Total Tayangan Halaman

Jumat, 15 Februari 2013

Renkarnasi Matahari, Bintang, dan Bulan * Part 8 *



Part 8 ~Jauh di Mata Dekat di Hati~

Semilir angin pagi menggoyang-goyangkan poni rata milik Bulan, bintik-bintik peluh di keningnya sudah mulai dilapnya dengan punggung telapak tangan. Dia dihukum lari keliling lapangan oleh Bu Meri karena datang terlambat pagi ini.

“Buseeet! Lo udah kayak budak lari dari sarang penyamun aja, Lan!” tegur Nesa saat aku tergopoh-gopoh lari mendekatinya di koridor kelas.

“Sialan! Aku kan cuma telat 5 menit tetep aja lari keliling lapangan, uhh” gerutuku membuat Nesa tertawa terpingkal-pingkal lalu aku meninju pundaknya pelan. Keki juga diketawain Nesa begini.

 “Lima menit itu berharga banget menurut teorinya Bu Meri, ya wajarlah,” ujar Nesa sambil mengibaskan rambut panjangnya. Ehhh? Tumben rambutnya digerai biasanya kan dikuncir. Pasti ada udang di balik bakwan nih.

“Cie, tumben rambutnya ga dikuncir, mau TP sama Dika ya?” godaku membuatnya salting. Rona merah segera menjalar di pipinya.


Nesa buru-buru masuk ke kelas setelah percakapan kami di koridor tadi menghabiskan waktu lebih lama dari yang seharusnya, pasalnya Bu Meri sudah mendelik dari ujung koridor karena kami masih santai saja sementara pelajaran pertama akan segera dimulai. Hari ini pelajaran Fisika yang bisa bikin mata copot sampe gigi rontok pun ga bakal bisa deh tu rumus nyangkut di otak.

Alhasil sampai jam olahraga Bulan masih pusing gara-gara tadi berkutat dengan rumus dan angka fisika yang wah maknyos deh kadar keanggunannya. Nesa hanya bisa geleng-geleng kepala melihat Bulan yang masih ogah-ogahan berjalan menuju lapangan olahraga.

“Lan, gue perhatiin ya sejak Ari pergi lo jadi ga bersemangat nih, ada apa sih?” tanya Nesa tiba-tiba saat aku dan dia berlari-lari kecil memutari lapangan untuk pemanasan.

Aku hanya tersenyum penuh arti membuatnya bungkam dan tidak bertanya apapun lagi tentang itu. Aku sudah cukup nelangsa karena hampir seminggu Matahari pergi dan masih belum memberi kabar padanya setelah dia menelepon untuk yang pertama kali.

Malam itu Bulan sedang meradang lantaran tanpa sadar dia berjalan menyusuri jalan menuju rumah Ari, sesampainya di depan pagar dia jatuh terduduk. Mengapa kaki ini masih membawanya ke tempat ini? Ari kan sudah pergi.
Saat sedang beradu perasaan tiba-tiba ponsel Bulan bergetar, tertera nama Ari dilayarnya dengan ragu-ragu dia menekan tombol hijau.

“Heloooo, honey. I miss you,” sapa Ari tanpa mengucapkan halo terlebih dahulu.

“Garing tau!” balasku malas. Rada sebel juga Ari bisa-bisanya romantis begini lewat telepon, coba kalau langsung uhh nyalinya pasti ciut deh.

“Hahaha… Kamu lagi ngapain, Lan?” tanyanya di sela tawa.

“Lagi apa ya? Mungkin merindukan kamu,” jawabku mencoba menyindir tapi dia sepertinya tidak Ngeh.

“Cie, kan jauh di mata dekat di hati. Jadi sabar aja ya, Lan! Tunggu aku pulang,” serunya setengah meledek.

Aku hanya diam. Hening beberapa lama. Aku berjalan kembali ke rumah sesampainya di teras, aku duduk menghadap langit. Melihat Bintang, aduh jadi makin kangen Ari nih! Padahal baru tadi pagi dia pergi.

“Ri?” tegurku karena tidak ada tanda-tanda suara sementara sambungan masih terjalin.

Masih tidak ada sahutan dari Ari, apa jangan-jangan sinyalnya jelek ya. Aku mengacung-acungkan ponsel mencari sinyal. Lalu terdengar suara tawa pecah dari speaker telepon. Sialan Ari mengerjaiku!

“Huuuuh! Jahat!” gerutuku kesal.

“Maaf deh, soalnya kamu diem terus daritadi jadi sekalian deh aku kerjain aja, diem juga.”

“Tadi ku pikir sambungan terputus tauuuu!”

“Hahahaha, kamu lagi dimana dan sedang apa Lan?” tanyanya penuh nada kasih sayang. Aku jadi batal merajuk.

“Lagi di teras liatin Bintang, kamu lagi liatin Bintang juga ga disana?” tanyaku dengan pikiran menerawang momen-momen indah saat menikmati pemandangan di atap.

“Ga nih, aku lagi berbaring tak berdaya di kamar. Capek juga hari ini, Lan. Kamu ga ke rumah aku kan tadi?” ujarnya sambil menahan senyum geli yang pastinya tidak terlihat oleh Bulan.

“Maksudnya? Kan kamu ga ada, ya ngapainlah kesana!” jawabku keki takut ketauan belangnya.

“Firasat aku bilang kamu pasti tadi kesana, soalnya aku kan pasang CCTV di pagar jadi bisa liat dong kamu tadi mampir,” Matahari berlagak serius padahal setengah mati dia menahan tawa karena pasti sekarang Bulan sedang melongo kaget.

“Kok kamu tau? Emang pasang dimana?” pernyataan atau pertanyaan Bulan sukses membuat Matahari tergelak. Ngakak guling-guling. Polos banget deh pacar aku ini!

“Hahaha, aku hanya bercanda kok! Mana ada CCTV nya, kan cuma firasat doang, Lan!” sahutku disambut dengusan kesal dari ujung telepon.

“Dasar! Ari jelek!” sepertinya Bulan merajuk gara-gara dikibulin.

Lalu hening kembali menyapa, dinginnya malam yang mencekam membuatku masuk ke dalam kamar. Tidak sanggup berlama-lama di balkon apartemen ini. Sambungan telepon masih ada, tapi disinyalir akan terputus sebentar lagi karena pulsa yang kritis. Maklum tarif roaming kan mahal.

“Lan, makasih ya rekamannya. So sweet banget tau! Aku terharu,” kataku membuat Bulan terdengar seperti grogi dari caranya menjawab.

“Eh, itu.. Ehm, iya. Aku buatnya dengan sepenuh hati lho, jadi jaga baik-baik ya.”

“Iya! Lagian langka banget tau aku bisa dengar suara fals kamu itu, pasti bakalan aku jaga deh. Kan barang antik dan langka,” lagi-lagi Bulan mendengus kesal mendengar jawabanku yang bikin dia malu pastinya.

“Udah dulu ya, good bye honey!” aku hendak mematikan sambungan tapi Bulan menyela tiba-tiba.

“Eh tunggu! Aku belum bilang nih,” potongnya sebelum aku sempat menekan tombol end.

“Bilang apa?”

“Good bye too for you honey!” tut tut tut terdengar bunyi nada sambung panggilan terputus. Ternyata Bulan juga mau membalas ucapanku, wah dia lucu sekali.

Aku cengar-cengir sendiri setelah tadi melepas rindu mendengar suara Bulan. Mama yang sibuk membereskan barang-barang jadi cekikikan. Pasti Mama berpikir pikiran anak muda memang terbelakang. Haa, aku rindu Bulan!

Bulan yang sedang menerawang mengingat telepon pertama dari Matahari jadi tidak memandang jalan sekitar lapangan. Sampai batu kecil dihiraukannya dan tiang basket yang menjulang di depannya pun tidak diindahkan sangking terbuai lamunan.

“Awas, Lan!” teriak Nesa dari pinggir lapangan.

Wadooww! Kepalaku berdenyut mesra dengan keringat gara-gara kejedot tiang. Aduh gawat nih, penyakit hati berbuah manis jadi penyakit kepala lalu merambat ke jidat. Haduh, aku meringis kesakitan. Matahari kok ga telepon lagi ya? Rutukku dalam hati.

**

Saat ini Nesa uring-uringan menemaniku duduk di UKS, padahal Nesa kalau pelajaran olahraga hobinya membolos tapi sekarang malah cemas begini.

“Kamu kenapa Nes?” tanyaku karena tidak tahan dengan adegan konyolnya. Duduk-berdiri-berputar-duduk-berdiri-berputar dan berulang.

“Eh, kenapa apanya. Ga apa-apa kok!” sahutnya sedikit kaget.

“Bohong! Kalau kamu mau olahraga sana keluar, aku ga apa-apa kok sendiri, lagian aku bisa tidur,” ujarku meyakinkannya.

“Bener? Okedeh!” katanya dengan wajah menimbang-nimbang dalam kegirangan.

Aku jadi curiga melihat sikap Nesa tadi, dia aneh sekali hari ini. Dari mulai rambutnya yang digerai dan sekarang dia hobi olahraga. Wah, patut diselidiki!
Karena penasaran akupun berjalan mendekati lapangan olahraga, dan pemandangan yang ku lihat sudah sangat meyakinkan. Penyakit apa yang menimpa Nesa sahabatku. Apalagi kalau bukan penyakit hati! Dia sedang tersipu-sipu malu saat mengobrol dengan seseorang di lapangan. Tebak siapa? Si Dika! Cowok ketus dan dingin itu.

“Woi! Dilarang ngintipin orang bermesraan!” celetuk seseorang dari belakang.

Aku sepertinya pernah mendengar suara berat itu. Suara yang membawa aura pilu dan sedih yang sekarang menjadi lebih ringan dan damai.

“Kak Bintang!” dia terlonjak kaget saat aku meneriaki namanya. Lalu sedetik kemudian dia terbahak-bahak dan aku hanya bisa mengernyitkan kening. What’s wrong?

“Kening lo abis dicium siapa kok benjol gitu?” tanyanya sambil menunjuk keningku di sela tawanya.

“Eh ini, hmm...” aku jadi ragu mengatakannya saat ku lihat ekspresi tawa nya berubah menjadi ekspresi aneh. Dan perlahan tapi pasti dia maju selangkah. Aku mundur selangkah. Dan saat aku terpojok ke sudut tembok dia semakin mendekat.

“Kak, jangan dekat-----“

Sreettt, dia menarik tanganku dan menyeretku dengan paksa darisana.  Aku hanya bisa membisu saat dia menggiringku menuju ruang UKS. Lalu dia mengobati keningku.

“Nesa keterlaluan! Dia malah enak pacaran sementara kamu sakit begini,” ujarnya saat kami duduk berhadapan.

“Bukan salah dia kok, aku yang suruh dia pergi tadi,” aku membela Nesa yang disudutkan oleh Kak Bintang.

Kak Bintang menatapku tanpa berkedip lalu seulas senyum manis tergurat di wajahnya. Aku menjadi tersangka yang tidak tahu apa-apa sekarang. Kenapa sukar sekali mengartikan setiap perubahan ekspresi Kak Bintang? Dulu aku mudah meneliti ekspresinya Matahari.

“Lo begini gara-gara mikirin Ari ya?” tembaknya dengan mata menusukku.

“Siapa bilang! Aku tadi hanya kejedot tiang kak,” bantahku dengan yakin.

Keyakinanku luntur saat ku dapati Kak Bintang mengganti lagi ekspresinya menjadi membeku. Aduuuuh, aku kan bukan pakar ekspresi!

“Kak, tadi kenapa----“

“Lo mau ga jadi pacar gue?” sergahnya cepat memotong kalimatku. Kalimat yang ingin ku sampaikan meluncur lagi ke dalam tenggorokan dan bermuara di hati.

Kini banyak kalimat yang ada di hati dan tak dapat disampaikan dengan lidah yang kelu ini. Aku ingin membuka mulut namun ku katupkan lagi saat Kak Bintang mengeluarkan suara.

“Gue bakal jagain lo selama dia ga ada, gue bakal di sisi lo sampai saat dia kembali. Jadi lo harus mau!” ujarnya membuatku terlongo. Keputusan sepihak!

“Aku….” kalimatku kembali tak keluar gara-gara Kak Bintang dengan tiba-tiba dan tanpa dipraduga akan merengkuhku ke dalam pelukannya.

“Lo harus mau!” bisiknya lirih namun tegas di telingaku.

Saat adegan begini kan biasanya di film pemeran utama yang lain datang dan adu jotos-jotosan. Tapi ini bukan film jadi yang datang pun bukan Matahari yang ku harapkan, tapi tetap ada yang datang dan berdiri disana di ambang pintu. Seorang perempuan dengan mata yang berkaca-kaca dan bahu bergetar, Kak Syifa!

Aku hanya bisa bergumam lirih, “Kak Syifa….”

Kak bintang yang tadinya memelukku langsung membalikkan badan dan terpaku sesaat melihat Kak Syifa dengan airmata yang mulai mengalir di pipinya yang tampak mulus. Kak Bintang tidak langsung berlari mengejar Kak Syifa saat dia keluar dari ruangan UKS dengan ekspresi terluka begitu. Malahan Kak Bintang duduk di hadapanku dan dengan mata yang sayu tersenyum kepadaku.

Ada binar-binar kasih sayang yang tulus di mata itu hingga membuatku tidak berani mengusik keheningan di ruangan ini. Sampai derap kaki Kak Bintang menjauh dari ruangan aku masih tidak bergeming. Semuanya terjadi begitu cepat.

***

“Jadi lo mau bilang sekarang lo mau jadi ban serepnya gitu?!” teriak Syifa padaku.
Segera setelah dia meninggalkan ruang UKS dengan ekspresi terlukanya itu, aku mencarinya kemana-mana. Dan disini dia berada, ku temukan dia sedang duduk memeluk lututnya sambil menahan suara tangisan. Ruang musik ini memang redam suara sehingga Syifa bebas menangis disini.

Aku duduk bersandar di sebelahnya, mencoba memikirkan kata-kata apa yang pas untuk melukiskan semuanya. Melukiskan betapa bahagianya perasaanku setelah lama tidak melihat Bulan, melukiskan betapa kehangatan menjalar saat aku memeluknya. Dan melukiskan rindu ini terobati!
Namun yang terjadi justru perdebatan sengit seperti sekarang yang pangkal masalahnya pun aku masih ragu.

“Masalah lo apa kalau gue mau jadi ban serepnya?” sergahku dengan darah yang mulai mendidih.

“Ang, lo harusnya tau. Gue sayang sama lo, dari dulu gue nunggu lo. Tapi sekarang apa, lo lebih milih jadi penggantinya Matahari di sisi Bulan dibanding jadi Bintang di hati gue?” ujarnya lirih sarat dengan kesedihan dan kekecewaan.

“Syif, berapa kali gue bilang. Selain Bulan gue ga mau yang lain, dan harusnya lo----“

“Ini ga adil! Cuma gara-gara nama dia Bulan kan?” potongnya cepat.

Aku merasa rahangku ini mulai mengeras, Syifa selalu begini. Mengungkit-ungkit masa lalu yang membuat hatiku luluh lantah.

“Karena dia Bulan, Bulan Dewanti yang gue sayang. Jadi gue mohon berhenti mengejar hal abstrak kayak gue, Syif!” sahutku dengan nada tajam.

“Lo bakal kehilangan Bulan lagi saat Matahari kembali, lo siap untuk kedua kalinya begini?” tanya Syifa dengan nada melecehkan dan penekanan di setiap pengucapnnya.

Aku sudah tidak bisa melawan lagi, aku lebih baik bertahan dan mundur saja. Maka ku putuskan untuk berdiri dan berjalan meninggalkan Syifa. Dia masih bergeming saat aku mencapai daun pintu.

“Gue siap! Apapun resikonya gue bakal mencoba sampai akhir,” ujarku tegas dan berlalu pergi. Syifa hanya bisa menghembuskan nafas berat dan menelan pahitnya cinta bertepuk sebelah tangan ini.
Aku berjalan lemah di koridor menuju kelasku. Bel istirahat  sudah bergema dari tadi, aku melihat sosok Seto dan Arya yang menghampiriku. Mereka tersenyum penuh pengertian saat melihat tampang kusutku.

“Jadi gimana tadi?” tanya Seto dengan nada ingin tahu yang meluap.

“Ya berhasil, tapi ada masalah sedikit karena ada Syifa,” jawabku sambil mengusap-usap wajah yang sepertinya tidak berkharisma lagi setelah adu mulut tadi.

“Wah, parasit banget tu!” gertak Seto kesal.

“Husss, kalian ini harusnya bisa mengerti Syifa dong!” bela Arya yang membuat aku dan Seto saling berpandangan.

Memang aku pernah menduga Arya sebenarnya suka pada Syifa, tapi hatinya tidak bersambut lantaran Syifa mengejar-ngejar aku terus. Ternyata praduga itu terbukti.

“Udahlah, gimana tadi Pak Farhan nyariin gue ga pas ga balik-balik dari toilet?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.

“Wah, dia kayaknya sok asyik sendiri tadi dengan rumus dan papan tulis kesayangannya itu. Jadi masa bodohlah,” jawab Seto sambil mengerling padaku.

Tadi aku memang sengaja pura-pura ke toilet saat pelajaran Pak Farhan. Aku tahu jadwal olaharaga waktu itu adalah kelasnya Bulan. Jadi rencananya aku hanya ingin melihat dia sebentar, tapi ternyata dewi fortuna memberiku hal manis lainnya.

Saat ku dapati Bulan sedang merunduk di samping pohon dekat lapangan aku jadi curiga jangan-jangan dia sedang ngintip. Ternyata benar dia sedang mengawasi kemesraan Dika dan Nesa di lapangan. Aku bermaksud mengerjainya saat itu, namun melihat keningnya yang benjol tawaku langsung pecah dan berganti perih yang mendalam saat aku menyadari ini semua pasti karena Matahari.

“Yuuk cabut!” ajak Arya membuyarkan lamunanku sejenak.

Kami bertiga menikmati bakso di koperasi dengan lahap. Meski rasa penasaranku terhadap Bulan masih menggelitik, ku coba tahan untuk memberinya waktu. Pasti Bulan sangat terguncang tadi gara-gara permintaanku yang mendadak dan adegan telenovela yang tadi disaksikannya. Dimana Syifa adalah peran utama yang menangis Bombay.
****
Di sebuah Rumah Sakit yang cukup memadai di Singapura, Matahari sedang berbaring tak berdaya. Sudah hampir seminggu sejak dia masuk rumah sakit ini, sebenarnya dia tidak perlu rawat inap apabila mendengar saran dokter. Tapi apa boleh dikata, nasi sudah jadi bubur!

“Ma, Ari mau nelpon Bulan, boleh kan?” tanyaku pada Mama yang sedang mengelap tanganku dengan kain hangat.

“Apa kamu siap, gimana kalau dia curiga dengar suara kamu yang lirih begini?” jawab Mama lembut.

Aku berpikir sejenak sudah hampir seminggu aku tidak meneleponnya, pasti dia uring-uringan dan mengomel ga jelas. Aku sungguh rindu suaranya dan tawanya, tapi aku takut dia curiga jadi kuputuskan tidak menghubunginya dulu.

“Huffft,” terdengar hembusan nafas berat Mama.

“Ri, kamu harusnya dengar saran dokter dulu. Jadinya kan ga begini,” protes Mama saat aku tidak juga makan dengan benar.

“Ari kan ga tau Ma, kalau dengan kecapean dan kedinginan bisa buat Ari lemah,” ujarku membela diri.

Malam itu sehabis menutup telepon dari Bulan, mendadak aku merasa pusing dan sakit di dada. Mama sangat panik dan membawaku ke Rumah Sakit. Aku sendiri merasa bodoh, kenapa ga bisa bertahan!

Kedatangan kami ke Rumah Sakit ini direkomendasikan oleh Dokter Bram, dia menyarankan agar aku dirawat disini selama menunggu donor yang cocok. Karena pendonor hati di Rumah Sakit ini bisa dibilang banyak, akupun heran kenapa begitu.

“Aku rindu dia, Ma!” gumamku lirih membuat Mama hanya bisa mendesah pelan.

“Kamu harus kuat, bertahan agar sembuh. Nanti kamu bisa kembali, Ri.”

Setiap ucapan Mama membuatku bertahan, membayangkan bisa menghabiskan hari-hari bersama Bulan adalah sumber kekuatan yang tak terkira dahsyatnya. Aku membuka album foto Bulan di ponselku yang berjudul ‘My Moon‘ dan banyak sekali senyuman cerah yang dia berikan padaku.

“tok tok tok” ketukan pintu membuat mataku yang semula terpejam membuka perlahan.

Mama segera membuka pintu dan keluar bersama dengan perawat yang memanggilnya. Aku menatap taman yang terhampar di depan jendela ruanganku. Rasa rindu ini sungguh menyiksa, bagaimana aku bisa bertahan tanpa mendengar suaranya?

“Ri?” panggil Mama saat kembali dengan wajah sumringah. Kabar baikkah?

“Hmm,” gumamku sambil tersenyum.

“Minggu depan kamu bisa dioperasi, sudah ada donor yang cocok. Sabar ya,” ujar Mama mengelus lembut kepalaku.

Seperti ada pelangi menghiasi ruangan ini, membayangkan aku akan kembali ke sisi Bulan membuatku bersemangat. Namun, firasatku mengatakan Bintang pasti menggunakan kesempatan yang ku berikan untuk mengambil alih posisiku.

Sebenarnya alasan awalku membiarkan Bintang menjaga Bulan adalah untuk membuktikan apakah benar di hati Bulan hanya ada aku? Aku tentu tidak rela bila ada Bintang yang terselip disana biarpun hanya setitik kecil. Oleh karena perihal sepele begitulah, aku bahkan nekat menyuruh Bintang bersama Bulan. Agar kelak saat aku kembali, Bulan dapat memilih dengan yakin. Siapa diantara kami yang lebih dia sayangi. Aku berharap itu aku.

****
“Apa?!!!!!” aku menjerit tanpa sadar saat mendengar Nesa bercerita malu-malu.

Dia membekap mulutku setelah suara cemprengku membuat Pak Farhan yang mengajar berdeham dengan mata melotot. Pasalnya sekarang kami sedang belajar dengan adem ayem di kelas, dan tiba-tiba Nesa curcol sedikit kepadaku tentang bagaimana Dika dengan sedikit kikuk menyatakan perasaannya kemarin lusa.

“Lo gila ya! Kenapa jerit?” bisik Nesa kesal padaku.

“Sorry, abis ini big news banget,” jawabku sambil terkekeh geli menahan malu dan menahan jantung yang semakin bergemuruh di tatap mata tajam Pak Farhan.

Kami berhenti berbisik-bisik saat Pak Farhan berjalan mendekat ke meja kami. Aku mempunyai indera keenam yang bisa dibilang bertelepati dengan Nesa. Kami saling pandang dan mengangguk untuk mulai berpura-pura.
“Kenapa kamu menjerit, Bulan?” tanya Pak Farhan dengan penekanan yang jelas.

“Tadi Nesa sakit perut Pak, jadi aku kaget dan tanpa sadar menjerit,” jawabku lugas.

Pak Farhan menyipitkan matanya, menyelidik ke arah Nesa sambil berkata, “Kamu yang sakit perut, kenapa Bulan yang menjerit?!”

“Habis dia kaget pas tau aku sakit perut karena datang bulan hari pertama, Pak!” jawab Nesa mantap.

Ucapan Nesa membuat kelas menjadi ribut, ada yang meledek kami dan ada yang terang-terangan menyela Pak Farhan sebagai tukang kepo. Hihihi. Aku melihat wajah Pak Farhan menjadi pias, syukurin kena lo!

Pak Farhan mendelik pada semua murid yang menyebabkannya malu begitu, lalu sambil berdeham dia berkata, “Lanjutkan mencatat!”

Aku dan Nesa hanya cekikikan sepeninggalnya. Dan dengan susah payah aku mengekang perasaan ingin tahu ini sampai bel pulang berbunyi.
“Nes, ceritain yang jelas!” desakku saat kami sedang members-bereskan buku di atas meja. Teman-teman yang lain sudah menghambur pulang ke sarangnya.
“Hm, awalnya Dika hanya minta nomor HP sih sekitar sebulan yang lalu,” mulainya sambil menggelung rambut ke atas. Dia tampak elegan seperti itu.
“Terus, kami smsan gitu. Makin lama berkembang menjadi telponan, terus pas kemarin kan aku sama dia janjian di lapangan pas jam olahraga,” dia menggantung kalimatnya.
Aku gemas melihatnya begitu. Dia tampak membuatku mati penasaran, “Ayo lanjutin!”
“Ya kemarin aku kan telat ketemu dia, jadi dia tanya aku darimana dengan nadanya yang ketus dan dingin itu lho,” sambungnya.
Kami menyusuri koridor kelas dengan langkah yang sejajar, “Terus?”
“Ya aku jadi kesal sama dia, terus aku bilang aja aku dari UKS dengan setengah membentak gitu,” lanjutnya sedikit. Aduh, kenapa banyak di jeda sihhhh.
“Eh aku kira dia bakal lebih galak, ternyata mukanya jadi khawatir gitu. Dia nanya bagian mana yang sakit, aku kan jadi serbasalah,” jeda lagi.
“Terus aku bilang kamu yang sakit, mukanya tampak lega. Eh tapi dia malah megang tanganku bilang kalau sakit segera kasih kabar ke dia,” ujarnya dengan muka yang mulai tersipu-sipu.
Aku curiga pasti sebentar lagi klimaks nih, ternyata benar!
“Aku tanya dengan menantang, emang kamu siapanya aku harus dikabarin. Dia malah jawab dengan lebih menantang gitu, bilang kan aku pacarnya kamu! Aku jadi ga keruan gitu rasanya, tapi ya gitu deh kami jadian pas itu, happy ending ya!” katanya dengan wajah berseri-seri dan mengakhiri dengan wajah kemenangan.
Aku hanya manggut-manggut tanda mengerti. Iya ngerti banget! Rasanya aku jadi ingat momen saat aku dan Matahari jadian, aku ingat sesuatu yang penting!
“Nes, hari ini tanggal berapa?” tanyaku tiba-tiba membuatnya kaget bercampur bingung.
“Tanggal 6 Februari,” jawabnya mengingat-ingat.
Aku menepuk keningku. Aku ingat hari ini adalah tanggal jadian kami, berarti ini genap 6 bulan aku pacaran sama Matahari ya. Nesa terlihat bingung dengan sikapku lalu dia menghentikan langkahnya tiba-tiba dengan menatap lurus ke depan dia tersenyum.
“Kenapa Nes? Kamu ga jadi nganterin aku pulang?” tanyaku heran.
Nesa tidak menjawab dia malah mengisyaratkan agar aku memandang ke depan. Aku menoleh ke depan dan wah adegan apa ini?!
Kak Bintang sedang berdiri di sebelah motor ninja hitamnya sambil melambai ke arah ku. Kak Dita dan Kak Syifa yang berada di sebelahnya hanya terdiam. Mereka terlihat malas dan ragu, sama seperti aku juga sih.
“Halo Bulan sayang,” sapa Kak Bintang santai saat dia menghampiriku, di belakangnya Kak Syifa mengekor dengan wajah tertunduk lesu.
Aku tidak menyahut dan hanya memandangnya dengan wajah mencetut. Merusak hari pentingku saja!
“Lo lupa ya? Kita kan sudah resmi jadian kemarin, jadi Syifa mau kasih selamat nih,” sambungnya sambil merangkulku. Glek!
“Kakak apaan sih!” aku menjauh darinya.
Nesa terlihat kaget dan heran, dia menyoroti ku dengan sinar laser dari matanya. Pasti dia menganggap aku berkhianat dari Matahari, tapi sejurus kemudian Nesa tersenyum geli.
“Wah, lo kok ga bilang sih udah jadian sama Kak Bintang, curang nih!” ujar Nesa lantang yang membuatku menganga. Kok begini?
“Lo belum kasih tau Nesa ya, Lan?” tanya Kak Bintang.
Belum sempat aku menyuarakan aspirasiku, Kak Bintang sudah lebih dulu berseru sambil menjabat tangan Nesa dia berkata “Selamat ya semoga langgeng sama Dika nya, doain juga semoga gue sama Bulan langgeng.”
“Eh, kakak kok tau aku sama Dika…” Nesa menggantung kalimatnya sambil mengangguk mengerti setelah melihat tatapan mata Kak Bintang.
Ku lihat acara tatap-tatapan ini sedikit ga beres. Tapi ini tidak ku hiraukan, yang lebih mengusikku adalah tatapan kosong dari Kak Syifa. Dia memandangku namun tidak ada aura kemarahan disana, hanya ada kesepian dan… hampa.
“Selamat ya! Maaf kemarin itu aku hanya sedikit kaget aja, aku dukung kok kalian!” ujar Kak Syifa sambil tersenyum lemah padaku.
Senyuman jenis ini, senyuman Kak Syifa ini biasanya ditampakkan saat orang sudah menyerah karena lelah berharap. Mungkinkah Kak Syifa sudah merelakan Kak Bintang? Tapi aku kan ga mau di sisinya Kak Bintang!
“Yasudah, kalau begitu biar Bulan pulang sama gue aja. Kami duluan ya, bye semua!” kata Kak Bintang sambil menyeretku pergi darisana.
Aku heran mengapa aku tidak menolak saat tangan Kak Bintang menyeretku, aku tau benar hati ini menolak tapi sikapku malah begini. Saat motor Kak Bintang melaju dengan aku diboncengnya, ku lihat Nesa melambaikan tangan berdada-dadah ria kepadaku. Sementara Kak Syifa berjalan menuju mobil Kak Dita. Ekspresi itu, ekspresi saat seseorang kehilangan.
“Lan, malam nanti aku mau ajak kamu keluar. Siap-siap ya, aku jemput jam 7,” kata Kak Bintang saat aku turun dari motornya di depan pagar rumahku.
Sepanjang perjalanan tadi keheningan sepertinya menjadi hal yang menarik bagi kami. Aku masih kebingungan harus bagaimana bersikap dan bagaimana menyuarakan sejuta unek-unek di hati ini. Jadi kuputuskan hanya diam!
Aku tidak menyahutnya dan ngeloyor masuk saja lantas menutup pagar. Masih dapat ku dengar lirih Kak Bintang mengatakan sampai jumpa. Hati ini tidak menolak hadirnya Kak Bintang, lalu bagaimana dengan Matahari.
*****
Aku sudah bolak-balik dari tadi, kamar-ruang tamu-teras-kamar-ruang tamu-teras dan begitu terus sampai Bunda berdeham menegurku.
“Kamu kenapa, Lan?” tanya Bunda sambil mengecilkan volume televisi dia duduk di sampingku.
“Aku ga apa-apa, Bun” jawabku seadanya.
“Kamu lagi nungguin siapa sih? Daritadi bolak-balik begitu, kayak anak ayam kehilangan induknya saja,” ujar Bunda sambil melirikku sekilas.
Aku bingung jadinya, sebaiknya cerita atau tidak. Ku putuskan untuk cerita semua kemelut dan kegalauan yang ada. Dan Bunda hanya tersenyum kecil tanpa memberi masukan apa-apa. Percuma ding!
“Bunda, gimana dong?” desakku karena Bunda terus mengacuhkanku.
“Ya terserah kamulah, mau pilih yang mana. Toh dua-duanya sama baik, Bunda sih ga bisa nentuin,” jawabnya sambil menyesap teh hangat di cangkir.
Aku memang bingung sendiri. Di satu sisi, hatiku masih tertambat penuh oleh sosok Matahari, pacar ku yang sekarang entah mengapa terkesan tidak perduli itu. Namun di sisi lain, tak bisa dipungkiri Kak Bintang juga menyelip masuk diantara kami. Masa iya istiah kerennya, aku jatuh di dua hati?
“Bunda hanya nyaranin kamu banyak-banyak menilai pakai mata hati. Kan dekat di hati jauh di mata itu untuk Ari, tapi kalau Bintang itu dekat di mata jauh di hati. Jadi mendingan pakai mata hati aja sekalian,” usul Bunda yang notaben nya aku tidak mengerti sama sekali.
Aku masih sedikit jengkel juga dari tadi, belum lagi Ari yang tidak mengangkat telepon dan membalas smsku sejak seminggu ini eh sekarang Kak Bintang udah nyelip-nyelip begini. Tadi aku sangat kesal lantaran ucapan anniversary ku melalui sms tidak berbalas dari Ari. Kemanas sih dia? Apa jangan-jangan sedang melakukan operasi besar ya. Memikirkannya saja bikin hati galau.
“Bun, Ari itu kenapa ya? Aku udah kirimin ratusan sms tetep aja ga dibalas, kalau sehari dua hari masih mending tapi ini udah seminggu,” ocehku membuat Bunda memfokuskan dirinya mendengarku.
“Kan kamu tau dia sedang menjalani perawatan dan pengobatan, mungkin pihak rumah sakit disana tidak mengizinkan pasiennya main handphone,” jawab Bunda menenangkan dan menghiburku.
Aku juga sering berpikir begitu, tapi malah bukan tenang aku jadi makin khawatir. Rasa takut dan kecewa menjadi berlomba-lomba menyesaki dadaku. Aku takut Ari kenapa-napa, tapi kecewa juga karena toh aku tidak tau apa-apa.
Bunyi deru motor membuat Bunda menyentil hidungku sehingga pikiranku yang tadi melayang-layang kembali ke dunia nyata. Bunda membukakan pintu dan menyuruh Kak Bintang duduk di ruang tamu.
“Lho kalian mau pergi ya? Tante ga tau, dikirain mau ngobrol disini saja. Bulan belum siap-siap tuh,” ujar Bunda sambil melirikku dengan tatapan yang jelas sekali bertuliskan cepat-ganti-baju-sana.
Aku mencibir sedikit perlakuan manis Bunda pada Kak Bintang, lalu masuk ke kamar mengganti baju dengan kaos mini mouse dan jins biruku. Jam dinding menunjukkan pukul 7 tepat, ternyata Kak Bintang ini orangnya on time. Kok aku malah memuji dia?
Setelah meminta izin, kami pergi dengan membelah kekelaman malam dengan suasana masih seperti tadi siang. Hening.
Kak Bintang membawaku ke sebuah kafe yang bergaya modern dan romantis. Kami memilih duduk di dekat taman yang ditumbuhi bunga-bunga indah.
Setelah memesan makanan dan minuman, dapat ku rasakan sekarang Kak Bintang menatapku lekat-lekat. Dia seakan menanti aku mengatakan sesuatu. Aku tau maksudnya itu, dia menunggu aku mengatakan tentang permintaan konyolnya itu. Dia kan tau aku masih resmi berpacaran dengan Matahari, tapi kenapa dia meminta jadi pacarku saat Matahari pergi? Hanya sampai kurun waktu itu. Saat Matahari kembali, mungkin hubungan ini juga harus berakhir. Begitukah?
“Kak, mau kakak apa sih? Aku sampai detik ini masih ga ngerti juga,” akhirnya aku membuka suara. Senyuman tulus mengembang di wajahnya.
Haa, aku rindu senyuman itu, raut wajah itu dan seakan terhipnotis aku diam saja saat jemarinya menggenggam jemariku di atas meja.
“Gue, eh aku… Mau di sisi kamu, menjaga kamu dan bersama kamu selama Ari ga ada,” ujarnya dengan nada yang mantap tanpa beban.
Aku menarik tanganku dan berkata, “Hanya sampai saat itu kah?”
Ku lihat ekspresi kaget di wajah Kak Bintang saat mendengar jawabanku. Aku juga bingung kenapa justru kalimat itu yang meluncur keluar diantara banyaknya kalimat yang ada. Aku mengutuk lidahku karena telah membuat Kak Bintang merasa menang.
“Jadi kamu maunya selamanya ya?” tanyanya dengan nada jahil.
“Bukan begitu! Aneh kak, mana ada orang yang mau jadi ban serep begini,” celetukku.
“Aku tahu. Tapi mungkin akulah orang aneh itu, jadi ku mohon biarkan aku berada di sisimu sampai saat itu tiba,” balasnya dengan binar-binar memohon.
“Ini sama aja main serong! Aku ga mau Ari berprasangka buruk tentang ini,” jawabku sambil membuang muka.
“Hmm, kalau begitu aku ga butuh status pacar itu. Aku hanya mau menjadi orang yang terdekat sama kamu, menjadi seseorang yang berarti meski statusnya bukan kekasih. Kalau begini boleh kan?” tanyanya bersisikukuh.
Aku menimbang-nimbang sesaat, pikiran setanku berkata sayang sekali kesempatan ini dilewatkan. Berpacaran dengan Kak Bintang adalah sesuatu yang berharga. Tapi sesuai dengan saran Bunda, nilailah dengan mata hati. Aku mamantapkan menjadikan Kak Bintang sahabatku, persahabatan itu sangat indah bila dinikmati.
“Kita begini saja ya, Kak. Boleh kok Kakak dekat denganku asal bukan berstatus pacar,” dengan nada manis ku ucapkan kalimat itu.
Senyum manis merekah di wajahnya, lalu terlihat sekali kebahagiaan meliputinya. Aku merasa tersanjung dan terharu hanya dengan menjadi orang terdekatku saja Kak Bintang sangat bahagia. Apalagi bila nanti dia jadi kekasihku? Haduuh! Kok aku malah berpikir begitu, ingat Ari!!!
“Makasih atas semuanya,” gumamnya lirih.
Lalu mengalirlah banyak percakapan diantara kami. Aku merasa mulai nyaman berada di dekatnya, sampai-sampai aku merasa malam ini sungguhlah indah untuk dikenang. Ari salahkah aku bila begini? Kamu harus cepat kembali, aku takut hatiku mulai goyah.
******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar