Part 8 ~Jauh di Mata Dekat di Hati~
Semilir angin pagi
menggoyang-goyangkan poni rata milik Bulan, bintik-bintik peluh di keningnya
sudah mulai dilapnya dengan punggung telapak tangan. Dia dihukum lari keliling
lapangan oleh Bu Meri karena datang terlambat pagi ini.
“Buseeet! Lo udah
kayak budak lari dari sarang penyamun aja, Lan!” tegur Nesa saat aku
tergopoh-gopoh lari mendekatinya di koridor kelas.
“Sialan! Aku kan cuma
telat 5 menit tetep aja lari keliling lapangan, uhh” gerutuku membuat Nesa
tertawa terpingkal-pingkal lalu aku meninju pundaknya pelan. Keki juga
diketawain Nesa begini.
“Lima menit itu berharga banget menurut
teorinya Bu Meri, ya wajarlah,” ujar Nesa sambil mengibaskan rambut panjangnya.
Ehhh? Tumben rambutnya digerai biasanya kan dikuncir. Pasti ada udang di balik
bakwan nih.
“Cie, tumben
rambutnya ga dikuncir, mau TP sama Dika ya?” godaku membuatnya salting. Rona
merah segera menjalar di pipinya.
Nesa buru-buru masuk ke kelas setelah percakapan kami di koridor tadi menghabiskan waktu lebih lama dari yang seharusnya, pasalnya Bu Meri sudah mendelik dari ujung koridor karena kami masih santai saja sementara pelajaran pertama akan segera dimulai. Hari ini pelajaran Fisika yang bisa bikin mata copot sampe gigi rontok pun ga bakal bisa deh tu rumus nyangkut di otak.
Alhasil sampai jam
olahraga Bulan masih pusing gara-gara tadi berkutat dengan rumus dan angka
fisika yang wah maknyos deh kadar keanggunannya. Nesa hanya bisa geleng-geleng
kepala melihat Bulan yang masih ogah-ogahan berjalan menuju lapangan olahraga.
“Lan, gue perhatiin
ya sejak Ari pergi lo jadi ga bersemangat nih, ada apa sih?” tanya Nesa
tiba-tiba saat aku dan dia berlari-lari kecil memutari lapangan untuk pemanasan.
Aku hanya tersenyum
penuh arti membuatnya bungkam dan tidak bertanya apapun lagi tentang itu. Aku
sudah cukup nelangsa karena hampir seminggu Matahari pergi dan masih belum
memberi kabar padanya setelah dia menelepon untuk yang pertama kali.
Malam itu Bulan
sedang meradang lantaran tanpa sadar dia berjalan menyusuri jalan menuju rumah
Ari, sesampainya di depan pagar dia jatuh terduduk. Mengapa kaki ini masih
membawanya ke tempat ini? Ari kan sudah pergi.
Saat sedang beradu
perasaan tiba-tiba ponsel Bulan bergetar, tertera nama Ari dilayarnya dengan
ragu-ragu dia menekan tombol hijau.
“Heloooo, honey. I
miss you,” sapa Ari tanpa mengucapkan halo terlebih dahulu.
“Garing tau!” balasku
malas. Rada sebel juga Ari bisa-bisanya romantis begini lewat telepon, coba
kalau langsung uhh nyalinya pasti ciut deh.
“Hahaha… Kamu lagi
ngapain, Lan?” tanyanya di sela tawa.
“Lagi apa ya? Mungkin
merindukan kamu,” jawabku mencoba menyindir tapi dia sepertinya tidak Ngeh.
“Cie, kan jauh di
mata dekat di hati. Jadi sabar aja ya, Lan! Tunggu aku pulang,” serunya
setengah meledek.
Aku hanya diam.
Hening beberapa lama. Aku berjalan kembali ke rumah sesampainya di teras, aku
duduk menghadap langit. Melihat Bintang, aduh jadi makin kangen Ari nih!
Padahal baru tadi pagi dia pergi.
“Ri?” tegurku karena
tidak ada tanda-tanda suara sementara sambungan masih terjalin.
Masih tidak ada
sahutan dari Ari, apa jangan-jangan sinyalnya jelek ya. Aku mengacung-acungkan
ponsel mencari sinyal. Lalu terdengar suara tawa pecah dari speaker telepon.
Sialan Ari mengerjaiku!
“Huuuuh! Jahat!”
gerutuku kesal.
“Maaf deh, soalnya
kamu diem terus daritadi jadi sekalian deh aku kerjain aja, diem juga.”
“Tadi ku pikir
sambungan terputus tauuuu!”
“Hahahaha, kamu lagi
dimana dan sedang apa Lan?” tanyanya penuh nada kasih sayang. Aku jadi batal
merajuk.
“Lagi di teras liatin
Bintang, kamu lagi liatin Bintang juga ga disana?” tanyaku dengan pikiran
menerawang momen-momen indah saat menikmati pemandangan di atap.
“Ga nih, aku lagi
berbaring tak berdaya di kamar. Capek juga hari ini, Lan. Kamu ga ke rumah aku
kan tadi?” ujarnya sambil menahan senyum geli yang pastinya tidak terlihat oleh
Bulan.
“Maksudnya? Kan kamu
ga ada, ya ngapainlah kesana!” jawabku keki takut ketauan belangnya.
“Firasat aku bilang
kamu pasti tadi kesana, soalnya aku kan pasang CCTV di pagar jadi bisa liat
dong kamu tadi mampir,” Matahari berlagak serius padahal setengah mati dia
menahan tawa karena pasti sekarang Bulan sedang melongo kaget.
“Kok kamu tau? Emang
pasang dimana?” pernyataan atau pertanyaan Bulan sukses membuat Matahari
tergelak. Ngakak guling-guling. Polos banget deh pacar aku ini!
“Hahaha, aku hanya
bercanda kok! Mana ada CCTV nya, kan cuma firasat doang, Lan!” sahutku disambut
dengusan kesal dari ujung telepon.
“Dasar! Ari jelek!”
sepertinya Bulan merajuk gara-gara dikibulin.
Lalu hening kembali
menyapa, dinginnya malam yang mencekam membuatku masuk ke dalam kamar. Tidak
sanggup berlama-lama di balkon apartemen ini. Sambungan telepon masih ada, tapi
disinyalir akan terputus sebentar lagi karena pulsa yang kritis. Maklum tarif
roaming kan mahal.
“Lan, makasih ya
rekamannya. So sweet banget tau! Aku terharu,” kataku membuat Bulan terdengar
seperti grogi dari caranya menjawab.
“Eh, itu.. Ehm, iya.
Aku buatnya dengan sepenuh hati lho, jadi jaga baik-baik ya.”
“Iya! Lagian langka
banget tau aku bisa dengar suara fals kamu itu, pasti bakalan aku jaga deh. Kan
barang antik dan langka,” lagi-lagi Bulan mendengus kesal mendengar jawabanku
yang bikin dia malu pastinya.
“Udah dulu ya, good
bye honey!” aku hendak mematikan sambungan tapi Bulan menyela tiba-tiba.
“Eh tunggu! Aku belum
bilang nih,” potongnya sebelum aku sempat menekan tombol end.
“Bilang apa?”
“Good bye too for you
honey!” tut tut tut terdengar bunyi nada sambung panggilan terputus. Ternyata
Bulan juga mau membalas ucapanku, wah dia lucu sekali.
Aku cengar-cengir
sendiri setelah tadi melepas rindu mendengar suara Bulan. Mama yang sibuk
membereskan barang-barang jadi cekikikan. Pasti Mama berpikir pikiran anak muda
memang terbelakang. Haa, aku rindu Bulan!
Bulan yang sedang
menerawang mengingat telepon pertama dari Matahari jadi tidak memandang jalan
sekitar lapangan. Sampai batu kecil dihiraukannya dan tiang basket yang
menjulang di depannya pun tidak diindahkan sangking terbuai lamunan.
“Awas, Lan!” teriak
Nesa dari pinggir lapangan.
Wadooww! Kepalaku
berdenyut mesra dengan keringat gara-gara kejedot tiang. Aduh gawat nih,
penyakit hati berbuah manis jadi penyakit kepala lalu merambat ke jidat. Haduh,
aku meringis kesakitan. Matahari kok ga telepon lagi ya? Rutukku dalam hati.
**
Saat ini Nesa
uring-uringan menemaniku duduk di UKS, padahal Nesa kalau pelajaran olahraga
hobinya membolos tapi sekarang malah cemas begini.
“Kamu kenapa Nes?”
tanyaku karena tidak tahan dengan adegan konyolnya.
Duduk-berdiri-berputar-duduk-berdiri-berputar dan berulang.
“Eh, kenapa apanya.
Ga apa-apa kok!” sahutnya sedikit kaget.
“Bohong! Kalau kamu
mau olahraga sana keluar, aku ga apa-apa kok sendiri, lagian aku bisa tidur,”
ujarku meyakinkannya.
“Bener? Okedeh!” katanya
dengan wajah menimbang-nimbang dalam kegirangan.
Aku jadi curiga
melihat sikap Nesa tadi, dia aneh sekali hari ini. Dari mulai rambutnya yang
digerai dan sekarang dia hobi olahraga. Wah, patut diselidiki!
Karena penasaran akupun berjalan mendekati lapangan olahraga, dan pemandangan yang ku lihat sudah sangat meyakinkan. Penyakit apa yang menimpa Nesa sahabatku. Apalagi kalau bukan penyakit hati! Dia sedang tersipu-sipu malu saat mengobrol dengan seseorang di lapangan. Tebak siapa? Si Dika! Cowok ketus dan dingin itu.
Karena penasaran akupun berjalan mendekati lapangan olahraga, dan pemandangan yang ku lihat sudah sangat meyakinkan. Penyakit apa yang menimpa Nesa sahabatku. Apalagi kalau bukan penyakit hati! Dia sedang tersipu-sipu malu saat mengobrol dengan seseorang di lapangan. Tebak siapa? Si Dika! Cowok ketus dan dingin itu.
“Woi! Dilarang
ngintipin orang bermesraan!” celetuk seseorang dari belakang.
Aku sepertinya pernah
mendengar suara berat itu. Suara yang membawa aura pilu dan sedih yang sekarang
menjadi lebih ringan dan damai.
“Kak Bintang!” dia
terlonjak kaget saat aku meneriaki namanya. Lalu sedetik kemudian dia
terbahak-bahak dan aku hanya bisa mengernyitkan kening. What’s wrong?
“Kening lo abis
dicium siapa kok benjol gitu?” tanyanya sambil menunjuk keningku di sela
tawanya.
“Eh ini, hmm...” aku
jadi ragu mengatakannya saat ku lihat ekspresi tawa nya berubah menjadi
ekspresi aneh. Dan perlahan tapi pasti dia maju selangkah. Aku mundur
selangkah. Dan saat aku terpojok ke sudut tembok dia semakin mendekat.
“Kak, jangan
dekat-----“
Sreettt, dia menarik
tanganku dan menyeretku dengan paksa darisana.
Aku hanya bisa membisu saat dia menggiringku menuju ruang UKS. Lalu dia
mengobati keningku.
“Nesa keterlaluan!
Dia malah enak pacaran sementara kamu sakit begini,” ujarnya saat kami duduk
berhadapan.
“Bukan salah dia kok,
aku yang suruh dia pergi tadi,” aku membela Nesa yang disudutkan oleh Kak
Bintang.
Kak Bintang menatapku
tanpa berkedip lalu seulas senyum manis tergurat di wajahnya. Aku menjadi
tersangka yang tidak tahu apa-apa sekarang. Kenapa sukar sekali mengartikan
setiap perubahan ekspresi Kak Bintang? Dulu aku mudah meneliti ekspresinya
Matahari.
“Lo begini gara-gara
mikirin Ari ya?” tembaknya dengan mata menusukku.
“Siapa bilang! Aku
tadi hanya kejedot tiang kak,” bantahku dengan yakin.
Keyakinanku luntur
saat ku dapati Kak Bintang mengganti lagi ekspresinya menjadi membeku. Aduuuuh,
aku kan bukan pakar ekspresi!
“Kak, tadi
kenapa----“
“Lo mau ga jadi pacar
gue?” sergahnya cepat memotong kalimatku. Kalimat yang ingin ku sampaikan
meluncur lagi ke dalam tenggorokan dan bermuara di hati.
Kini banyak kalimat
yang ada di hati dan tak dapat disampaikan dengan lidah yang kelu ini. Aku
ingin membuka mulut namun ku katupkan lagi saat Kak Bintang mengeluarkan suara.
“Gue bakal jagain lo
selama dia ga ada, gue bakal di sisi lo sampai saat dia kembali. Jadi lo harus
mau!” ujarnya membuatku terlongo. Keputusan sepihak!
“Aku….” kalimatku
kembali tak keluar gara-gara Kak Bintang dengan tiba-tiba dan tanpa dipraduga
akan merengkuhku ke dalam pelukannya.
“Lo harus mau!”
bisiknya lirih namun tegas di telingaku.
Saat adegan begini
kan biasanya di film pemeran utama yang lain datang dan adu jotos-jotosan. Tapi
ini bukan film jadi yang datang pun bukan Matahari yang ku harapkan, tapi tetap
ada yang datang dan berdiri disana di ambang pintu. Seorang perempuan dengan
mata yang berkaca-kaca dan bahu bergetar, Kak Syifa!
Aku hanya bisa
bergumam lirih, “Kak Syifa….”
Kak bintang yang
tadinya memelukku langsung membalikkan badan dan terpaku sesaat melihat Kak
Syifa dengan airmata yang mulai mengalir di pipinya yang tampak mulus. Kak
Bintang tidak langsung berlari mengejar Kak Syifa saat dia keluar dari ruangan
UKS dengan ekspresi terluka begitu. Malahan Kak Bintang duduk di hadapanku dan
dengan mata yang sayu tersenyum kepadaku.
Ada binar-binar kasih
sayang yang tulus di mata itu hingga membuatku tidak berani mengusik keheningan
di ruangan ini. Sampai derap kaki Kak Bintang menjauh dari ruangan aku masih
tidak bergeming. Semuanya terjadi begitu cepat.
***
“Jadi lo mau bilang
sekarang lo mau jadi ban serepnya gitu?!” teriak Syifa padaku.
Segera setelah dia
meninggalkan ruang UKS dengan ekspresi terlukanya itu, aku mencarinya
kemana-mana. Dan disini dia berada, ku temukan dia sedang duduk memeluk
lututnya sambil menahan suara tangisan. Ruang musik ini memang redam suara
sehingga Syifa bebas menangis disini.
Aku duduk bersandar
di sebelahnya, mencoba memikirkan kata-kata apa yang pas untuk melukiskan
semuanya. Melukiskan betapa bahagianya perasaanku setelah lama tidak melihat
Bulan, melukiskan betapa kehangatan menjalar saat aku memeluknya. Dan
melukiskan rindu ini terobati!
Namun yang terjadi
justru perdebatan sengit seperti sekarang yang pangkal masalahnya pun aku masih
ragu.
“Masalah lo apa kalau
gue mau jadi ban serepnya?” sergahku dengan darah yang mulai mendidih.
“Ang, lo harusnya
tau. Gue sayang sama lo, dari dulu gue nunggu lo. Tapi sekarang apa, lo lebih
milih jadi penggantinya Matahari di sisi Bulan dibanding jadi Bintang di hati
gue?” ujarnya lirih sarat dengan kesedihan dan kekecewaan.
“Syif, berapa kali
gue bilang. Selain Bulan gue ga mau yang lain, dan harusnya lo----“
“Ini ga adil! Cuma
gara-gara nama dia Bulan kan?” potongnya cepat.
Aku merasa rahangku
ini mulai mengeras, Syifa selalu begini. Mengungkit-ungkit masa lalu yang
membuat hatiku luluh lantah.
“Karena dia Bulan,
Bulan Dewanti yang gue sayang. Jadi gue mohon berhenti mengejar hal abstrak
kayak gue, Syif!” sahutku dengan nada tajam.
“Lo bakal kehilangan
Bulan lagi saat Matahari kembali, lo siap untuk kedua kalinya begini?” tanya
Syifa dengan nada melecehkan dan penekanan di setiap pengucapnnya.
Aku sudah tidak bisa
melawan lagi, aku lebih baik bertahan dan mundur saja. Maka ku putuskan untuk
berdiri dan berjalan meninggalkan Syifa. Dia masih bergeming saat aku mencapai
daun pintu.
“Gue siap! Apapun
resikonya gue bakal mencoba sampai akhir,” ujarku tegas dan berlalu pergi.
Syifa hanya bisa menghembuskan nafas berat dan menelan pahitnya cinta bertepuk
sebelah tangan ini.
Aku berjalan lemah di
koridor menuju kelasku. Bel istirahat sudah bergema dari tadi, aku melihat sosok
Seto dan Arya yang menghampiriku. Mereka tersenyum penuh pengertian saat
melihat tampang kusutku.
“Jadi gimana tadi?”
tanya Seto dengan nada ingin tahu yang meluap.
“Ya berhasil, tapi
ada masalah sedikit karena ada Syifa,” jawabku sambil mengusap-usap wajah yang
sepertinya tidak berkharisma lagi setelah adu mulut tadi.
“Wah, parasit banget
tu!” gertak Seto kesal.
“Husss, kalian ini
harusnya bisa mengerti Syifa dong!” bela Arya yang membuat aku dan Seto saling
berpandangan.
Memang aku pernah
menduga Arya sebenarnya suka pada Syifa, tapi hatinya tidak bersambut lantaran
Syifa mengejar-ngejar aku terus. Ternyata praduga itu terbukti.
“Udahlah, gimana tadi
Pak Farhan nyariin gue ga pas ga balik-balik dari toilet?” tanyaku mengalihkan
pembicaraan.
“Wah, dia kayaknya
sok asyik sendiri tadi dengan rumus dan papan tulis kesayangannya itu. Jadi
masa bodohlah,” jawab Seto sambil mengerling padaku.
Tadi aku memang
sengaja pura-pura ke toilet saat pelajaran Pak Farhan. Aku tahu jadwal
olaharaga waktu itu adalah kelasnya Bulan. Jadi rencananya aku hanya ingin
melihat dia sebentar, tapi ternyata dewi fortuna memberiku hal manis lainnya.
Saat ku dapati Bulan
sedang merunduk di samping pohon dekat lapangan aku jadi curiga jangan-jangan
dia sedang ngintip. Ternyata benar dia sedang mengawasi kemesraan Dika dan Nesa
di lapangan. Aku bermaksud mengerjainya saat itu, namun melihat keningnya yang
benjol tawaku langsung pecah dan berganti perih yang mendalam saat aku
menyadari ini semua pasti karena Matahari.
“Yuuk cabut!” ajak
Arya membuyarkan lamunanku sejenak.
Kami bertiga
menikmati bakso di koperasi dengan lahap. Meski rasa penasaranku terhadap Bulan
masih menggelitik, ku coba tahan untuk memberinya waktu. Pasti Bulan sangat
terguncang tadi gara-gara permintaanku yang mendadak dan adegan telenovela yang
tadi disaksikannya. Dimana Syifa adalah peran utama yang menangis Bombay.
****
Di sebuah Rumah Sakit
yang cukup memadai di Singapura, Matahari sedang berbaring tak berdaya. Sudah
hampir seminggu sejak dia masuk rumah sakit ini, sebenarnya dia tidak perlu
rawat inap apabila mendengar saran dokter. Tapi apa boleh dikata, nasi sudah
jadi bubur!
“Ma, Ari mau nelpon
Bulan, boleh kan?” tanyaku pada Mama yang sedang mengelap tanganku dengan kain
hangat.
“Apa kamu siap,
gimana kalau dia curiga dengar suara kamu yang lirih begini?” jawab Mama
lembut.
Aku berpikir sejenak
sudah hampir seminggu aku tidak meneleponnya, pasti dia uring-uringan dan
mengomel ga jelas. Aku sungguh rindu suaranya dan tawanya, tapi aku takut dia
curiga jadi kuputuskan tidak menghubunginya dulu.
“Huffft,” terdengar
hembusan nafas berat Mama.
“Ri, kamu harusnya
dengar saran dokter dulu. Jadinya kan ga begini,” protes Mama saat aku tidak
juga makan dengan benar.
“Ari kan ga tau Ma,
kalau dengan kecapean dan kedinginan bisa buat Ari lemah,” ujarku membela diri.
Malam itu sehabis
menutup telepon dari Bulan, mendadak aku merasa pusing dan sakit di dada. Mama
sangat panik dan membawaku ke Rumah Sakit. Aku sendiri merasa bodoh, kenapa ga
bisa bertahan!
Kedatangan kami ke
Rumah Sakit ini direkomendasikan oleh Dokter Bram, dia menyarankan agar aku
dirawat disini selama menunggu donor yang cocok. Karena pendonor hati di Rumah
Sakit ini bisa dibilang banyak, akupun heran kenapa begitu.
“Aku rindu dia, Ma!”
gumamku lirih membuat Mama hanya bisa mendesah pelan.
“Kamu harus kuat,
bertahan agar sembuh. Nanti kamu bisa kembali, Ri.”
Setiap ucapan Mama
membuatku bertahan, membayangkan bisa menghabiskan hari-hari bersama Bulan
adalah sumber kekuatan yang tak terkira dahsyatnya. Aku membuka album foto
Bulan di ponselku yang berjudul ‘My Moon‘ dan banyak sekali senyuman cerah yang
dia berikan padaku.
“tok tok tok” ketukan
pintu membuat mataku yang semula terpejam membuka perlahan.
Mama segera membuka
pintu dan keluar bersama dengan perawat yang memanggilnya. Aku menatap taman
yang terhampar di depan jendela ruanganku. Rasa rindu ini sungguh menyiksa,
bagaimana aku bisa bertahan tanpa mendengar suaranya?
“Ri?” panggil Mama
saat kembali dengan wajah sumringah. Kabar baikkah?
“Hmm,” gumamku sambil
tersenyum.
“Minggu depan kamu
bisa dioperasi, sudah ada donor yang cocok. Sabar ya,” ujar Mama mengelus
lembut kepalaku.
Seperti ada pelangi
menghiasi ruangan ini, membayangkan aku akan kembali ke sisi Bulan membuatku bersemangat.
Namun, firasatku mengatakan Bintang pasti menggunakan kesempatan yang ku
berikan untuk mengambil alih posisiku.
Sebenarnya alasan
awalku membiarkan Bintang menjaga Bulan adalah untuk membuktikan apakah benar
di hati Bulan hanya ada aku? Aku tentu tidak rela bila ada Bintang yang
terselip disana biarpun hanya setitik kecil. Oleh karena perihal sepele
begitulah, aku bahkan nekat menyuruh Bintang bersama Bulan. Agar kelak saat aku
kembali, Bulan dapat memilih dengan yakin. Siapa diantara kami yang lebih dia
sayangi. Aku berharap itu aku.
****
“Apa?!!!!!” aku
menjerit tanpa sadar saat mendengar Nesa bercerita malu-malu.
Dia membekap mulutku
setelah suara cemprengku membuat Pak Farhan yang mengajar berdeham dengan mata
melotot. Pasalnya sekarang kami sedang belajar dengan adem ayem di kelas, dan
tiba-tiba Nesa curcol sedikit kepadaku tentang bagaimana Dika dengan sedikit
kikuk menyatakan perasaannya kemarin lusa.
“Lo gila ya! Kenapa
jerit?” bisik Nesa kesal padaku.
“Sorry, abis ini big
news banget,” jawabku sambil terkekeh geli menahan malu dan menahan jantung
yang semakin bergemuruh di tatap mata tajam Pak Farhan.
Kami berhenti
berbisik-bisik saat Pak Farhan berjalan mendekat ke meja kami. Aku mempunyai
indera keenam yang bisa dibilang bertelepati dengan Nesa. Kami saling pandang
dan mengangguk untuk mulai berpura-pura.
“Kenapa kamu
menjerit, Bulan?” tanya Pak Farhan dengan penekanan yang jelas.
“Tadi Nesa sakit
perut Pak, jadi aku kaget dan tanpa sadar menjerit,” jawabku lugas.
Pak Farhan
menyipitkan matanya, menyelidik ke arah Nesa sambil berkata, “Kamu yang sakit
perut, kenapa Bulan yang menjerit?!”
“Habis dia kaget pas
tau aku sakit perut karena datang bulan hari pertama, Pak!” jawab Nesa mantap.
Ucapan Nesa membuat
kelas menjadi ribut, ada yang meledek kami dan ada yang terang-terangan menyela
Pak Farhan sebagai tukang kepo. Hihihi. Aku melihat wajah Pak Farhan menjadi
pias, syukurin kena lo!
Pak Farhan mendelik
pada semua murid yang menyebabkannya malu begitu, lalu sambil berdeham dia
berkata, “Lanjutkan mencatat!”
Aku
dan Nesa hanya cekikikan sepeninggalnya. Dan dengan susah payah aku mengekang
perasaan ingin tahu ini sampai bel pulang berbunyi.
“Nes,
ceritain yang jelas!” desakku saat kami sedang members-bereskan buku di atas
meja. Teman-teman yang lain sudah menghambur pulang ke sarangnya.
“Hm,
awalnya Dika hanya minta nomor HP sih sekitar sebulan yang lalu,” mulainya
sambil menggelung rambut ke atas. Dia tampak elegan seperti itu.
“Terus,
kami smsan gitu. Makin lama berkembang menjadi telponan, terus pas kemarin kan
aku sama dia janjian di lapangan pas jam olahraga,” dia menggantung kalimatnya.
Aku
gemas melihatnya begitu. Dia tampak membuatku mati penasaran, “Ayo lanjutin!”
“Ya
kemarin aku kan telat ketemu dia, jadi dia tanya aku darimana dengan nadanya
yang ketus dan dingin itu lho,” sambungnya.
Kami
menyusuri koridor kelas dengan langkah yang sejajar, “Terus?”
“Ya
aku jadi kesal sama dia, terus aku bilang aja aku dari UKS dengan setengah
membentak gitu,” lanjutnya sedikit. Aduh, kenapa banyak di jeda sihhhh.
“Eh
aku kira dia bakal lebih galak, ternyata mukanya jadi khawatir gitu. Dia nanya
bagian mana yang sakit, aku kan jadi serbasalah,” jeda lagi.
“Terus
aku bilang kamu yang sakit, mukanya tampak lega. Eh tapi dia malah megang
tanganku bilang kalau sakit segera kasih kabar ke dia,” ujarnya dengan muka
yang mulai tersipu-sipu.
Aku
curiga pasti sebentar lagi klimaks nih, ternyata benar!
“Aku
tanya dengan menantang, emang kamu siapanya aku harus dikabarin. Dia malah
jawab dengan lebih menantang gitu, bilang kan aku pacarnya kamu! Aku jadi ga
keruan gitu rasanya, tapi ya gitu deh kami jadian pas itu, happy ending ya!”
katanya dengan wajah berseri-seri dan mengakhiri dengan wajah kemenangan.
Aku
hanya manggut-manggut tanda mengerti. Iya ngerti banget! Rasanya aku jadi ingat
momen saat aku dan Matahari jadian, aku ingat sesuatu yang penting!
“Nes,
hari ini tanggal berapa?” tanyaku tiba-tiba membuatnya kaget bercampur bingung.
“Tanggal
6 Februari,” jawabnya mengingat-ingat.
Aku
menepuk keningku. Aku ingat hari ini adalah tanggal jadian kami, berarti ini
genap 6 bulan aku pacaran sama Matahari ya. Nesa terlihat bingung dengan
sikapku lalu dia menghentikan langkahnya tiba-tiba dengan menatap lurus ke
depan dia tersenyum.
“Kenapa
Nes? Kamu ga jadi nganterin aku pulang?” tanyaku heran.
Nesa
tidak menjawab dia malah mengisyaratkan agar aku memandang ke depan. Aku
menoleh ke depan dan wah adegan apa ini?!
Kak
Bintang sedang berdiri di sebelah motor ninja hitamnya sambil melambai ke arah
ku. Kak Dita dan Kak Syifa yang berada di sebelahnya hanya terdiam. Mereka
terlihat malas dan ragu, sama seperti aku juga sih.
“Halo
Bulan sayang,” sapa Kak Bintang santai saat dia menghampiriku, di belakangnya
Kak Syifa mengekor dengan wajah tertunduk lesu.
Aku
tidak menyahut dan hanya memandangnya dengan wajah mencetut. Merusak hari
pentingku saja!
“Lo
lupa ya? Kita kan sudah resmi jadian kemarin, jadi Syifa mau kasih selamat
nih,” sambungnya sambil merangkulku. Glek!
“Kakak
apaan sih!” aku menjauh darinya.
Nesa
terlihat kaget dan heran, dia menyoroti ku dengan sinar laser dari matanya.
Pasti dia menganggap aku berkhianat dari Matahari, tapi sejurus kemudian Nesa
tersenyum geli.
“Wah,
lo kok ga bilang sih udah jadian sama Kak Bintang, curang nih!” ujar Nesa
lantang yang membuatku menganga. Kok begini?
“Lo
belum kasih tau Nesa ya, Lan?” tanya Kak Bintang.
Belum
sempat aku menyuarakan aspirasiku, Kak Bintang sudah lebih dulu berseru sambil
menjabat tangan Nesa dia berkata “Selamat ya semoga langgeng sama Dika nya,
doain juga semoga gue sama Bulan langgeng.”
“Eh,
kakak kok tau aku sama Dika…” Nesa menggantung kalimatnya sambil mengangguk
mengerti setelah melihat tatapan mata Kak Bintang.
Ku
lihat acara tatap-tatapan ini sedikit ga beres. Tapi ini tidak ku hiraukan,
yang lebih mengusikku adalah tatapan kosong dari Kak Syifa. Dia memandangku
namun tidak ada aura kemarahan disana, hanya ada kesepian dan… hampa.
“Selamat
ya! Maaf kemarin itu aku hanya sedikit kaget aja, aku dukung kok kalian!” ujar
Kak Syifa sambil tersenyum lemah padaku.
Senyuman
jenis ini, senyuman Kak Syifa ini biasanya ditampakkan saat orang sudah
menyerah karena lelah berharap. Mungkinkah Kak Syifa sudah merelakan Kak
Bintang? Tapi aku kan ga mau di sisinya Kak Bintang!
“Yasudah,
kalau begitu biar Bulan pulang sama gue aja. Kami duluan ya, bye semua!” kata
Kak Bintang sambil menyeretku pergi darisana.
Aku
heran mengapa aku tidak menolak saat tangan Kak Bintang menyeretku, aku tau
benar hati ini menolak tapi sikapku malah begini. Saat motor Kak Bintang melaju
dengan aku diboncengnya, ku lihat Nesa melambaikan tangan berdada-dadah ria
kepadaku. Sementara Kak Syifa berjalan menuju mobil Kak Dita. Ekspresi itu,
ekspresi saat seseorang kehilangan.
“Lan,
malam nanti aku mau ajak kamu keluar. Siap-siap ya, aku jemput jam 7,” kata Kak
Bintang saat aku turun dari motornya di depan pagar rumahku.
Sepanjang
perjalanan tadi keheningan sepertinya menjadi hal yang menarik bagi kami. Aku
masih kebingungan harus bagaimana bersikap dan bagaimana menyuarakan sejuta
unek-unek di hati ini. Jadi kuputuskan hanya diam!
Aku
tidak menyahutnya dan ngeloyor masuk saja lantas menutup pagar. Masih dapat ku
dengar lirih Kak Bintang mengatakan sampai jumpa. Hati ini tidak menolak
hadirnya Kak Bintang, lalu bagaimana dengan Matahari.
*****
Aku
sudah bolak-balik dari tadi, kamar-ruang tamu-teras-kamar-ruang tamu-teras dan
begitu terus sampai Bunda berdeham menegurku.
“Kamu
kenapa, Lan?” tanya Bunda sambil mengecilkan volume televisi dia duduk di
sampingku.
“Aku
ga apa-apa, Bun” jawabku seadanya.
“Kamu
lagi nungguin siapa sih? Daritadi bolak-balik begitu, kayak anak ayam kehilangan
induknya saja,” ujar Bunda sambil melirikku sekilas.
Aku
bingung jadinya, sebaiknya cerita atau tidak. Ku putuskan untuk cerita semua
kemelut dan kegalauan yang ada. Dan Bunda hanya tersenyum kecil tanpa memberi masukan
apa-apa. Percuma ding!
“Bunda,
gimana dong?” desakku karena Bunda terus mengacuhkanku.
“Ya
terserah kamulah, mau pilih yang mana. Toh dua-duanya sama baik, Bunda sih ga
bisa nentuin,” jawabnya sambil menyesap teh hangat di cangkir.
Aku
memang bingung sendiri. Di satu sisi, hatiku masih tertambat penuh oleh sosok
Matahari, pacar ku yang sekarang entah mengapa terkesan tidak perduli itu.
Namun di sisi lain, tak bisa dipungkiri Kak Bintang juga menyelip masuk
diantara kami. Masa iya istiah kerennya, aku jatuh di dua hati?
“Bunda
hanya nyaranin kamu banyak-banyak menilai pakai mata hati. Kan dekat di hati
jauh di mata itu untuk Ari, tapi kalau Bintang itu dekat di mata jauh di hati.
Jadi mendingan pakai mata hati aja sekalian,” usul Bunda yang notaben nya aku
tidak mengerti sama sekali.
Aku
masih sedikit jengkel juga dari tadi, belum lagi Ari yang tidak mengangkat
telepon dan membalas smsku sejak seminggu ini eh sekarang Kak Bintang udah
nyelip-nyelip begini. Tadi aku sangat kesal lantaran ucapan anniversary ku melalui
sms tidak berbalas dari Ari. Kemanas sih dia? Apa jangan-jangan sedang
melakukan operasi besar ya. Memikirkannya saja bikin hati galau.
“Bun,
Ari itu kenapa ya? Aku udah kirimin ratusan sms tetep aja ga dibalas, kalau
sehari dua hari masih mending tapi ini udah seminggu,” ocehku membuat Bunda
memfokuskan dirinya mendengarku.
“Kan
kamu tau dia sedang menjalani perawatan dan pengobatan, mungkin pihak rumah
sakit disana tidak mengizinkan pasiennya main handphone,” jawab Bunda
menenangkan dan menghiburku.
Aku
juga sering berpikir begitu, tapi malah bukan tenang aku jadi makin khawatir.
Rasa takut dan kecewa menjadi berlomba-lomba menyesaki dadaku. Aku takut Ari
kenapa-napa, tapi kecewa juga karena toh aku tidak tau apa-apa.
Bunyi
deru motor membuat Bunda menyentil hidungku sehingga pikiranku yang tadi
melayang-layang kembali ke dunia nyata. Bunda membukakan pintu dan menyuruh Kak
Bintang duduk di ruang tamu.
“Lho
kalian mau pergi ya? Tante ga tau, dikirain mau ngobrol disini saja. Bulan
belum siap-siap tuh,” ujar Bunda sambil melirikku dengan tatapan yang jelas
sekali bertuliskan cepat-ganti-baju-sana.
Aku
mencibir sedikit perlakuan manis Bunda pada Kak Bintang, lalu masuk ke kamar
mengganti baju dengan kaos mini mouse dan jins biruku. Jam dinding menunjukkan
pukul 7 tepat, ternyata Kak Bintang ini orangnya on time. Kok aku malah memuji
dia?
Setelah
meminta izin, kami pergi dengan membelah kekelaman malam dengan suasana masih
seperti tadi siang. Hening.
Kak
Bintang membawaku ke sebuah kafe yang bergaya modern dan romantis. Kami memilih
duduk di dekat taman yang ditumbuhi bunga-bunga indah.
Setelah
memesan makanan dan minuman, dapat ku rasakan sekarang Kak Bintang menatapku
lekat-lekat. Dia seakan menanti aku mengatakan sesuatu. Aku tau maksudnya itu,
dia menunggu aku mengatakan tentang permintaan konyolnya itu. Dia kan tau aku
masih resmi berpacaran dengan Matahari, tapi kenapa dia meminta jadi pacarku
saat Matahari pergi? Hanya sampai kurun waktu itu. Saat Matahari kembali,
mungkin hubungan ini juga harus berakhir. Begitukah?
“Kak,
mau kakak apa sih? Aku sampai detik ini masih ga ngerti juga,” akhirnya aku
membuka suara. Senyuman tulus mengembang di wajahnya.
Haa,
aku rindu senyuman itu, raut wajah itu dan seakan terhipnotis aku diam saja
saat jemarinya menggenggam jemariku di atas meja.
“Gue,
eh aku… Mau di sisi kamu, menjaga kamu dan bersama kamu selama Ari ga ada,”
ujarnya dengan nada yang mantap tanpa beban.
Aku
menarik tanganku dan berkata, “Hanya sampai saat itu kah?”
Ku
lihat ekspresi kaget di wajah Kak Bintang saat mendengar jawabanku. Aku juga
bingung kenapa justru kalimat itu yang meluncur keluar diantara banyaknya
kalimat yang ada. Aku mengutuk lidahku karena telah membuat Kak Bintang merasa
menang.
“Jadi
kamu maunya selamanya ya?” tanyanya dengan nada jahil.
“Bukan
begitu! Aneh kak, mana ada orang yang mau jadi ban serep begini,” celetukku.
“Aku
tahu. Tapi mungkin akulah orang aneh itu, jadi ku mohon biarkan aku berada di
sisimu sampai saat itu tiba,” balasnya dengan binar-binar memohon.
“Ini
sama aja main serong! Aku ga mau Ari berprasangka buruk tentang ini,” jawabku
sambil membuang muka.
“Hmm,
kalau begitu aku ga butuh status pacar itu. Aku hanya mau menjadi orang yang
terdekat sama kamu, menjadi seseorang yang berarti meski statusnya bukan
kekasih. Kalau begini boleh kan?” tanyanya bersisikukuh.
Aku
menimbang-nimbang sesaat, pikiran setanku berkata sayang sekali kesempatan ini
dilewatkan. Berpacaran dengan Kak Bintang adalah sesuatu yang berharga. Tapi
sesuai dengan saran Bunda, nilailah dengan mata hati. Aku mamantapkan menjadikan
Kak Bintang sahabatku, persahabatan itu sangat indah bila dinikmati.
“Kita
begini saja ya, Kak. Boleh kok Kakak dekat denganku asal bukan berstatus
pacar,” dengan nada manis ku ucapkan kalimat itu.
Senyum
manis merekah di wajahnya, lalu terlihat sekali kebahagiaan meliputinya. Aku
merasa tersanjung dan terharu hanya dengan menjadi orang terdekatku saja Kak
Bintang sangat bahagia. Apalagi bila nanti dia jadi kekasihku? Haduuh! Kok aku
malah berpikir begitu, ingat Ari!!!
“Makasih
atas semuanya,” gumamnya lirih.
Lalu
mengalirlah banyak percakapan diantara kami. Aku merasa mulai nyaman berada di
dekatnya, sampai-sampai aku merasa malam ini sungguhlah indah untuk dikenang.
Ari salahkah aku bila begini? Kamu harus cepat kembali, aku takut hatiku mulai
goyah.
******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar