Part
1
“Ah, lelah sekali rasanya! Aku ingin
pulang! Sekarang jugaaaaa!” gerutu ku dalam hati.
Aku dan teman-temanku sudah berdiri di
bawah terik matahari ini selama kurang lebih satu jam, dan hasilnya apa. Para
senior-senior itu hanya memandang kami dari bawah pohon. Mereka seakan menjemur
cucian di lapangan basket sekolah ini. Mungkin inilah yang namanya MOS versi
anak SMA Bhayangkari. Huh!
Lamunanku pun buyar seketika, darah ku berdesir
seakan sebentar lagi ada angin topan yang akan menerbangkanku ke padang pasir
di Afrika. Dan aku akan mati kelaparan dan kehausan. Lihat saja, buktinya
sekarang tenggorokan ku tercekat. Aku tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun.
Sementara aku tau, bebek itu adalah nama yang terpasang di name tagku. Dan itu
berarti aku yang dipanggil!
“Hei, bebek! Kamu yang memakai jam
berwarna merah darah! Apa kamu tidak mendengarku?” tanya seseorang, masih orang
yang sama.
“Iyaaa kak, saya!!” teriakku tiba-tiba
setelah berhasil mengumpulkan sisa-sisa nafas. Ahh, bodoh. Kenapa aku
berteriak. Ini sih namanya mengundang buaya mendekat. Ah rasanya ingin sembunyi
di bawah sepatu sekarang juga.
“Hahaha…” tawanya membuatku menoleh ke
belakang.
Dan coba tebak apa yang ku lihat, bukan
sulap bukan sihir. Di belakangku berdiri tubuh kurus menjulang tinggi dengan
kulit putih dan kening berkeringat. Dia menatapku dengan tampang menahan geli
yang membuncah. Giginya yang putih berderet rapi dan hidungnya yang mancung,
serta rambutnya yang hitam dan agak berantakan membuatku terpesona. Yaa,
terpesona untuk beberapa detik, hanya beberapa detik saja. Karena selanjutnya..
“Hahaha..” dia tertawa lagi, tawa yang
sama seperti tadi.
Dan keningku berkerut, apa ada yang
salah denganku? Kenapa kakak senior ini terus tertawa. Setelah sekian detik
akupun tersadar. Lihatlah, betapa bodohnya aku. Teman-temanku sudah tidak ada
lagi di lapangan ini. Mereka sudah berjalan ke arah kelas masing-masing.
Tepatnya siswa-siswi baru yang tadi berbaris rapi di lapangan ini sudah
beringsut meninggalkan lapangan ini. Kini, hanya ada aku dan kakak senior ini
yang berdiri di tengah lapangan.
“Ehm, maaf. Kamu itu lucu sekali ya.
Tadi kakak memanggilmu hanya ingin menyadarkanmu kalo cuma kamu yang masih
berdiri di lapangan. Tapi kamu malah berteriak seperti tadi,” katanya dengan
seulas senyum geli yang masih mempesona.
“Eh.. anu.. ehm.. iya kak.. maaf ya!”
kataku sambil menunduk menahan malu yang sudah berada di ubun-ubun. Sudah bisa
diterka, pipiku pasti memerah sekarang. Entahlah, tapi yang sekarang berdiri di
hadapanku ini adalah seorang kakak senior laki-laki yang membuatku merasa
seperti bebek betulan. Bebek yang ketahuan sedang grogi berat.
“Yasudah sana ke kelasmu. Cepat kamu
masih punya waktu semenit.” Ucapnya membuat perutku bergejolak menahan mual.
Ehm jangan salah ya. Aku mual bukan
karena mendengar suaranya yang berat itu. Tapi karena kata semenit darinya.
Satu menit, bayangkan saja aku harus berlari ke kelasku dengan hanya waktu satu
menit yang tersisa. Sedangkan kelasku dengan lari split super cepat pun harus
ditempuh selama tiga menit.Karena kelasku berada di pojok utara sekolah yang jauhnya
sekitar 300 meter dari tempatku berdiri.
“Heee! Kok malah bengong lagi sih. Kamu
ga tau ya, kalo yang telat masuk kelas bakal kena hukum,” suara kakak itu
lagi-lagi membuyarkan lamunan tak bergunaku.
“Eh iya kak, makasih!” kataku sambil
berlari dengan kekuatan lari kuda sembrani. Yang kalau kata orang awam sih
begitu. Tapi kalo kata pelatih lari, lariku itu malah kayak keong.
Aduh, ini sih gara-gara tadi pagi salah
makan kayaknya. Jadi otakku lelet banget kerjanya. Uhh, tapi ada berkah juga
ya. Soalnya aku bisa kenal sama kakak tadi. Kakak..
“Aduh! Begooooo! Kok tadi aku ga liat
name tagnya ya. Aku ga tau namanya siapa! Hiks,” gerutuku dalam hati sambil
tetap berlari menuju kelasku yang sudah terlihat dari koridor ini. Kelas 10-5.
*****
Aku tersenyum geli saat ku perhatikan
seorang gadis mungil dengan name tag bertuliskan bebek itu masih diam mematung
di tengah lapangan saat yang lainnya sudah sibuk mencari kelas masing-masing.
Apakah dia sedang melamun? Dengan langkah lebar ku dekati gadis berjam merah
itu dari belakang.
“Hei, kamu! Bebek yang melamun!” kataku
dengan nada agak tinggi agar dia tersadar dari lamunannya.
Tubuhnya terlonjak sedikit tanda dia
sudah tersadar, tapi kok dia masih berdiri disitu tidak bergerak sama sekali
dan juga tidak menyahut. Apakah dia masih melamun?
“Hei, bebek! Kamu yang memakai jam
berwarna merah darah! Apa kamu tidak mendengarku?” kataku sekali lagi berharap
mendapat respon darinya.
“Iyaaa kak, saya!!” jawabnya dengan nada
tinggi. Haa, apakah dia berteriak kepadaku?
Aneh sekali.
Akupun tertawa sepertinya dia memang
melamun tadi. Dia berbalik ke menghadapku sekarang. Dan coba lihat? Wajahnya
terlihat manis sekali dari dekat. Seulas senyum ku berikan padanya, dia salah
tingkah sekarang. Namun itu tidak mengurangi raut manis di wajahnya. Aku tidak
sanggup menahan tawa lagi ketika dia celingak-celinguk seakan baru tersadar
bahwa dia hanya sendirian berdiri di lapangan ini.
“Ehm, maaf. Kamu itu lucu sekali ya.
Tadi kakak memanggilmu hanya ingin menyadarkanmu kalo cuma kamu yang masih
berdiri di lapangan. Tapi kamu malah berteriak seperti tadi,” kataku seraya memasukkan
tangan ke dalam saku.
Dan setelah bercakap-cakap sebentar, aku
bisa melihat dia memang gadis yang suka sekali melamun. Larinya pun sangat
lambat. Aduh, kalau begitu dia pasti akan terlambat masuk ke kelas. Sayang
sekali gadis semanis dia harus dihukum nantinya. Haa, tunggu dulu.. dia berlari
menuju koridor ke arah kelas 10-5. Apa benar dia ke kelas 10-5? Setelah
memastikan dia memang menuju kelas itu akupun bernafas lega. Itu berarti dia
memang akan mendapatkan hukuman. Tentunya dari aku, karena aku adalah
penanggung jawab kelas itu selama MOS ini.
“Tunggu hukumanmu bebek pelamun,” kataku
dalam hati.
*****
Aku berhenti di depan pintu kelas 10-5. Pintu itu
tertutup sangat rapat. Sangat rapat hingga membuat jantungku merasa seperti
akan berhenti jika berani membukanya.
“Drtttt.. Srrtt..” suara pintu terbuka. Dan jrenggg di
depan pintu yang terbuka itu berdiri seorang anak laki-laki yang mengenakan
name tag “Kuda Putih”. Rambut hitamnya dipotong rapi namun seperti tidak
disisir, bajunya awut-awutan. Anak laki-laki itu kurus tinggi dan berkulit
putih pucat, seperti orang sakit? Dia tertegun beberapa saat sebelum akhirnya
berlalu begitu saja tanpa berpaling kepadaku.
Hatiku bergetar sesaat dan selanjutnya seakan bergerak
slow motion, tatapan mataku ini masih terus melihatnya berjalan hingga hilang
berbelok ke ruang yang ku ketahui bertuliskan Ruang Guru. Namun semua gerakan
slow motion itu buyar setelah sebuah penggaris mengetuk-ngetuk keningku dua
kali. Dan setelah menoleh ke depan pintu, ku lihat seorang kakak kelas
perempuan menatapku dengan mata hampir copot.
“Hee, kamu! Sedang apa disini? Cepat masuk kelas!”
semprotnya membuat lututku lemas. Bagaimana tidak, setelah tiga langkah
memasuki kelas, seluruh tatapan mata menatapku. Ada yang heran, ada yang
meledek dan ada juga yang kasihan.
“Maaf kak, saya terla…” ucapanku terhenti saat seorang
kakak senior laki-laki memasuki kelas.
“Eh, lo darimana aja, Zack? Baru nongol jam segini. Eh
iya hampir lupa. Adek-adek kenalin ini Kak Zacki, dia penanggung jawab MOS
untuk kelas ini.” kata kakak senior perempuan itu seraya memperkenalkan kakak
senior laki-laki yang terus menatapku dengan senyum geli. Itu kan kakak yang tadi!
“Hm, Zack. Mumpung lo udah disini. Mending lo kasih
hukuman deh sama ni bebek. Dia telat 10 menit masuk kelas,” kata Kak Risa yang
ku lihat namanya di name tag sambil menunjuk ke arahku.
“Aduh kak, maaf tadi itu…” belum sempat aku membela diri,
Kak Zacki sudah menyeret tanganku hingga ke depan kelas.
“Ayo, sekarang sebagai hukuman kamu harus memperkenalkan
diri dengan menyebutkan nama, alamat, nomor HP, dan nama pacar sebanyak 5 kali.
Ngerti?” cerocos kak Zacki sambil berlalu duduk di kursi tepat berada di
depanku.
“Anu kak…tapi… itu…” aku jadi gugup sendiri. Bukan karena
terpesona oleh Kak Zacki, tapi karena aku belum punya pacar.
“Eh ga pake tapi-tapi! Cepetan bebek!” perintah Kak Zacki
seraya memasukkan tangan ke saku celananya.
“Nama saya Estania. Saya tinggal di Jl. Cempaka Putih No.
1, nomor HP saya 0819-9564-4550. Saya belum punya pacar.” kataku sampai 5 kali
pengulangan.
“Wah, masa sih udah SMA belum punya pacar?” tanya Kak
Risa sambil mencoba memperhatikanku dari ujung rambut sampai ujung sepatu
dengan tatapan menyelidik.
“Iya Kak, belum. First Love aja belum punya kak,” jawabku
jujur dan detik kemudian aku merasa malu sekali dengan apa yang ku ucapkan.
Dan semua yang berada di kelas tertawa seakan meledekku
bahwa cewek yang belum pernah jatuh
cinta seperti aku ini termasuk cewek aneh. Tapi tawa mereka tiba-tiba berhenti
dan tatapan mereka tertuju pada sesosok laki-laki yang sedang berdiri di ambang
pintu sambil membawa setumpuk kertas HVS di tangannya. Dia itu kan yang tadi!
“Oh bawa sini kertasnya Kuda Putih! Taruh di atas meja
ya, kamu boleh duduk di tempatmu lagi,” kata Kak Risa kemudian.
Kuda putih itu tidak menyahut dan berlalu di hadapanku
menaruh kertas itu di atas meja tepat di sampingku. Aku melirik dia sekilas,
dia begitu dingin dan tiba-tiba hatiku kembali bergetar hebat dan kemudian
membeku seakan hawa dinginnya merasukiku. Dia berbalik dan memandang ke arah ku
sekilas tanpa senyum dan berjalan menuju kursi yang diduduki Kak Zacki. Dia
tidak bicara, namun dia masih berdiri disana. Menunggu Kak Zacki beringsut dari
tempatnya.
“Oh, kamu duduk disini ya tadi? Hm, gimana ya seharusnya
kamu itu bilang ‘permisi kak, aku mau duduk’ tapi kok kamu diam aja?” tanya Kak
Zacki sambil memandang datar ke arah dia.
“Oi, Zack. Minggir aja lo dari situ, dia emang begitu
kok. Tadi aja dia cuma ngucapin sepotong nama pas disuruh perkenalan,” kata Kak
Risa yang berhasil membuatku mencelos sesaat. Cakep-cakep kok bisu ya.
“Oh begitu ya? Hm, sebagai hiburan biar kami semua bisa
mendengar suara kamu, gimana kalo kamu berdiri di samping bebek dan perkenalkan
diri kayak perkenalan yang bebek tadi sebanyak 5 kali,” celoteh Kak Zacki
menunjuk ke arah ku.
Aku terkejut sedikit. Dan semakin terkejut saat ku dapati
Kuda Putih itu berjalan mendekatiku dan berdiri di sampingku. Dia membisu di
sampingku sambil menghembus nafas sesaat. Sepertinya dia lelah? Ah mana mungkin
dia kan tidak sedang berlari.
“Nama saya Ramzi,” katanya singkat. Sangat padat dan
jelas.
“Huu, kamu itu bodoh. Coba tanya si bebek bagaimana cara
dia memperkenalkan diri tadi?” sahut sebuah suara perempuan dari kursi pojok.
Semua mata terarah pada gadis itu. Gadis cantik yang
memiliki mata indah itu hanya tersenyum. Namun senyum itu lenyap berganti
sorotan tajam ketika didapatinya Kak Zacki juga menoleh ke arahnya. Tunggu
dulu, apa mungkin dia kenal dengan Kak Zacki? Tapi kenapa tersirat kebencian
dari tatapan matanya? Ah mungkin Cuma perasaan ku saja. Lagi-lagi lamunanku
buyar, saat sebuah siku menyenggol lenganku.
“Tadi bilang apa?” tanya Ramzi tanpa menatapku dengan
suara lirih sepeti suara angin.
“Ha? Bilang apa? Dari tadi aku kan diam” jawabku polos
tak mengerti arah pertanyaannya.
Dia menoleh tajam ke arah ku, dan menatapku langsung ke
manik mata hingga membuat hatiku seperti kesetrum listrik ribuan volt.
“Bodoh!” lirihnya halus sambil tersenyum sesaat
mencairkan tatapan tajamnya. Dan segera memalingkan wajahnya lagi ke depan.
Apa aku bermimpi? Dia tersenyum kepadaku, manis sekali
senyumnya. Dan seperti ada yang terlewatkan dari tatapannya tadi. Entah apa.
“Nama saya Agung Ramzi Bagaskara. Alamat di Jl. Cempaka Sari
No. 5, nomor HP masih dirahasiakan dan tidak punya pacar,” kata Ramzi memecah
keheningan dan sontak menimbulkan tawa lagi.
“Hebat banget dia, dia itu kan cakep abis, kok belum
punya pacar ya. Jangan-jangan dia abnormal lagi. Hii, serem. Ets, tapi kok dia
tau cara perkenalan kayak aku tadi ya? Haa! Apa tadi dia udah dengar dari luar
kelas ya? Malu banget sumpah!” aku sibuk menerka-nerka tentang dia dalam hati.
Sesaat ku lihat Kak Zacki melirik perempuan yang duduk di
pojokan tadi dengan tatapan sedih. Kemudian dia berdiri dan tersenyum sambil
berjalan mendekatiku. Entahlah, firasatku tidak baik mengenai ini.
“Estania,Ramzi. Kalian itu cocok sekali, bagaimana kalau
kalian pacaran saja? Tapi kalo kalian..” ucapnya terpotong saat Kak Risa angkat
bicara. Tuh kan, selamet deh!
“Aduh, Zack! Lo kok malah ngawur gitu. Udah ayo kita
lanjutkan program, jangan main-main terus, sana duduk kalian berdua!” perintah
Kak Risa.
Akupun duduk di bangku kosong tepat di sebelah Ramzi. Dia
melirikku sekilas dan tersenyum lagi. Lagi? Tapi itu hanya sekilas, mungkin aku
salah lihat lagi.
*****
Bel istirahat telah berbunyi setelah mendapat penjelasan
tugas dan jadwal kegiatan MOS untuk 2 hari ke depan, semua siswa berhamburan
keluar untuk menikmati bekal siang mereka. Tinggal aku dan Ramzi yang berada di
kelas ini. Bukan karena aku tidak mau ikut keluar, tapi aku merasa nyaman duduk
di bangku ini sambil menikmati bekal.
“Maaf, apa kamu tidak bawa bekal? Kenapa kamu tidak
makan?” tanyaku kepada Ramzi.
Dia menoleh sekilas dan kembali fokus dengan novel
bacaannya. Aku merasa kasihan dan berpikir untuk membagi bekalku. Dia
menghembuskan nafas berat ketika aku menyodorkan sepotong roti isi kepadanya.
“Ini kamu makan sepotong biar bisa tahan, nanti kita ada
latihan baris berbaris selama 2 jam,” kataku mengingat jadwal MOS hari ini.
Ramzi beringsut dari bangkunya, dia berjalan ke luar
kelas sambil membawa novel tanpa mengambil roti isi yang ku sodorkan. Dia itu
aneh sekali.
*****
Aku mencoba berkonsentrasi dengan novel di tanganku saat
ku dapati Estania terus menatapku. Dia seperti ingin mengatakan sesuatu tapi
dia hanya meremas-remas kotak bekalnya saja. Aku merasa canggung hanya berdua
saja dengan dia.
“Mengapa dia tidak makan di luar saja sih!” rutukku dalam
hati.
“Maaf, apa kamu tidak bawa bekal? Kenapa kamu tidak
makan?” tanya Estania yang membuat hatiku bergetar ketika suara lirihnya
terdengar olehku.
Aku tertegun sejenak dan menoleh ke arahnya, ku dapati
wajah manisnya membuat aku salah tingkah sehingga aku tidak berani lama-lama
menatapnya dan kembali berusaha fokus dengan bacaanku. Meski aku ingin menjawab
pertanyaannya bahwa aku masih sangat kenyang karena tadi pagi sudah makan
sepiring nasi goreng, tapi lidahku kelu.
“Ini kamu makan sepotong biar bisa tahan, nanti kita ada
latihan baris berbaris selama 2 jam,” celoteh Esta seraya menyodorkan sepotong
roti isi.
Kalau begini terus, ku rasa pertahananku akan runtuh.
Estania, gadis ini mampu membuat aku ingin tersenyum dan berharap lagi seperti dulu.
Tapi ini tidak boleh terjadi, aku harus kuat. Tidak ada gunanya berteman.
Dengan nafas berat yang ku hembuskan, aku melangkahkan kaki meninggalkan kelas.
Mencari tempat dimana aku dapat merasa tenang dan melupakan rasa sakit ini.
Rasa sakit karena dia…
*****
Aku melihatnya lagi hari ini, Muhammad Zacki Abraham.
Setelah 2 tahun yang lalu dia meninggalkanku tanpa pesan dan kata perpisahan.
Dia datang lagi. Aku berusaha sekuat tenaga agar tidak berdiri dan memukulnya
seperti waktu dulu. Dia adalah Zacki. Kakak kelas yang pernah aku sayangi.
Kakak kelas yang selalu ada untukku. Dia pergi ketika aku ingin mengatakannya.
Kini, aku melihatnya berdiri di hadapanku. Dia tersenyum kepadaku.
“Hai, Bella! Apa kabar? Lama ga ketemu ya?” tanyanya
kepadaku dengan senyum yang masih semanis yang dulu. Yang membuatku susah lupa.
“Minggir! Aku mau lewat!” gertakku padanya sambil berlalu
meninggalkan koridor ini.
*****
Bella, iya itu Isabella Mutiara. Gadis cantik yang pernah
menjadi adik kelasku. Dia masih secantik dulu dengan mata indahnya. Oh Tuhan,
aku merasa bersalah pernah meninggalkannya dulu. Tapi itu karena kepindahan orangtua
ku ke kota ini. Bukan maksudku meninggalkannya di Bandung. Bella, dia sekarang
berbeda. Dia bukan lagi adik kelas yang pernah mengisi hariku dengan tawanya
dan omelannya agar aku mengajarinya rumus matematika.
Aku merindukan Bella yang dulu. Dia itu seperti adikku
sendiri. Kenapa dia begini sekarang? Apa aku benar-benar telah menyakitinya?
Aku harus memulai kembali seperti dulu.
“Hai, Bella! Apa kabar? Lama ga ketemu ya?” tanyaku
dengan seulas senyum.
“Minggir! Aku mau lewat!” ucapnya ketus tanpa memandang
ke arah ku.
Kenapa hati ini terasa sakit ya saat dia berlalu? Ini
seperti bukan perasaan bersalah lagi. Tapi seperti…
Ahh tidak mungkin! Semua akan kembali seperti dulu jika
waktunya tiba.
*****
#Bahkan ketika dia tersenyum, aku bahagia meski itu hanya
sekilas#
by : gustindlest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar