Total Tayangan Halaman

Rabu, 13 Februari 2013

Part 3 ~Maaf Atas Yang Terlewatkan~



Part 3

Hari ini cuacanya galau badai banget. Di luar hujan lebat dan aku lupa bawa payung. Sementara teman-teman yang lain sudah pada nekat pulang, aku malah masih betah berdiri di pinggiran perpustakaan ini sambil menunggu hujan reda. Dingin brrrr!
Apalagi dari jendela aku bisa liat Ramzi sedang duduk di perpustakaan sambil membaca novel. Dia terlihat sangat tampan saat seperti ini, aku menahan kaki ini agar tidak masuk ke dalam dan menyapanya.


“Nih pake jaket gue kalo lo dingin, Ta!” suara laki-laki terdengar olehku dengan sodoran jaket dari samping saat aku sedang memandang hujan.

Aku menoleh dan mendapati Ramzi sedang berdiri di sampingku dengan menyodorkan jaketnya yang berwarna hitam. Dia tampak sedang kedinginan juga, wajahnya memucat. Pucat sekali malah!

“Ehh, ga usah Zi. Kamu pake aja, tuh liat wajah kamu pucat,” aku mencoba menolak uluran jaketnya.

“Udah, pake! Lo itu bawel banget ya,” dia bersikeras dan akhirnya dengan memaksa dia menyelimutiku dengan jaketnya dari belakang.

“Haa! Tangan kamu dingin banget, kamu sakit ya?” tanyaku panik saat tidak sengaja menyentuh tangan Ramzi yang dingin.
“Ramzi, kamu kok diam aja sih? Kamu kenapa?” aku heran saat ditanyai dia hanya memandangku dengan tatapan yang sulit diartikan. Aku merasa ada yang terlewatkan disana,

“Estania, kita…” ucapannya terpotong saat dia jatuh terduduk lemas di lantai dan hal itu membuat aku sangat panik.

*****
Aku melihat Esta sedang berdiri sambil bersandar di tembok di depan perpustakaan tempat aku membaca novel. Aku ingin sekali menghampirinya dan memberikan jaketku karena dia tampak kedinginan.

Tapi aku tidak berdaya, aku sangat sangat dan sangat… lemah.

“Gue ga bisa mentingin diri gue sendiri, dia itu Esta. Cewek yang gue sayang, gue harus rela berkorban meski dia pernah lupain gue, gue ga bakal lupa dia barang sedetikpun,” gumamku.

“Nih pake jaket gue kalo lo dingin, Ta!” aku mencoba mengatur nada bicaraku agar terlihat tidak tampak kedinginan.

“Ehh, ga usah Zi. Kamu pake aja, tuh liat wajah kamu pucat,” dia menolak sodoran jaketku sambil tersenyum manis. Manis sekali dan aku merasa hangat.

Aku semakin merasa kedinginan saat kami terus berbicara di luar seperti ini, aku ingin mengajaknya masuk ke dalam tapi sebelum ucapanku selesai aku merasa keadaan sudah gelap dan saat tersadar yang ku dapati bukan Esta.

“Lo udah sadar, Zi?” suara Bella terdengar sesaat setelah aku membuka mata.

“Hmm,” aku hanya bisa menggumam. Tenggorokanku terasa kering sekali. Dan Bella sepertinya mengerti, dia memberiku segelas air teh manis hangat.

“Tadi itu lo pingsan, untung gue lewat depan perpustakaan jadi gue teriak minta bantuan. Beberapa anak bopong lo ke UKS ini. Lo kenapa? Sakit ya?” tanya Bella.

“Kenapa Bella? Tadi kan gue sama Esta? Aneh,” aku sibuk memikirkannya hingga tidak sadar Bella memelukku.

“Zi, maaf ya. Gue takut banget lo kenapa-kenapa. Kalo lo ada masalah, lo bisa cerita kok ama ague. Gue akan selalu ada buat lo,” Bella berkata seraya mempererat pelukannya dan itu membuatku mual sekali.

“Lepasin Bel, lo itu murahan banget sih! Sana pergi, gue ga butuh lo!” aku mencoba bangkit dari ranjang tetapi kakiku terasa tak bertulang lagi dan akupun terkulai lemas.

“Lo ga boleh kemana-mana, lo belum kuat. Gue ga tau apa yang terjadi ama lo, tapi gue tau lo pasti sakit parah. Lo sakit apa? Tadi gue nemuin banyak pil aneh di tas lo,” kata Bella halus tapi seperti menggores tepat pada lukaku.

“Berani banget lo bongkar tas gue!” aku membentaknya.

“Maaf ya, gue ga sengaja numpahin isi tas lo pas buru-buru ke sini. Jadi gue tau isi tas lo. Itu…” dia berhenti bicara dan aku tau kemana arah pembicaraannya.

“Apapun yang ada dalam tas gue, itu bukan urusan lo!” aku segera berjalan dengan tertatih keluar dari ruang UKS ini. Aku tidak ingin berlama-lama dengan Bella, dia bisa tau semuanya. Sebenarnya aku ingin menanyakan kemana Esta, tapi ku urungkan niatku. Pasti Esta pergi setelah tahu bahwa aku ini lemah dan penyakitan.

“Gue tau lo suka sama Esta, Zi! Gue liat semua gambar lo. Dan itu bikin gue merasa iri. Kenapa bukan gue? Gue selalu ga bisa dapetin orang yang gue sayangi,” Bella bergumam dalam hatinya. Dia merasa kalah.

*****
“Woi, lo kenapa ngelamun Ta?” tanya Dimas kepadaku saat aku duduk di beranda rumah sambil membaca novel.

“Aku lagi baca nih, bukan ngelamun,” elakku karena malu.

“Jelas-jelas lo ngelamun tadi, udah deh jujur aja ama gue,” dia terus mendesakku.

“Bisa ga sih ngomong ga usah pakai gue-elo! Kamu-aku aja kayak yang dulu-dulu, Mas!” sergahku sekaligus mengalihkan pembicaraan.

Tadinya aku memang sibuk melamunkan Ramzi yang tiba-tiba menghilang saat aku sedang mencari bantuan untukknya, dia lupa membawa novelnya.
Dan sepertinya novel itu tidak asing untukku, aku pernah memegangnya entah dimana.

“Ha?” dimas tercengang sesaat sebelum akhirnya dia cekikikan sendiri.

“Dasar gila!” aku beringsut meninggalkannya dan masuk ke kamar.

“Esta, dari dulu sampe sekarang selalu sok formal gitu. Dia berubah setelah kecelakaan itu,” gumam Dimas dalam hati. Dia ingin sekali menceritakan kejadian 3 tahun yang lalu namun tidak ada gunanya lagi, buktinya Esta tidak pernah bertanya-tanya apa yang dia lupakan dulu.

“Esta, lo harus belajar gaul dong! Ini Jakarta bukan Surabaya! Lupain aja cara ngomong lo di Surabaya, udah ga mode lagi” teriak Dimas seraya maish cekikikan.

“Aku seperti melupakan sesuatu yang harusnya aku ingat, Mas. Kamu tau apa itu tapi kamu ga pernah cerita sama aku,” gerutu ku dalam hati.

Estania tahu dia pernah mengalami kecelakaan sebelum kepindahannya ke Jakarta, namun dia tidak terluka cukup parah. Hanya saja ingatannya terganggu sehingga ada beberapa bagian kenangan yang hilang. Diantaranya kenangan bagaimana Dimas memaksa membawanya pergi sampai kecelakaan itu menyadarkan Dimas bahwa kebahagiaan Esta lebih penting.

*****

“Hai, Zi. Gimana kabarmu?” tanya Esta kepadaku saat dia memasuki pelataran parkir untuk memarkir sepedanya. Esta memang sederhana, dia tidak malu ke sekolah dengan mengendarai sepeda kecilnya.

“Sok baik lo!” aku menyahutnya dengan perasaan kesal, bagaimana bisa dia bertanya seperti ini setelah kemaren meninggalkanku begitu saja saat sedang sakit.

“Kemarin, kamu kemana? Aku ga bisa tenang saat kamu,” aku segera meninggalkannya seraya menyampirkan tasku dan berlalu tanpa mendengar kelanjutan kalimatnya.

“Woi, lo udah mendingan sekarang?” Bella langsung menghampiriku setelah dia memarkirkan mobilnya dan tergesa-gesa menyamakan langkah denganku.

“Lo itu berisik tau! Sana!” aku mengusirnya, di dekat Bella membuatku seperti teman yang baik. Aku benci itu!

“Lo kenapa sih? Oh tadi gue liat lo ngobrol sama Esta ya, dia pasti khawatir kemaren tiba-tiba lo ngilang aja. Padahal dia udah hampir nangis liat lo pingsan, dia care banget ya,” kata Bella panjang lebar dan sukses membuatku terenyuh.

“Tadi lo bilang Esta khawatir?” tanyaku hati-hati.

“Ya iyalah, kemaren pas lo udah balik duluan, gue liat dia masih termenung di depan perpustakaan sambil megang novel yang biasa lo baca itu,” Bella tampak tak sadar perubahan air mukaku yang memucat.

“Ramzi, kalo lo terus acuhin gue kayak gini. Gue malah makin penasaran ama lo,” sambung Bella yang membuatku bingung.

“Lo gila ya!” aku sudah tidak tahan mendengar ocehannya lagi.

“Zi, lo itu misterius banget buat gue! Lo selalu bikin gue ngerasa ga ada, padahal kalo cowok lain udah pasti ngejer-ngejer gue. Tapi lo? Lo mirip orang itu,” ucapan Bella terpotong, dia membekap mulutnya sendiri.

“Isabella Mutira is so freak girl!” gumamku dalam hati. Dia tampak aneh sendiri sekarang.

“Oh ya, jangan lupa ke rumah gue ya sore ini, kita kerjain tugas fisika kemaren. Ntar gue bilangin Esta deh,” dia berkata seraya berbelok menuju toilet dan aku tampak acuh.

“Esta, dia khawatir. Benarkah?” aku memikirkan perkataan Bella. Oh iya, dia mengambil novelku. Akankah dia mengingat diriku setelah melihat novel itu? Aku ini Agung, orang yang pernah dijanjikannya untuk bertemu lagi.

“Pertemuan kami di perpustakaan kemarin adalah hal nyata dari janjinya meskipun terlambat 3 tahun,” aku menghembuskan nafas berat saat mengingat kembali ucapannya tempo dulu saat dia ingin bertemu lagi denganku di perpustakaan SMP.

*****
“Esta, sore nanti lo ada di rumah ga?” Kak Zacki tiba-tiba menghampiriku setelah bel pulang baru saja berbunyi. Hebat sekali dia bisa mencapai kelasku dalam waktu 2 menit.

“Emang kenapa kak?” aku mencoba tenang, meskipun hatiku berdebar-debar.

Bukan karena Kak Zacki ada di dekatku, namun karena Ramzi terus memandangi kami dengan tatapan yang sukar diartikan. Seperti marah, kecewa atau benci?

“Gue mau minjem buku-buku lo, gue kan mau persiapan ujian. Sedangkan buku-buku kelas 10 gue udah pada hilang, jadi gue boleh minjem ga nih?” tanyanya.

“Boleh, tapi kakak kan ga tau rumahku dimana,” ucapanku membuat Kak Zacki berpikir sejenak.

“Iya ya, oke deh kalo gitu, gue anterin aja lo balik, gimana?” pertanyaannya kali ini sukses membuat Ramzi beringsut meninggalkan bangkunya dan berjalan pulang.

“Ha? Aku naik sepeda kak, jadi ya ga bisa,” jawabku sambil melirik kepergian Ramzi.

“Gue ikutin lo pulang deh,” Kak Zacki ini aduuuh bikin aku jadi galau.

“Iya deh, Kak!” aku segera berjalan keluar diikuti Kak Zacki.

“Esta, lo ga jadi ke rumah gue ya?” tanya Bella yang tiba-tiba nongol di samping aku dan Kak Zacki. Dia kenapa nih?

“Emang kenapa?” pertanyaan ku membuat dia tampak tersenyum kecut.

“Lo lupa ya, kita kan mau bikin tugas kelompok. Oh jadi Kak Zacki udah lebih penting ni, sampe lo lupa tugas? Ya udah gue bikin berdua bareng Ramzi aja deh,” Bella seperti merepet tak jelas lalu pergi dengan tergesa-gesa.

“Ada tugas kelompok ya?” tanya Kak Zacki dan aku mengangguk lesu. Iya, tugas! Aku lupa pantes aja Ramzi seperti terkesan jengkel tadi. Bodoh!

“Jadi gimana?” Kak Zacki seperti merasa bersalah sekarang.

“Gapapa kak, ntar sore aja aku ke rumah Bella bantuin mereka ngerjain tugas, soalnya yang bagian punyaku udah aku kerjain tadi,” celotehku sedikit lemah.

“Oh begitu,” sahutnya.

“Iya begitu kak, begitu bodoh aku ini. Sudah mengira Ramzi cemburu atau apa, ternyata hanya masalah tugas kelompok dia menatap kami aneh tadi,” sungut Esta dalam hatinya.

*****
#Sadarilah arti sebuah tatapan, karena tebakan pertama arti tatapan itu adalah yang paling nyata#

by : gustindlest

Tidak ada komentar:

Posting Komentar