Part 3
Hari ini cuacanya galau badai banget. Di luar hujan lebat
dan aku lupa bawa payung. Sementara teman-teman yang lain sudah pada nekat
pulang, aku malah masih betah berdiri di pinggiran perpustakaan ini sambil
menunggu hujan reda. Dingin brrrr!
Apalagi dari jendela aku bisa liat Ramzi sedang duduk di
perpustakaan sambil membaca novel. Dia terlihat sangat tampan saat seperti ini,
aku menahan kaki ini agar tidak masuk ke dalam dan menyapanya.
“Nih pake jaket gue kalo lo dingin, Ta!” suara laki-laki terdengar olehku dengan sodoran jaket dari samping saat aku sedang memandang hujan.
Aku menoleh dan mendapati Ramzi sedang berdiri di
sampingku dengan menyodorkan jaketnya yang berwarna hitam. Dia tampak sedang
kedinginan juga, wajahnya memucat. Pucat sekali malah!
“Ehh, ga usah Zi. Kamu pake aja, tuh liat wajah kamu
pucat,” aku mencoba menolak uluran jaketnya.
“Udah, pake! Lo itu bawel banget ya,” dia bersikeras dan
akhirnya dengan memaksa dia menyelimutiku dengan jaketnya dari belakang.
“Haa! Tangan kamu dingin banget, kamu sakit ya?” tanyaku
panik saat tidak sengaja menyentuh tangan Ramzi yang dingin.
“Ramzi, kamu kok diam aja sih? Kamu kenapa?” aku heran
saat ditanyai dia hanya memandangku dengan tatapan yang sulit diartikan. Aku
merasa ada yang terlewatkan disana,
“Estania, kita…” ucapannya terpotong saat dia jatuh
terduduk lemas di lantai dan hal itu membuat aku sangat panik.
*****
Aku melihat Esta sedang berdiri sambil bersandar di
tembok di depan perpustakaan tempat aku membaca novel. Aku ingin sekali
menghampirinya dan memberikan jaketku karena dia tampak kedinginan.
Tapi aku tidak berdaya, aku sangat sangat dan sangat…
lemah.
“Gue ga bisa mentingin diri gue sendiri, dia itu Esta.
Cewek yang gue sayang, gue harus rela berkorban meski dia pernah lupain gue,
gue ga bakal lupa dia barang sedetikpun,” gumamku.
“Nih pake jaket gue kalo lo dingin, Ta!” aku mencoba
mengatur nada bicaraku agar terlihat tidak tampak kedinginan.
“Ehh, ga usah Zi. Kamu pake aja, tuh liat wajah kamu
pucat,” dia menolak sodoran jaketku sambil tersenyum manis. Manis sekali dan
aku merasa hangat.
Aku semakin merasa kedinginan saat kami terus berbicara
di luar seperti ini, aku ingin mengajaknya masuk ke dalam tapi sebelum ucapanku
selesai aku merasa keadaan sudah gelap dan saat tersadar yang ku dapati bukan
Esta.
“Lo udah sadar, Zi?” suara Bella terdengar sesaat setelah
aku membuka mata.
“Hmm,” aku hanya bisa menggumam. Tenggorokanku terasa
kering sekali. Dan Bella sepertinya mengerti, dia memberiku segelas air teh
manis hangat.
“Tadi itu lo pingsan, untung gue lewat depan perpustakaan
jadi gue teriak minta bantuan. Beberapa anak bopong lo ke UKS ini. Lo kenapa?
Sakit ya?” tanya Bella.
“Kenapa Bella? Tadi kan gue sama Esta? Aneh,” aku sibuk
memikirkannya hingga tidak sadar Bella memelukku.
“Zi, maaf ya. Gue takut banget lo kenapa-kenapa. Kalo lo
ada masalah, lo bisa cerita kok ama ague. Gue akan selalu ada buat lo,” Bella
berkata seraya mempererat pelukannya dan itu membuatku mual sekali.
“Lepasin Bel, lo itu murahan banget sih! Sana pergi, gue
ga butuh lo!” aku mencoba bangkit dari ranjang tetapi kakiku terasa tak
bertulang lagi dan akupun terkulai lemas.
“Lo ga boleh kemana-mana, lo belum kuat. Gue ga tau apa
yang terjadi ama lo, tapi gue tau lo pasti sakit parah. Lo sakit apa? Tadi gue
nemuin banyak pil aneh di tas lo,” kata Bella halus tapi seperti menggores
tepat pada lukaku.
“Berani banget lo bongkar tas gue!” aku membentaknya.
“Maaf ya, gue ga sengaja numpahin isi tas lo pas
buru-buru ke sini. Jadi gue tau isi tas lo. Itu…” dia berhenti bicara dan aku tau
kemana arah pembicaraannya.
“Apapun yang ada dalam tas gue, itu bukan urusan lo!” aku
segera berjalan dengan tertatih keluar dari ruang UKS ini. Aku tidak ingin
berlama-lama dengan Bella, dia bisa tau semuanya. Sebenarnya aku ingin
menanyakan kemana Esta, tapi ku urungkan niatku. Pasti Esta pergi setelah tahu bahwa
aku ini lemah dan penyakitan.
“Gue tau lo suka sama Esta, Zi! Gue liat semua gambar lo.
Dan itu bikin gue merasa iri. Kenapa bukan gue? Gue selalu ga bisa dapetin
orang yang gue sayangi,” Bella bergumam dalam hatinya. Dia merasa kalah.
*****
“Woi, lo kenapa ngelamun Ta?” tanya Dimas kepadaku saat
aku duduk di beranda rumah sambil membaca novel.
“Aku lagi baca nih, bukan ngelamun,” elakku karena malu.
“Jelas-jelas lo ngelamun tadi, udah deh jujur aja ama
gue,” dia terus mendesakku.
“Bisa ga sih ngomong ga usah pakai gue-elo! Kamu-aku aja
kayak yang dulu-dulu, Mas!” sergahku sekaligus mengalihkan pembicaraan.
Tadinya aku memang sibuk melamunkan Ramzi yang tiba-tiba
menghilang saat aku sedang mencari bantuan untukknya, dia lupa membawa
novelnya.
Dan sepertinya novel itu tidak asing untukku, aku pernah
memegangnya entah dimana.
“Ha?” dimas tercengang sesaat sebelum akhirnya dia
cekikikan sendiri.
“Dasar gila!” aku beringsut meninggalkannya dan masuk ke
kamar.
“Esta, dari dulu sampe sekarang selalu sok formal gitu.
Dia berubah setelah kecelakaan itu,” gumam Dimas dalam hati. Dia ingin sekali
menceritakan kejadian 3 tahun yang lalu namun tidak ada gunanya lagi, buktinya
Esta tidak pernah bertanya-tanya apa yang dia lupakan dulu.
“Esta, lo harus belajar gaul dong! Ini Jakarta bukan
Surabaya! Lupain aja cara ngomong lo di Surabaya, udah ga mode lagi” teriak
Dimas seraya maish cekikikan.
“Aku seperti melupakan sesuatu yang harusnya aku ingat,
Mas. Kamu tau apa itu tapi kamu ga pernah cerita sama aku,” gerutu ku dalam
hati.
Estania tahu dia pernah mengalami kecelakaan sebelum
kepindahannya ke Jakarta, namun dia tidak terluka cukup parah. Hanya saja
ingatannya terganggu sehingga ada beberapa bagian kenangan yang hilang. Diantaranya
kenangan bagaimana Dimas memaksa membawanya pergi sampai kecelakaan itu
menyadarkan Dimas bahwa kebahagiaan Esta lebih penting.
*****
“Hai, Zi. Gimana kabarmu?” tanya Esta kepadaku saat dia
memasuki pelataran parkir untuk memarkir sepedanya. Esta memang sederhana, dia
tidak malu ke sekolah dengan mengendarai sepeda kecilnya.
“Sok baik lo!” aku menyahutnya dengan perasaan kesal,
bagaimana bisa dia bertanya seperti ini setelah kemaren meninggalkanku begitu
saja saat sedang sakit.
“Kemarin, kamu kemana? Aku ga bisa tenang saat kamu,” aku
segera meninggalkannya seraya menyampirkan tasku dan berlalu tanpa mendengar
kelanjutan kalimatnya.
“Woi, lo udah mendingan sekarang?” Bella langsung
menghampiriku setelah dia memarkirkan mobilnya dan tergesa-gesa menyamakan
langkah denganku.
“Lo itu berisik tau! Sana!” aku mengusirnya, di dekat
Bella membuatku seperti teman yang baik. Aku benci itu!
“Lo kenapa sih? Oh tadi gue liat lo ngobrol sama Esta ya,
dia pasti khawatir kemaren tiba-tiba lo ngilang aja. Padahal dia udah hampir
nangis liat lo pingsan, dia care banget ya,” kata Bella panjang lebar dan
sukses membuatku terenyuh.
“Tadi lo bilang Esta khawatir?” tanyaku hati-hati.
“Ya iyalah, kemaren pas lo udah balik duluan, gue liat
dia masih termenung di depan perpustakaan sambil megang novel yang biasa lo
baca itu,” Bella tampak tak sadar perubahan air mukaku yang memucat.
“Ramzi, kalo lo terus acuhin gue kayak gini. Gue malah
makin penasaran ama lo,” sambung Bella yang membuatku bingung.
“Lo gila ya!” aku sudah tidak tahan mendengar ocehannya
lagi.
“Zi, lo itu misterius banget buat gue! Lo selalu bikin
gue ngerasa ga ada, padahal kalo cowok lain udah pasti ngejer-ngejer gue. Tapi
lo? Lo mirip orang itu,” ucapan Bella terpotong, dia membekap mulutnya sendiri.
“Isabella Mutira is so freak girl!” gumamku dalam hati.
Dia tampak aneh sendiri sekarang.
“Oh ya, jangan lupa ke rumah gue ya sore ini, kita
kerjain tugas fisika kemaren. Ntar gue bilangin Esta deh,” dia berkata seraya
berbelok menuju toilet dan aku tampak acuh.
“Esta, dia khawatir. Benarkah?” aku memikirkan perkataan
Bella. Oh iya, dia mengambil novelku. Akankah dia mengingat diriku setelah
melihat novel itu? Aku ini Agung, orang yang pernah dijanjikannya untuk bertemu
lagi.
“Pertemuan kami di perpustakaan kemarin adalah hal nyata
dari janjinya meskipun terlambat 3 tahun,” aku menghembuskan nafas berat saat
mengingat kembali ucapannya tempo dulu saat dia ingin bertemu lagi denganku di
perpustakaan SMP.
*****
“Esta, sore nanti lo ada di rumah ga?” Kak Zacki
tiba-tiba menghampiriku setelah bel pulang baru saja berbunyi. Hebat sekali dia
bisa mencapai kelasku dalam waktu 2 menit.
“Emang kenapa kak?” aku mencoba tenang, meskipun hatiku
berdebar-debar.
Bukan karena Kak Zacki ada di dekatku, namun karena Ramzi
terus memandangi kami dengan tatapan yang sukar diartikan. Seperti marah,
kecewa atau benci?
“Gue mau minjem buku-buku lo, gue kan mau persiapan
ujian. Sedangkan buku-buku kelas 10 gue udah pada hilang, jadi gue boleh minjem
ga nih?” tanyanya.
“Boleh, tapi kakak kan ga tau rumahku dimana,” ucapanku
membuat Kak Zacki berpikir sejenak.
“Iya ya, oke deh kalo gitu, gue anterin aja lo balik,
gimana?” pertanyaannya kali ini sukses membuat Ramzi beringsut meninggalkan
bangkunya dan berjalan pulang.
“Ha? Aku naik sepeda kak, jadi ya ga bisa,” jawabku
sambil melirik kepergian Ramzi.
“Gue ikutin lo pulang deh,” Kak Zacki ini aduuuh bikin
aku jadi galau.
“Iya deh, Kak!” aku segera berjalan keluar diikuti Kak
Zacki.
“Esta, lo ga jadi ke rumah gue ya?” tanya Bella yang
tiba-tiba nongol di samping aku dan Kak Zacki. Dia kenapa nih?
“Emang kenapa?” pertanyaan ku membuat dia tampak
tersenyum kecut.
“Lo lupa ya, kita kan mau bikin tugas kelompok. Oh jadi
Kak Zacki udah lebih penting ni, sampe lo lupa tugas? Ya udah gue bikin berdua
bareng Ramzi aja deh,” Bella seperti merepet tak jelas lalu pergi dengan
tergesa-gesa.
“Ada tugas kelompok ya?” tanya Kak Zacki dan aku
mengangguk lesu. Iya, tugas! Aku lupa pantes aja Ramzi seperti terkesan jengkel
tadi. Bodoh!
“Jadi gimana?” Kak Zacki seperti merasa bersalah
sekarang.
“Gapapa kak, ntar sore aja aku ke rumah Bella bantuin
mereka ngerjain tugas, soalnya yang bagian punyaku udah aku kerjain tadi,”
celotehku sedikit lemah.
“Oh begitu,” sahutnya.
“Iya begitu kak, begitu bodoh aku ini. Sudah mengira
Ramzi cemburu atau apa, ternyata hanya masalah tugas kelompok dia menatap kami
aneh tadi,” sungut Esta dalam hatinya.
*****
#Sadarilah arti sebuah tatapan, karena tebakan pertama
arti tatapan itu adalah yang paling nyata#
by : gustindlest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar