Total Tayangan Halaman

Rabu, 13 Februari 2013

Part 4 ~Maaf Atas Yang Terlewatkan~



Part 4

Aku rindu Surabaya, aku rindu ayahku dan aku rindu dia Tuhan. Kenapa aku ada disini dan bukan di Surabaya bersama orang-orang yang aku sayangi? Aku ingin kembali.

“Mas, besok kan udah libur semester lo mau nemenin gue ga pergi ke suatu tempat?” aku bertanya pada Dimas yang sedang bermain game.


”Kemana say?” jawabnya asal.
“Mas, aku kangen Surabaya. Kita kesana yuk?” ajakku dan duduk di sampingnya.

Dia diam sejenak lalu berkata, “Esta, lo mau ke makam Ayah lo ya?”

“Iya, Mas. Aku merasa rindu sama dia. Lagipula, aku ga inget apa-apa tentang kejadian di Surabaya dulu jadi kalau aku kesana, siapa tau aku bakal ingat sesuatu,” lirihku.

“Sini, bersandar aja di bahu gue kalo lo merasa lelah. Ingatan lo kan ga ilang semua, buktinya lo masih ingat masa kecil lo dan orang-orang di sekitar lo,” ucap Dimas saat dia mengelus kepalaku di bahunya.

“Tapi kayak ada hal penting yang aku lupain Mas,” aku bersikeras.

“Iya, lo lupa kalo gue udah berkali-kali bilang sayang ke lo dan lo lupa kalo lo pernah suka sama cowok yang namanya Agung itu. Agung! lo ga boleh inget dia, lo hanya buat gue,” aku ingin mengucapkan itu tapi hanya dalam hati saja.

“Jadi kamu mau kan nemenin aku besok Mas?” desakku padanya.

“Iya deh, apa sih yang ga buat Esta-ku tersayang,” jawabnya sambil memegang daguku. Terkadang aku heran juga kenapa Dimas menunjukkan rasa sayang yang aneh untukku. Tapi aku tidak terlalu memikirkan itu.

*****
Sekarang Estania sedang tertidur pulas di ranjang rumah lama kami di Surabaya. Dia terlihat lelah karena menempuh perjalanan jauh.

“Ta, bangun! Gue udah masak nasi sama telur tuh di atas meja, makan dulu ya,” aku mencoba membangunkannya.

Dia tidak bereaksi, dia pasti bermimpi indah sekarang. Apakah aku ada dalam mimpinya? Esta, maaf ya kakak ini jahat. Kakak ga bisa ngerelain kamu pergi, kamu hanya milik kakak. Kalau saja Agung tidak ada, pasti kamu akan menyukai kakak. Iya kan? Kakak senang kamu melupakan semua tentang dia.

-Flash Back-

“Hai Kak Dimas! Kenalin aku Estania, akan menjadi adikmu sebentar lagi. Salam kenal ya!” suara seorang gadis kecil mengusik telingaku saat aku sedang sibuk menenangkan hati.

Sudah sebulan sejak aku patah hati, rasanya sakit sekali. Sampai aku menjadi seperti akan mati muda saja. Lihatlah tubuhku kurus dan aku jadi malas mengerjakan apapun. Bagaimana tidak? Gadis yang ku cintai tiba-tiba saja pergi meninggalkanku tanpa pesan saat hubunganku dengan dia sudah berjalan lebih dari setahun lamanya.

“Keluar lo dari kamar gue!” aku berteriak kepada gadis kecil itu tanpa menatap matanya.

“Mas! Kamu aku panggil Mas aja ya, biar keliatan bagus. Mas Dimas, keren!” dia terus mengoceh sambil mengelilingi kamarku. Aku merasa terganggu.

“Lo budek ya!” bentakku.

“Mas, aku punya telinga untuk mendengarmu. Dan aku punya tangan untuk menghapus airmatamu. Serta aku punya hati untuk menyayangimu. Jadi kurang apalagi coba?” jawabnya membuatku terpana.

Bagaimana bisa gadis sekecil ini berkata seperti itu? Dia itu bisa menenangkan hatiku dan seperti mengobati lukaku. Ada perasaan lega di hati ini saat melihat dia tersenyum.

”Darimana lo belajar gombal begitu?” aku berlagak santai tapi mataku terus menyelidik.

“Mas, Dimas! Kita liat pemandangan dari taman yuk?” dia mengamit lenganku keluar dari balkon menuju taman.

“Wah liat deh Mas, bintangnya itu tinggi banget ya kadar keindahannya,” kata Esta sambil mengapai-gapai tangan ke udara.

“Lo lagi ngapain sih!” tanyaku.

“Aku lagi coba untuk menggapai sesuatu yang indah, Mas. Gapai bintang itu mustahil ya. Setelah kepergian ayah, aku merasa keindahan bukan milikku lagi. Tapi, mudah-mudahan setelah mama nikah sama papamu, aku bisa merasakan keindahan lagi. Sebuah perasaan disayangi dan menyayangi yang lengkap,” celoteh gadis itu seraya merebahkan kepala di pundakku.

Aku berdebar. Seperti rongga hatiku diisi penuh oleh sejuta bintang di langit. Estania, calon adikku ini membuat aku seperti ingin hidup lagi. Dia membuatku seperti ingin menyayangi lagi. Tapi ini tidak boleh terjadi, dia akan menjadi adikku! Aku tidak boleh memiliki perasaan lebih dari seorang kakak.

“Mas, kamu mau ga jadi keindahan itu untuk aku?” tanya Estania yang membuat aku terlonjak.

“Maksudnya?” aku mencoba tenang.

“Kamu harus terus sayang sama aku ya, Mas! Janji!” dia berkata sambil menjulurkan kelingking meminta aku mengamitnya.

“Janji!” aku mengamit kelingkingnya.
Semoga saja perasaan aneh ini hanya perasaan seorang kakak saja. Aku tidak mau bertindak bodoh.

**
Disaat aku sibuk melamunkan masa indah itu, masa dimana aku merasakan perasaan aneh ini. Seseorang menyentuh keningku sehingga aku terkejut.

“Mas, kamu lagi ngapain? Aku kira kamu sakit. Tapi keningmu ga panas, kamu pasti lagi mikir yang jorok-jorok ya?” goda Esta kepadaku. Ternyata dia sudah terbangun.

“Dasar lo! Makan sana, gue mau ke taman ya,” aku mengacak-acak rambutnya sambil berlalu menuju taman.

“Hayo! Kamu kenapa Mas?” tanya Estania saat duduk di sampingku. Dia sudah selesai makan dan menyusulku ke taman.

“Aku inget saat pertama kali kita ngobrol di taman ini, Ta. Kamu inget ga?” aku bertanya.

“Aku…” dia mencoba memijit pelipisnya.

“Udah, udah! Kalo lo emang ga inget, jangan dipaksain ya,” aku mencoba menghiburnya.

“Mas, coba deh certain hal apa aja sih yang kita omongin disini,” pintanya.

“Ya banyak lah, gue males bilang ama lo!” kataku bercanda.

“Dimasssss!” dia memukul bahuku dan menyungutkan mukanya.

“Lo bener pengen tau? Bagian apanya? Bagian lo ngomongin tentang masa kecil lo, bagian lo bilang sayang ke gue, atau bagian gue bilang sayang ke lo?” aku mencoba menekankan kata sayang saat pengucapan terakhir, menunggu reaksinya.

“Emang kamu pernah bilang sayang ke aku ya, Mas? Wah pasti semua cewek pada iri deh sama aku, udah punya Dimas sebagai kakak yang gantengnya sejagad ditambah sayang banget lagi. Eh, ngomong-ngomong kenapa kamu belum punya pacar sih, Mas?” tanyanya membuat aku tersenyum lemas.

Di dalam hati aku berkata, “ini karena hanya kamu yang aku sayangi, Esta.”

“Yee, kok malah diem sih! Udah ah ngantuk nih, yuk kita tidur Mas. Udah larut,” Esta mengamit lenganku dan menyeretku masuk ke dalam rumah.

“Selamat tidur Dimas-ku tersayang, mimpi indah ya. Daaaah” pamitnya sebelum menutup pintu kamar.

Aku berjalan menuju ke kamarku sendiri, rasanya hampir 3 tahun aku tidak pernah datang lagi kesini. Tidak menyentuh semua kenangan yang ada. Aku membuka laci lemari dan mencari-cari sebuah buku.

“Buku ini, buku diary-mu Esta,” gumamku dalam hati.

Aku membuka lembar demi lembar dan saat lembar terakhir aku ingin sekali menyobek-nyobeknya, namun aku hanya bisa menatap lembar itu dengan sangat sedih.

*****
“Aku rindu SMP ini, rindu kenangannya dan rindu dia… Zacky,” kataku dalam hati.

Sudah lama sekali rasanya sejak saat aku dan Zacky sering belajar bersama di bawah pohon ini. Aku mengelus-ngelus ukiran nama B & Z pada batang besar itu.

“Zacky, lo udah ngancurin hati gue, apa yang harus gue lakuin agar rasa sakit disini hilang?” aku terus bergumam sambil duduk di bawah pohon.
Aku mengeluarkan ponsel Blackberry ku dari dalam kantong, segera ku ketik sebuah SMS.

To : Agung Ramzi
Hai, lo lagi apa? Gue galau banget. Lo bisa hibur gue sebentar ga?
From Bella’s

Aku menunggu balasan dari Ramzi, namun hingga satu jam kemudian tidak ada  balasan. Aku menyerah. Ya mungkin, Ramzi hanya menyukai Esta seorang. Zacky juga sering berdekatan dengan Esta, apa mungkin kedua orang ini menyukai Esta?

Aku menghapus bulir airmata dari pipiku, ketika bunyi beep terdengar dari ponselku. Ada satu pesan masuk. “Ramzi!” ucapku lirih.

From : Agung Ramzi
Lo kenapa! Gila ya!

Aku tersenyum geli. Bisa-bisanya dia begitu. Saat ingin membalas SMS Ramzi, ada satu pesan masuk lagi. Betapa terkejutnya aku ketika membacanya.

From : Zacky-ku
Bella-ku, gue rindu SMP. Tau ga gue dimana? Di bawah pohon tempat kita sering belajar bareng. Tapi, kayaknya sangking rindu masa-masa itu. Gue jadi ngigo lo ada disini deh.Lucu ya :’)

Zacky disini? Dimana? Bisa-bisanya dia berbohong!

From : Zacky-ku
Bell, gue tau gue salah. Seandainya waktu bisa diputar, gue bakal balik lagi di hari gue berangkat. Gue bakal ngomong lebih jelas lagi ke lo saat itu. Lo inget ga gue bilang apa? Gue bilang ‘lo ga pernah bisa baca hati gue, karena lo ga bisa baca hati lo” kalo lo bisa nemuin arti dibalik itu, seharusnya kita bisa bertemu sekarang Bell. Disini! Di pohon B & Z ini :>

Aku merasa seperti ada yang tidak beres disini, apakah benar Zacky disini bersamaku? Dia tidak ada dimanapun sejauh mataku memandangnya. Rasa benciku kepada Zacky bertambah besar saja saat ini.

To : Zacky-ku
Lo gila! Gue ga butuh lo sekarang! Lo pembohong!

Karena terlalu focus pada ponsel, aku tidak menyadari bahwa ada seseorang yang melihatku dari balik pohon ini. Seseorang yang sedang aku rindukan sekaligus benci.

“Gue disini bell, di belakang lo. Tapi, lo ga pernah bisa lihat kehadiran gue,” gumam Zacky seraya berjalan pergi dari balik pohon tempat dia bersembunyi tadi.

“Zacky gue benci lo!” teriak Bella keras hingga Zacky merasa tidak sanggup lagi untuk bertemu Bella.
Bella hanya bisa termenung di bawah pohon sementara Zacky terus berjalan dengan langkah gontainya sampai dia yakin, kesempatan itu sudah terlewatkan. Kesempatan dimana dia seharusnya bisa memperbaiki keadaan. Semuanya terlewatkan!

*****
Pagi ini entah mengapa, aku merasakan rindu Bella dan tanpa sadar kaki ini membawaku ke depan gerbang SMP Tunas Harapan. Ya, sekarang aku sedang berlibur ke Bandung. Dan ternyata hatiku pun berlibur ke tempat ini.

“Gue bego kan ya?” aku memukul dadaku sendiri.

Di bawah pohon ini, aku dan Bella sering belajar bersama dulu. Ya itu hanya dulu, sepotong kenangan indah bersama seorang adik kelas. Kenapa sekarang aku merasa ada yang lain memenuhi ruang hatiku? Bella, melihat dia membenciku membuat hatiku sakit seperti tersayat pisau belati. Benarkah aku menyukainya?

“B & Z” ukiran Bella tampak sudah buram di batang pohon itu.

Aku terduduk lelah, tidak berapa lama kemudian ku dengar suara orang sedang mendekat. Aku menengok dari balik pohon, apa aku sudah gila! Sangking rindunya sampai bisa melihat bayangan Bella disini. Tidak dia nyata, dia Bella-ku.

Aku melihat semua yang dilakukan bella dan merasa punya kesempatan untuk memperbaiki semuanya sekarang, namun belum sempat aku menampakkan diri kenyataan pahit membelengguku.

Aku mendengar Bella lirih menyebut nama Ramzi, dia menyukai Ramzi kah?

“Kesempatanku sudah terlewatkan, semua berlalu begitu saja. Aku terjatuh lagi,” gumamku dalam hati.

Aku mengirimkan sebuah SMS untuknya namun tidak ada balasan, lalu ku kirimkan SMS kedua. Ternyata dia membalas smsku, dengan perasaan tak menentu aku membacanya.

From : My Isabella
Lo gila! Gue ga butuh lo sekarang! Lo pembohong!

Aku ingin menangis karena dada ini begitu sesak sampai bernafas pun tak bisa. Aku berjalan gontai meninggalkan sekolah ini samar-samar ku dengar Bella meneriakkan bahwa dia membenciku.

“Maaf ya Bella, semuanya berlalu tanpa bisa ku cegah,” aku tersenyum lelah.

*****
Di lain tempat, Ramzi sedang duduk sambil membaca novelnya. Dia duduk di sebuah perpustakaan SMP. Ya, SMP nya dulu. SMP Tunas Harapan!
Setelah selesai membaca dia hendak pulang, namun kaki itu membawanya menuju sebuah rumah tidak jauh dari sekolah. Rumah lama Estania.

“Lo ga ada disana saat gue menunggu lo seharian, Ta! Lo udah pergi saat gue nunggu lo nepatin janji,” bisikku lirih seraya memandang ke rumah itu.

”Mas, ayo kita pergi!” aku mendengar suara dari dalam rumah itu, seperti suara Esta.

“Iya tunggu,” sahut seseorang, seperti suara laki-laki.

Aku mengintip dari balik pagar, ku lihat Esta sedang memakai sepatunya. Dia tampak bersemangat sekali, dan tak lama muncul seorang laki-laki dari dalam rumah.
“Dia siapa?” setauku Esta tidak punya kakak atau adik laki-laki.

“Ta, lo yakin mau ke sekolahan lo yang dulu?” tanya laki-laki itu.

“Yakin! Aku masih ingat masa SD tapi aku udah lupa masa aku SMP disini, Mas!” kata Estania seraya menggandeng tangan laki-laki itu.

“Itu karena lo cuma sekitar sebulan sekolah disini, Ta! Lo kan pindah setelah kecelakaan itu, ya mungkin aja itu factor dominan lo bisa lupa,” sahut laki-laki itu yakin.

“Pindah? Iya Estania pindah ke Jakarta karena mengambil kelas unggulan disana. Tapi kecelakaan? Apa maksudnya?” aku bingung sendiri mendengar percakapan mereka.

“Udah, ayo kita berangkat sekarang. Siapa tau suasana pagi ini, bisa bikin ingatanku pulih sedikit. Ya sedikit saja, Mas,” jawab Esta seraya tersenyum manis.

“Ingatan pulih? Apa Estania mengalami kecelakaan yang menyebabkan gangguan pada ingatannya?” gumamku. Aku mengikuti mereka dari belakang, mereka berjalan menuju sekolahanku dulu.

“Mas, kamu ga ikut masuk ke dalam?” tanya Esta dan laki-laki itu hanya menggeleng.

“Yaudah, tunggu disini ya. Aku ingin mencari serpihan kenanganku disini,” ucap Esta.

Aku penasaran sekali, sampai tidak sadar aku sudah berdiri di samping laki-laki itu. Dia tersenyum kepadaku seraya mengeluarkan ponselnya.

“Hai, lo alumni SMP ini juga ya?” tanya laki-laki itu padaku.

“Oh, bukan! Cuma seseorang yang gue kenal pernah sekolah disini,” jawabku asal.

“Lo sendiri?” tanyaku.

“Gue lagi nemenin adik gue, dia alumni sekolah ini. Sebenarnya sih gue ogah nemenin dia kesini, mendingan gue ajak dia jalan-jalan kemana gitu yang bisa bikin dia sayang ke gue, huuft” dia berbicara seraya tersenyum masam. Apakah dia bergurau?

“Lo bilang dia adik lo, tapi kok..” ucapanku terpotong.

“Oh bukan apa-apa,” dia menyahut.

Aku melihat Esta sudah berjalan mendekat, aku segera beringsut darisana. Namun tidak pergi menjauh, aku berdiri di balik gardu.

“Tadi kamu ngomong ama siapa, Mas?” tanya Esta.

“Oh seseorang yang lewat aja kok,” jawab laki-laki yang mengaku kakaknya Esta itu.

“Gimana lo bisa inget sesuatu ga?” tanyanya.

“Hm, aku ga bisa ingat apa-apa Mas, tapi tadi pas aku lewat perpustakaan aku kayak kangen tempat itu. Kayaknya perpustakaan adalah tempat aku banyak menghabiskan waktu deh,” jawab Esta dengan menghembuskan nafas berat.

“Yaudah, kalo gitu sekarang kita nge-date yuk? Mau kan?” tanya kakak itu kepada Esta.

“Boleh, jarang-jarang ni aku bisa nge-date bareng kakakku tersayang, hehehe” jawab Esta dan kakak itu hanya tersenyum.

Dari senyumannya, aku seperti melihat ada siratan perasaan yang mendalam. Apakah mungkin dia menyukai Estania? Suka yang bukan dalam istilah kakak-adik? Aku kesal Esta tidak menyadari bahwa kakaknya itu memiliki perasaan yang terlarang padanya.

“Gadis itu bodoh sekali!” rutukku dalam hati.

Mereka pergi ke sebuah restoran di depan sekolah, aku tidak membuntuti mereka lagi sekarang. Ada hal yang harus ku selesaikan terlebih dahulu, hal penting yang mungkin menyebabkan penderitaanku selama ini. Kecelakaan Estania!

*****
“Jadi kecelakaan atas nama Estania itu terjadi 3 tahun yang lalu, Pak?” aku memekik kaget saat mendengar Pak Polisi mengatakan tanggal dan tempat kejadian kecelakaan itu.

Sekarang aku berada di kantor polisi, Pak Polisi ini adalah teman akrab papaku. Jadi, aku bisa bertanya tentang kasus kecelakaan Estania padanya.

“Iya, terimakasih atas informasinya Pak, saya pamit dulu. Nanti saya sampaikan salam bapak pada papa saya,” pamitku pada Pak Handoko.

Aku berjalan gontai keluar darisana, ternyata Estania mengalami kecelakaan pada hari itu. Itulah sebabnya dia tidak datang dan tidak pernah akan datang. Karena dia melupakan janji itu, tepatnya lupa tentang pertemuan kami.

Kebingunganku ini bertambah memuncak ketika ku dapati bahwa ada seorang kakak laki-laki Estania. Sejak kapan Estania punya kakak? Terakhir kali aku membaca biodatanya dia adalah anak tunggal. Apa mungkin itu kakak tirinya dari pernikahan baru Ibunya?

“Lo hutang penjelasan sama gue, Ta!” bisikku sambil tersenyum lega. Dia tidak salah.

Aku kembali ke rumah lamaku, hampir satu minggu aku disini. Di rumah sepi ini hanya ada seorang pembantu dan seorang tukang kebun. Mereka adalah pegawai lama papaku, ya rumah ini sudah hampir tak pernah dikunjungi kedua orangtuaku.

Papa sibuk pergi berbisnis ke luar negeri mengurusi hal-hal yang menurutkan tidak penting itu. Dia hanya pulang satu atau dua kali dalam sebulan. Sepertinya Paris adalah rumah baru baginya. Sedangkan mama yang sudah lama sekali aku tidak melihatnya. Terakhir saat aku berusia 10 tahun. Papa mamaku bercerai saat aku berusia 10 tahun. Sampai sekarang mereka hanya sekedar meneleponku  bila mereka rindu, itupun tidak sering.

“Den Agung, makanannya sudah siap Den,” teriak Bi Minah dari luar kamarku.

“Iya, Bi! Agung turun sebentar lagi,” sahutku.

Semua orang terdekatku memanggilku Agung, ya aku tidak mau teman-teman sekolahku yang tidak penting itu memanggilku Agung.
“Den, aden mbo ya sering-sering atuh kesini, bibi rindu sekali sama Den Agung,” kata Bi Minah setelah aku selesai makan.

“Iya Bi, maaf. Agung sibuk sekolah Bi,”jawabku.

“Aden jangan terlalu sibuk ya, jaga kesehatan. Nanti jatuh sakit lagi, aden masih sering merasa sakit ndak?” tanya Bi Minah.

Sejak kecil aku ini mudah sekali sakit. Aku rentan terhadap dingin dan air hujan. Aku pernah terbaring sakit di rumah sakit selama 1 bulan lamanya hanya karena kehujanan.
Namun sejak menginjak usia 15 tahun, aku tidak pernah jatuh sakit seperti itu lagi.

“Aden kok malah bengong atuh, yasudah bibi ke dapur dulu ya Den,” pamit Bi Minah.

“Bi, mama pernah datang kemari ga?” suaruku serak sekali saat menanyakannya.

“Bibi ga tau pasti kapan, tapi nanti dia akan menemui aden kok,” kata Bi Minah.

“Iya dan bukan sekarang kan?” gumamku dalm hati.

Aku beranjak dari ruang makan menuju sebuah ruangan dimana saat kecil, aku mama dan papa masih bercengkramaria disini. Mereka kemana sekarang? Tidak perdulikah mereka padaku?

*****
#Cinta kadang datang tanpa kita kehendaki dan saat sudah terlewatkan kesempatan itu tak datang lagi#

by : gustindlest

Tidak ada komentar:

Posting Komentar