. Beruntung deh Bulan bisa dapet anak mama ini.”
“Seharusnya Ari yang
beruntung karena bisa dapet Bulan,” jawabku lalu terbatuk-batuk.
“Ma, kok Ari kayaknya
berasa beda ya setelah sakit kemarin, emang kata dokter Ari sakit apa sih?”
tanyaku pada Mama yang gelagapan hendak menjawab.
“Cuma demam biasa
kok, atau cuma penyakit hati,” jawab Mama garing.
“Uhh Mama bisa aja,
iya juga ya Ari kemarin sakitnya di sini Ma gara-gara Bulan,” ujarku sambil
menunjuk dada.
Mama mendekapku
sambil mengelus kepalaku, dia aneh belakangan ini. Dia sibuk menelepon
sana-sini dan setiap kali aku memergokinya dia tampak khawatir. Apa ada yang
salah?
“Ri, kamu harus
bahagiakan diri kamu ya. JadikanBulan sebagai sumber kekuatanmu, kamu harus
kuat.”
“Mama ngomong apa
sih?” tanyaku bingung.
“Maksud mama, kamu
harus bahagia bersama Bulan di umurmu yang masih muda ini. Jadikan setiap momen
kenangan, Nak. Mama kan pernah muda, hehehe” jawab mama lalu tertawa yang
seperti dibuat-dibuat.
“Iya, pasti! Ari
bakal mengukir kenangan indah sebisa Ari, Ma!”
Mama tersenyum getir
melihatku, matanya berkaca-kaca. Mama kok aneh begini?
“Mama kenapa nangis?”
“Mama terharu anak
mama bisa begini, sejak kapan ya anak mama sedewasa ini,” lirihnya lalu duduk
menghadap bintang di langit.
“Mas, tolong jaga Ari
darisana mas. Beri aku petunjuk bagaimana caranya agar aku bisa menolong Ari,
tolong aku mas. Dia masih muda, kenapa harus menderita?” gumamku sambil terus
menatap ke arah langit.
“Ari sayang mama,”
ucap anakku sambil tersenyum.
“Mama juga sayang
Ari,” jawabku lalu masuk ke dalam rumah.
Bagaimanapun caranya
aku harus mendapatkan donor itu. Aku ga mau kehilangan Ari. Dia milikku
satu-satunya, Tuhan beri aku kemudahan.
***
“Ang, lo ga apa-apa
kan?” tanya Seto padaku saat aku melamun memandang langit.
Malam ini aku
menginap di rumah Arya, ada Seto juga disini. Kami duduk di taman di belakang
rumah Arya.
“Lo pasti gelisah ya
gara-gara gossip itu?” tanya Seto lagi.
“Itu bukan gossip,
gue liat sendiri kok Bulan sama Matahari kemana-mana gandengan terus. Mereka
bener udah jadian kok,” sahut Arya yang baru saja keluar dari rumahnya.
“Huffft,” aku
menghembuskan nafas berat.
“Lagi-lagi gue kalah
sama Matahari ya,” keluhku.
“Lagi? Maksudnya?”
Arya melontarkan pertanyaan yang tidak bisa ku jawab sekarang.
“Kali ini, gue bakal
rebut Bulan dari Matahari. Dia masih bernafas jadi gue masih punya kesempatan
kan untuk dapetin dia?”
“Jangan gila lo, Ang!
Dia udah ada yang punya, masa sih lo mau ngerebut sesuatu yang bukan milik lo,ck
ck ck” ujar Seto sambil berdecak.
“Sesuatu milik gue
juga pernah direbut paksa,” jawabku lirih.
“Maksud lo apa sih?
Kami ini sohib lo sejak lo pindah ke sekolah kita, tapi kenapa ya lo itu tetap
aja misterius bagi kami. Lo bisa cerita, Ang. Lo ada masalah apa?” tanya Arya
dengan wajah prihatin.
Aku ga bisa bagi
cerita ini sekarang, terlalu sakit untuk keluar dari mulut ini penuturan itu.
Aku merasa semuanya masih bisa dirubah, dengan adanya Bulan.
“Pokoknya gue bakal
mencintai Bulan lebih dari sebelumnya, gue bakal buat dia milih gue.”
“Wah, gue pasrah deh
sama lo!” balas Seto kecewa.
“I will love more
than before, so please support me guys!”
“Kami ga bisa dukung
lo kalau caranya ga sportif men, lo bisa ngelakuin apa emangnya?” sahut Arya.
“Gue bakal buat Bulan
luluh, gue bakal buat dia ngeliat kalo gue lebih baik dari Matahari.”
“Selama cara lo
bener, kami bakal dukung kok!” ucap Seto sambil menepuk pundakku.
“Thanks, bro!”
balasku sambil tersenyum lelah.
Lelah rasanya harus
bertarung lagi, dulu di awal aku yang menang. Tapi akhirnya kalah juga. Akankah
sekarang berubah?
****
Aku menunggu Bulan di
luar kelasnya, sudah hampir seminggu aku tidak melihatnya. Aku rindu sekali!
“Hai, Lan! Apa
kabar?” tanyaku saat dia dan Nesa hendak berjalan menuju kantin.
“Ehh, Kak Bintang.
Baik kak, ada apa ya?” balasnya kebingungan.
“Lo masih ingat ga,
gue mau ajak lo ke suatu tempat?” ujarku memandangnya dalam.
“Hm, yang waktu itu
ga jadi ya Kak?”
“Iya. Kira-kira kapan
lo bisa nemenin gue?”
“Wah, aku kebelet
pipis nih. Gue ke toilet dulu ya Lan. Ntar kita ketemu di kantin aja,” kata
Nesa lalu dia berjalan terburu-buru meninggalkan kami berdua.
“Nesa tungguin aku
dong,” dengus Bulan kesal.
“Jadi?”
“Ha? Jadi apanya
Kak?”
“Kapan lo bisa
nemenin gue, cuma sebentar kok.”
“Itu, emang kemana
Kak? Kenapa harus aku?” tanyanya ragu.
“Karena cuma lo
Bulan, gue cuma mau lo yang tau.”
“Hm, tapi aku harus
tanya sama Ari dulu Kak, dia kan…”
“Lo belum jadi
istrinya, lo ga boleh takut sama dia. Kan lo cuma bakalan pergi sebentar aja,”
potongku cepat. Aku malas mendengar dia menyebut Ari pacarnya. Huh!
“Nanti aja deh Kak,
kita bahas lagi. Bulan pikir-pikir dulu.”
“Oh begitu ya, yaudah
deh,” harapanku pupus sudah.
Aku tidak tega
melihat mendung di wajah Kak Bintang dan entah apa yang aku pikirkan aku berani
menerima tawarannya lagi.
“Kak, hari Minggu ini
ya sekitar jam 2 siang aja,” kataku lalu buru-buru pergi.
“Iya, tunggu gue ya!”
teriak Kak Bintang dan aku menjadi takut ada seseorang yang mengadu pada Ari
tentang hal ini.
“Nes, lo liat Bulan
ga?” tanya Matahari padaku saat aku sedang menikmati bakso di kantin.
“Hee? Itu… oh dia
lagi ngumpulin buku tugas ke kantor, jadi aku makan duluan, Ri!” jawabku asal
karena takut ketauan.
“Kok lo gugup gitu?”
tanyanya mendesakku agar jujur.
Kacamata ku melorot
ke hidung, aku jadi serba salah sekarang. Aduh, Bulan kemana nih lama amat.
“Hai Ari!” panggil
Bulan.
Untung Bulan cepat
datang, kalau ga mungkin aku udah mati kutu nih.
“Kamu dari mana,
Lan?” tembak Ari saat Bulan baru memarkirkan tubuhnya di atas kursi.
Aku menggerakkan
mulut memberi isyarat agar Bulan menjawab bahwa dia dari kantor. Tapi tubuh Ari
yang jangkung menghalagiku, aduh pasti ketahuan deh bohongnya sekarang. Mampus
gue!
“Aku tadi dari
toilet, kenapa?” tuh kan jawaban Bulan bikin kisruh bentar lagi.
“Ha? Kata Nesa kamu
dari kantor?”
“Oh, anu.. Eh iya,
tadi aku dari kantor habis ketemu Bu Meri lalu aku ke toilet deh, hehehe…”
Bulan mengada-ada bikin situasi jadi tambah rumit.
“Oh begituuuu, yaudah
aku cuma mau bilang kalau Minggu besok aku ada pertandingan basket dari jam 1 sampe
selesai, kamu datang kan?”
“Pastinya dong! Di
lapangan biasa kan? Oke!”
Matahari pergi lalu
aku menarik tangan Bulan agar duduk, dengan degup jantung yang masih ga
beraturan aku berkata pada Bulan, “Lo bego! Tadi gue bilang lo abis ngumpulin
buku tugas di kantor. Ketauan deh boongnya!”
“Apa?!! Aneh, tapi
kok Ari ga curiga ya. Udahlah mungkin dia ga ambil pusing. Lo curang nih makan
duluan, huuuh!” cemberut Bulan.
Aku merasa Matahari
pasti mencium gelagat aneh dari kami, Bulan kok ga peka banget sih. Aduh,
runyam deh urusan.
“Lo kenapa lagi, Ri?”
tanya Dika padaku.
“Gue rasa Bulan
nyembunyiin sesuatu deh dari gue.”
“Maksudnya?” sambar
Rangga.
“Dia janjian sama
Bintang! Hari Minggu besok!” sahut seseorang dari balik tembok koridor tempat
kami berdiri.
“Kak Syifa?” ucap
kami bersamaan.
“Kakak tau darimana?”
tanyaku was-was.
“Tadi gue denger
mereka ngobrol di depan kelasnya Bulan pas gue ga sengaja lewat sana, Bintang
ngajakin Bulan ke suatu tempat hari minggu besok jam 2,” jawab Kak Syifa dengan
wajah serius.
“Syif, kenapa lo
bocorin ke Matahari sih!” omel Kak Dita padanya.
“Dia harus tau,
pacarnya main serong!” ucap Kak Syifa tanpa belas kasih. Lalu Kak Dita membekap
mulutnya dan menyeret dia pergi.
“Lo jangan percaya,
Ri! Mana mungkinlah Bulan begitu,” ujar Rangga menenangkanku.
Aku hanya diam saja.
Pikiranku kacau sekarang, kalau benar apa yang dikatakan Kak Syifa berarti
Bulan tidak akan datang saat pertandinganku. Ada perasaan kecewa tapi aku yakin
Bulan pasti datang.
*****
Aku melihat Bulan
duduk di antara para penonton. Aku bahagia ternyata apa yang dikatakan Kak
Syifa hanya bualan belaka. Buktinya dia datang menonton pertandinganku.
“Tenang, Ri. Bulan ga
mungkin selingkuh,” ujar Dika padaku.
Aku mengangguk lalu
melambaikan tangan pada Bulan. Dia tersenyum padaku, aku akan memenangkan
pertandingan ini seperti aku memenangkan hatimu Bulan.
“Udah siap kan?”
tanya Kak Bintang padaku seraya memberikan helm. Tadi aku mengiriminya SMS agar
menjemputku di lapangan ini saja.
“Kak, ga apa-apa ya
aku ninggalin pertandingannya Ari. Kalau dia tau gimana?”
balasku ragu.
Aku sudah menonton pertandingan
Ari setengah jalan. Rasanya tidak fair bila aku meninggalkan pertandingan ini
demi pergi bersama Kak Bintang.
“Tinggal 5 menit
lagi, Ari pasti bisa menang!” ujar Kak Bintang meyakinkanku.
“Lagian kamu udah
mundurin janji kita, ini udah jam 3 loh,” sambungnya.
“Yaudah, ayo Kak!
Kita mau kemana sebenarnya?”
“Ke tempat dimana
pertarungan ini dimulai dan diakhiri.”
Aku bingung mendengar
Kak Bintang bicara seperti itu. Aku bisa melihat matanya menyiratkan ketakutan
mendalam saat mengucapkannya. Ada kesedihan dan duka yang menyelimuti ketakutan
itu. Lalu ada topeng baja berupa senyuman yang membentengi semua itu agar tidak
tertembus oleh pandangan manusia.
Ternyata Kak Bintang
membawaku ke sebuah bukit, bukit ini cukup indah walaupun jauh dari Jakarta
dengan kebisingannya. Banyak bunga-bunga liar dan pemandangan ke bawah pun
sangat wah eksotis men!
“Ayo ikut aku, kita
ke atas!” ajak Kak Bintang sambil mengulurkan tangan.
Kami berjalan meniti
hati-hati, bukit ini cukup licin apalagi setelah hujan. Aku hampir terpeleset
ketika itu tapi Kak Bintang dengan lengannya yang kekar mampu menangkapku.
“Kak, kenapa ajak aku
ke sini?” tanyaku saat kami sudah sampai di puncak.
Disini ada sebuah
kursi panjang dan sepertinya beberapa orang sering mengunjungi tempat ini,
masih ada sampah-sampah minuman yang terlihat baru. Namun ada juga
sampah-sampah makanan kecil yang sudah
membusuk tidak jauh dari sini.
“Disini gue sama
Bulan sering menghabiskan waktu bersama, huft” lirih Kak Bintang.
Bulan? Bersama? Maksudnya
apa nih? Aku merasa ga pernah ke sini sebelumnya.
Ku lihat tangan Kak
Bintang bergetar, ada apa ini
sebenarnya?
“Namanya Bulan
Pratiwi, dia pacar aku dulu. Ya dulu, karena sekarang dia bersama Matahari. Dia
pergi ke sisi dimana ada mataharinya,” ujarnya pelan.
“Kak?”
“Dia sakit keras, dia
menderita kelainan hati. Di tempat ini terakhir kalinya aku bersama dia,
melihat senyumnya. Memegang tangannya dan mendengar ungkapan hatinya.”
Aku hanya diam
mendengar Kak Bintang mengeluarkan semua kepedihannya. Dia menghancurkan
bentengnya sendiri. Dia menangis!
“Waktu itu kalau aku
ga ngikutin permintaan dia untuk kesini mungkin dia masih bisa bernafas sampai
sekarang, aku bunuh dia!” ada kemarahan disana, Kak Bintang memukul dadanya
sendiri.
“Kak Bintang ga bunuh
dia, Kak Bintang justru mengisi detik-detik terakhirnya dengan kenangan indah.
Kakak pasti ga sadar itu,” ungkapku sambil memegang tangannya yang bergetar
hebat.
Aku sebenarnya
bingung ngung ngung abis. Tiba-tiba diajak pergi ke tempat begini, lalu
beruntun curcol nya Kak Bintang mengalir. Aku jadi mellow sekarang.
“Lan, mungkin bener
ya. Kata Syifa aku emang belum relain dia, aku memang masih menyalahkan diriku
sendiri. Tapi aku jujur, aku ga pernah ngeliat kamu dalam bayangan dirinya. Aku
ngeliat kamu sebagai Bulan Dewanti. Kamu pasti ga percaya juga kan?”
“Aku percaya kok,
Kak. Aku tau Kak Bintang tulus.”
“Tapi kenapa kamu ga
milih aku, Lan? Kenapa kamu juga pergi ke sisi Matahari?” tanyanya galau.
Kasihan Kak Bintang, uhh.
“Itu karena dari awal
aku emang hanya menyukai Matahari, sebelum bertemu kakak aku udah milih Ari.”
“Tapi…”
“Mungkin benar ya ada
yang namanya renkarnasi, kakak tau ga? Kakeknya Ari itu adalah kakak tirinya
nenek aku. Kakek Dimas itu mencintai nenek aku. Tapi karena mereka ga bisa
bersama, mungkin cinta mereka diturunkan pada aku dan Ari. Nenek Estania sering
cerita saat dia masih hidup, katanya kalau dia bisa berenkarnasi dia akan
mencintai Dimas lagi.”
“Maksud kamu?”
“Ya, mungkin cinta
mereka diturunkan pada kami. Karena kami cucunya ini, ga punya hubungan
keluarga yang kental lagi. Jadi, kami bisa bersama. Kakak harus percaya mungkin
di balik semua ini, Kak Bulan akan mengirimkan seseorang yang bisa menjaga
Kakak selamanya.”
“Mungkin aja dia
mengirimkan lo buat gue?” tanyanya ragu.
“Aku juga ga tau
siapa yang dia kirim, tapi aku mohon Kak kita jalani aja semuanya seperti
seorang sahabat. Aku ga mau kehilangan Ari,” kataku penuh harap.
“Gue ngerti. Makasih
ya, udah dengerin gue hari ini. Makasih udah hadir dalam hidup gue disaat hati
gue hampir beku, makasih Lan!” ujarnya sambil tersenyum.
Aku tersenyum, ada
rasa lega melihat Kak Bintang sudah bisa lepas dari segala deritanya. Mungkin
setelah ini semua akan baik-baik aja.
“Kalau yang dikirim
Bulan itu lo, gue bakal mencintai lo lebih dari yang sebelumnya,” gumamku
seraya memandangnya.
Mungkin bukan
sekarang tapi nanti pasti ada sebuah lentera terang yang menautkan hati kita,
Lan. Aku yakin Tuhan itu adil. Dia ga mungkin mengambil bulan-ku untuk yang
kedua kalinya. Aku yakin!
“Ayo kita pulang!”
******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar