Part 2 ~Breathless~
Aku
sudah menunggu Ari sekitar satu jam lebih, namun dia tidak muncul juga. Sudah 3
gelas cappuccino ku habiskan di kafe ini. Kami janjian makan siang bareng hari
minggu ini. Aku lelah sekali jadi ku putuskan untuk pulang saja.
Saat
sedang menunggu di halte bus aku melihat ada toko musik di seberang jalan.
Tanpa pikir panjang aku segera mendatangi toko itu. Ternyata di dalamnya banyak
sekali di jual alat musik dan kaset lagu-lagu.
“Wah
kok aku baru tau ya ternyata ada toko musik baru buka disini,” gumamku seraya
terkagum-kagum.
Aku melihat deretan CD milik Westlife dan saat aku menemukan satu CD album barunya aku berteriak kegirangan dalam hati.
Aku
hendak menarik CD itu ketika tangan seseorang juga menariknya dari belakang
rak.
“Maaf
ini aku duluan yang ambil,” kataku sambil mengintip dari celah rak.
Dia
menarik paksa CD itu dan aku menjadi kesal. Segera aku memutari rak dan ingin
mendamprat sosok itu. Namun aku jadi bergidik ngeri saat ku lihat siapa sosok
itu.
“Kak
Bintang!” gumamku.
“Oh
ternyata lo, lo mau CD ini ya? Sorry gue duluan yang ambil!” katanya seraya menuju
kasir.
Dengan
kesal aku menghentak-hentakkan kaki di lantai dan segera keluar dari toko musik
itu. Saat hendak menyebrangi jalan, ada motor ninja berwarna hitam yang ingin
menyerempetku. Aku bertambah kesal saja, moodku jelek banget hari ini.
“Woi
sialan!” umpatku pada pengendara itu. Dia memberhentikan motornya dan aku
segera menghampiri dia.
“Kalo
naik motor tu hati-hati dong, kamu bisa bawa motor ga sih!” omelku padanya.
Aku
tidak bisa melihat dengan jelas wajah cowok itu karena di tutupi oleh helm gelapnya.
Lalu setelah beberapa saat hening, dia membuka helmnya. Dan wawwww! Jreng jreng
jreng! Dia adalah Kak Bintang. Aku segera menunduk malu dan takut.
“Lo
yang jalan harusnya pake mata dong! Jangan motor segede gini mau lo gibas!”
bentaknya padaku.
Dia
menarik tasku dan menyuruhku duduk dengan paksa di jok belakang motornya.
“Loh
kak? Aku mau turun,” dia menahan lenganku dan dia melingkarkan lenganku di
pinggangnya.
“Biar
gue anter lo pulang, daripada lo mati kelindes mobil di jalan,” katanya sambil menjalankan
motor.
Aku
merasa risih dengan posisiku sekarang, Kak Bintang tidak melepaskan lenganku di
pinggangnya. Tangan kirinya terus menahan lenganku.
“Kak,
aku ga perlu pegangan kok,” ungkapku hati-hati.
“Rumah
lo dimana?” tanyanya sedikit keras karena deru motor ini sangat berisik.
“Di
perumahan sriwijaya blok 3 no 5 kak,” jawabku sambil tetap menarik lenganku
agar tidak merangkulnya lebih lama lagi. Kalau merangkul Ari sih aku mau-mau
aja, tapi ini bukan Ari. Dan jantungku berdebar keras sekarang.
“Jangan
lepasin kalo lo mau selamat sampai tujuan,” tegasnya sambil menambah kecepatan
laju motornya secara tiba-tiba hingga membuat aku tersentak kaget. Refleks aku
merangkul pinggangnya lebih erat lagi.
**
Tangan
Bulan masih merangkul pinggangku ketika kami telah berhenti di depan rumahnya.
Aku membiarkannya begitu saja, ada rasa kehangatan menjalar di seluruh tubuhku.
Aku bahagia bisa bersama dengan Bulan. Lagi!
“Woi,
lo betah banget meluk gue! Awas ketagihan loh!” gurauku membuatnya dengan cepat
menarik tangan.
“Ma..
maaf kak.” jawabnya setengah linglung.
Dia
sepertinya tidak biasa naik motor dengan kecepatan tinggi. Kasihan dia!
“Makasih
ya kak,” katanya lalu berbalik.
Aku
melihat jalannya limbung aku punya firasat dia akan roboh sebentar lagi. Dengan
sigap aku turun dari motor hendak memapahnya. Tapi saat dia membuka pagar
rumah, Matahari muncul dari balik pagar. Bulan yang limbung langsung terkulai
ke dekapan Matahari. Sial!
“Kamu
kenapa, Lan?” tanya Matahari dengan nada cemas. Dia menatap tajam ke arahku.
Aku segera memakai helm kembali dan pergi meninggalkan tempat itu.
“Kamu
kenapa sih Lan? Darimana aja?” tanya Ari padaku.
“Kamu
yang kenapa dan darimana aja! Aku udah nungguin kamu satu jam lebih di kafe
tau!” bentakku padanya saat dia sudah memapahku duduk di sofa.
“Lho?
Kamu ga baca sms dari aku ya?”
“Sms
apa? Ponselku baterainya habis tadi.”
“Pantes
aja, tadi aku udah sms kalau ada latian basket dadakan di sekolah jadi aku tadi
ke sekolah. Tapi karena kamu ga bales smsku, aku jadi khawatir lalu balik dan
langsung ke rumahmu. Ga taunya kamu malah,” dia berkata sinis seraya membuang
muka.
“Kamu
kenapa kesal, Ri! Seharusnya aku yang kesal. Kamu udah batalin janji seenaknya
dan buat aku menunggu,” sergahku saat dia menunjukkan tampang kesal.
“Hmm,
maaf ya. Aku emang salah. Tapi aku ga suka kamu dekat-dekat dengan Bintang.”
“Aku
juga ga suka dekat-dekat dengan dia!” teriakku.
Aku
merasa jengkel sekarang, Ari ini keterlaluan. Dia pikir aku sengaja berdekatan
dengan Kak Bintang. Apa dia ga tau kalau aku hanya suka sama dia?! Sebellll.
“Udahlah,
Ri. Aku capek, mending kamu pulang sekarang. Aku juga mau makan dulu,” kataku
pelan.
“Jadi
kamu belum makan? Ya Ampun maafin aku ya, Bulan. Aku benar-benar minta maaf,”
katanya dengan nada dan ekspresi yang menyesal.
Aku
jadi ga tega melihatnya, dia ga salah juga sih. Ini karena ponselku yang kurang
kerjaan pakai habis baterai lagi. Huuh!
“Yaudah,
sampai ketemu nanti malam ya, Ri.”
“Kamu
malam ini ke rumahku lagi?” tanyanya tak percaya.
“Emang
kenapa? Ga suka ya?”
“Bukan
begitu, tapi aku pikir kamu udah berhenti…” dia menutup mulutnya saat ku
pelototi.
“Aku
kemarin-kemarin sibuk jadi ga bisa main di atap, malam ini aku mau liat bintang
lagi,” kataku lugas.
“Untunglah
kamu hanya suka liat bintang di angkasa, bukan bintang yang itu,” katanya
dengan nafas lega. Aku mengerti maksudnya.
“Hahaha,
mana mungkin aku suka liat bintang yang itu!” ungkapku yakin dengan tawa
sumbang.
Tapi
kalau dipikir-pikir, aku juga suka liat Kak Bintang. Apalagi setelah kejadian
tadi, aku merasa jantungku berdebar keras setiap ingat kejadian tadi.
Memalukan!
***
“Eh,
Bulan datang lagi. Tante kira udah bosen main sama Ari,” kata mamanya Ari. Dia
itu baik banget sama aku. Dia udah nganggep aku kayak anaknya, soalnya aku udah
sering main kesini sejak kecil.
“Malam
tante, iya nih sebenarnya Bulan juga bosen main sama Ari terus, tapi ya Bulan
kan ga tega liat Ari jadi galau kalau ga ketemu sama Bulan sehari aja,” candaku
yang langsung membuat Ari mencetut.
“Ari
emang begitu bulan, kemarin-kemarin aja pas kamu ga main ke atap dia ngedumel terus tiap malam sampai
tante dicuekin,” kata Tante Risa dan membuatku melirik Ari.
Benarkah
sebegitunya Ari? Wah, aku seneng banget. Ternyata Ari kangen sama aku karena
jarang main ke atap.
“Jangan
dipikirin ya omongan mama tadi, dia emang over gitu kalo cerita,” ungkap Ari
saat kami sudah berbaring di balkon berbentuk atap.
Kami
bisa melihat bintang secara langsung darisini, udara yang dingin dan suasana
yang sunyi sebenarnya bikin atap ini terlihat romantis. Apalagi ada Ari disini.
Kenapa ya Ari ga pernah menunjukkan tanda-tanda kalau dia menyukai aku?
“Lan,
kamu ngelamun ya?” tanya Ari dan aku menoleh ke arahnya.
Wajahku
dan wajahnya dekat sekali, aku merasa nafasku tercekat. Debar-debar ini sudah
sering aku rasakan sejak dulu, tapi selalu ku tutupi.
Aku
mengalihkan pandangan sambil berkata, “Bintangnya indah ya!”
“Iya,
aku suka setiap kali kamu ngajakin aku liat bintang. Kamu ingat ga kapan
pertama kali kita liat bintang?”
“Waktu
balkon ini udah jadi, waktu itu aku ga sengaja berbaring disini dan liat
angkasa.”
“Iya,
udah hampir 5 tahun kita liat bintang sama-sama.”
“Iya,
makasih ya Ri. Karena kamu ga pernah bosen nemenin aku,” kataku lirih.
“Aku
ga akan pernah bosen kok asal liatnya berdua sama kamu.”
Wah
aku hampir saja melompat kegirangan mendengar itu. Ari malam ini dia romantis
banget sama aku! Wah kesambet apaan ni anak.
“Kamu
kok jadi gombal gitu, Ri!”
“Aku
serius, Lan. Setiap kamu berdoa sama bintang, aku juga berdoa.”
“Ha?
Kamu juga berdoa sama bintang? Kamu doa apaan?” tanyaku penasaran sambil
menatapnya.
Dia
tidak menatapku, dia menatap ke arah langit lalu bergumam, “Agar kita selamanya
bersama.”
Aku
merasa Ari berbeda malam ini, dia sepertinya dirundung kesedihan.
“Kamu
kenapa Ri? Kamu ada masalah ya?”
“Aku
takut kehilangan kamu, Lan.”
Apa?
Ari tadi bilang apa? Aku pasti salah dengar atau mungkin Ari hanya sekedar
membuat lelucon. Aku menenangkan detak jantung ini,mungkin aku akan mati muda
bila jantung ini terus berdegup kencang.
“Ri,
leluconnya ga lucu loh!” kataku sambil mencubit lengannya.
“Hufttt,”
dia menghembuskan nafas berat.
“Aku
ga bercanda, kenapa kamu ga pernah bisa bedain sih, Lan. Aku harus bagaimana
agar kamu tau aku ini menyayangimu, Bulan!” gerutu Ari dalam hati.
“Wah
ada bintang jatuh!” ucapku mengalihkan pembicaraan.
Aku berdoa semoga Bulan bisa bersama
denganku selamanya, dan jangan biarkan dia hilang.
Lalu aku menatap Bulan yang masih
memejamkan mata, dia sangat serius setiap kali berdoa.
“Aku
berdoa semoga Matahari adalah pangeran charming-ku” gumamku dalam hati.
“Ari
aku pulang dulu ya, terimakasih ya udah nemenin aku liatin bintang.”
“Jangan
pernah lupain masa-masa ini ya,” kata Ari sambil merapikan poniku.
Aku
jadi kikuk sekarang, Ari ini bodoh! Ya mana mungkinlah aku lupain masa-masa aku
sama dia. Selamanya kamu akan tetap di hatiku, Ri.
****
Aku
sedang duduk di pinggir lapangan basket sore ini, aku menunggu Ari latian
basket. Setiap dia bermain basket, dia terlihat begitu tampan dan wow
charmingnya eeeh!
Tapi
setiap kali dia latian basket, aku harus rela berdempet-dempetan dengan
beberapa siswi cewek yang heboh banget. Mereka meneriakkan nama Ari dan membuat
aku bête abis!
“Dasar
cewek kegatelan,” rutukku dalam hati.
Ari
sudah selesai latian basket dan kami akan segera pulang. Tapi aku merasa ingin
buang air kecil jadi aku meminta Ari menunggu sebentar.
Setelah
dari toilet aku berjalan melewati ruang musik dan aku mendengar seseorang
sedang bermain gitar sambil menyanyikan lagu ‘I Have A Dream’ milik Westlife
boyband favoriteku.
Aku
mengintip dari celah pintu dan melihat Kak Bintang sedang memainkan gitar dan
bernyanyi dengan penuh perasaan. Dia terlihat sangat…. keren!
Tanpa
sadar aku memperhatikannya dan ikut masuk dalam melodi lagunya, aku berdiri
terus sambil menatapnya. Sampai dia mendongkakkan wajah dan balas menatapku.
“Ngapain
lo ngintipin gue!” teriaknya dari dalam ruangan.
Aduh
aku ketauan, aku segera berjalan terburu-buru darisana karena merasa malu.
Tanpa sengaja aku menabrak Kak Syifa yang entah sejak kapan berdiri disana.
“Lo
jangan deketin Bintang, dia bukan milik lo!” kata Kak Syifa tegas lalu
mendorongku hingga terjatuh ke lantai.
“Siapa
hah!” kata Kak Bintang yang entah sejak kapan sudah ada di belakangku.
“Lo
jangan ganggu Bulan!” teriaknya sambil membantuku berdiri.
“Ayo
kita pergi, Lan.”
Kak
Bintang menggenggam tanganku dan membawaku pergi dari depan Kak Syifa.
Genggamannya erat sekali sehingga membuat aku tidak bisa melepaskan diri. Dia
mengajakku duduk di sebuah taman.
“Maaf
ya, Syifa udah nyakitin lo kan tadi,” katanya sambil menutup muka.
Dia
merasa bersalah dan meminta maaf atas perbuatan yang bukan dia lakukan tetapi
orang lain?
“Kenapa
Kak Syifa begitu?” tanyaku hati-hati.
“Ini
masalah kami dan ga ada hubungannya sama lo kok.”
“Dia
pacar kakak ya?”
“Bukan.
Justru gue ga pernah ada niat mau pacaran sama dia.”
“Ohh,
begitu.” tanggapan singkat dariku membuat Kak Bintang berdecak.
“Ckckck!
Datar banget sih tanggapannya.”
“Heehee,”
aku hanya cengegesan di depannya.
Dan
aku ingat bahwa Ari masih menungguku. Aku berdiri dan berkata kepada Kak
Bintang, “Kak, aku pulang dulu ya. Ari udah nunggu daritadi, bye Kak!”
Bulan
berjalan setengah berlari meninggalkanku. Dia akan pergi ke sisi Matahari.
Kenapa dia tidak tinggal di sisiku?
“Aku
akan mendapatkanmu, Bulan!” hatiku terus berkata demikian.
“Kamu
darimana aja sih! Aku sampe kering nungguin kamu, mana tu cewek-cewek pada
kegatelan lagi,” kata Ari dengan wajah kesal saat aku menghampirinya di
parkiran motor.
“Maaf
tadi ada sedikit gangguan.”
“Ayo
kita pulang!” lagi-lagi Ari menggandeng tanganku. Lalu dia memakai helm
untukku.
Aku
sempat melihat Kak Syifa memandangiku dengan sinis dari parkiran mobil saat aku
dan Ari sudah melaju.
“Pasti
masalah lagi!” aku menepuk kening.
Kak
Bintang! Aku mengingat kejadian tadi. Perasaan seakan terlena oleh petikan
senar gitarnya dan lantunan suaranya membuat hatiku teduh. Aku kenapa ya?
Jangan sampai aku terus kepikiran Kak Bintang. Jangannnnnn!
“Lan,
kita mampir di toko musik dulu ya sebentar,” kata Ari membuyarkan lamunanku.
“Ehh..
iya!”
“Kamu
ngelamun ya tadi?” tanya Ari saat kami tiba di depan toko musik.
“Nggak
kok, hehehe,” jawabku asal.
Aku
terpana saat melihat toko musik yang kami datangi adalah toko musik tempat aku
bertemu dengan Kak Bintang. Tuh kan kepikiran Kak Bintang lagi! Uhhh, bego!
Ari
menggandeng tanganku lalu masuk ke dalam toko, kami menuju deretan CD Westlife.
“Ini
album barunya, kamu belum beli kan?” tanya Ari.
“Belum,
tapi kok..” aku belum menyelesaikan ucapanku saat dia menarikku ke kasir.
“Aku
beliin untuk kamu deh, sebagai ucapan terimakasih karena udah nungguin aku
latian basket. Jangan bosen-bosen ya,” katanya sambil tersenyum manis.
Matahari
kamu baik banget, aku ga bakal bosen deh nungguin kamu latian basket. Aku malah
seneng! Hehehe.
Ari
mengantarkan aku pulang dan saat di depan pagar dia mengecup keningku lembut
sambil berkata, “Take a rest yah.”
Aku
speechless dan dunia terasa berhenti bergerak. Aku hanya bisa mendengar suara
Ari dan melihatnya memasuki pagar rumahnya. Dia melambaikan tangan sambil
menutup pagar. Dan beberapa detik berikutnya aku terduduk lemas di tanah.
Aku
tidak bertenaga lagi untuk bangkit, aku merasa sangat sangat sangat bahagia
sampai bernafas pun rasanya berat sekali. Lalu ku lihat ada anjing liar yang
memelototiku dengan tatapan lauk yang sedap! Aku segera bangkit dan menutup
pagar. Untung tidak jadi kena rabies anjing, kan ga lucu abis dikecup Ari malah
kena kecup Anjing.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar