Total Tayangan Halaman

Jumat, 15 Februari 2013

Renkarnasi Matahari, Bintang, dan Bulan * Part 4*



Part 4 ~Run Away~

Sudah hampir seminggu aku menghindar dari Kak Bintang, setiap melihat dia aku pasti bersembunyi atau melarikan diri. Sebenarnya aku takut Ari marah lagi kalau tau aku masih berdekatan dengan Kak Bintang.

Tapi pagi ini, aku sepertinya tidak bisa lagi melarikan diri. Sekarang Kak Bintang ada di depan rumahku, hari ini hari Minggu dan apa keperluan dia datang ke rumahku?

“Hai, Bulan!” sapanya saat aku membuka pagar.

“Kakak ada perlu apa ya?” tanyaku sambil celingak-celinguk  siapa tau Ari melihat. Syukurlah dia tidak ada.


“Lo kenapa? Cari Ari ya? Takut ketahuan?”

“Haaa? Ngg.. bukan kok Kak, ayo masuk dulu!” kataku sambil menarik jaketnya.

“Sebenarnya gue mau ngajak lo jalan-jalan hari ini, lo mau kan?”

“Hm, maaf ya Kak. Aku ga bisa soalnya…” aku melihat raut kekecewaan di wajahnya.

“Bener ga bisa ya? Padahal hari ini hari terakhir,” katanya sambil melihat dua lembar tiket di tangan.

“Emangnya kakak mau kemana?” tanyaku penasaran.

“Mau ngajak kamu ke tempat special sih, tapi yaudah lah kamu juga lagi sibuk kan. Aku pergi dulu ya,” ucapnya sambil tersenyum kecewa padaku.

“Aku mau ikut sih kak, tapi…” aku tidak tega melihat dia berjalan terseok-seok begitu.

“Lo mau ikut? Beneran?”

“Kakak jangan ngebut ya naik motornya,” ungkapku malu-malu.

“Oh kamu ga mau meluk aku lagi ya?” tanyanya mengena di hatiku.

“Eh, itu…” aku malu banget Kak Bintang menyindir soal rangkulan itu. Mukaku sudah seperti kepiting rebus sekarang.
“Hahaha, yaudah nanti aku pelanin deh!” ucapnya sambil mengacak-acak rambutku.

Aku menyuruhnya menunggu sebentar lalu aku mandi dengan segera dan berganti pakaian. Aku merasa aneh sendiri kenapa bisa –bisa nya aku menerima tawaran pergi bersama Kak Bintang ya? Padahal aku sudah berhasil menghindarinya.

“Wah, Bulan bersinar banget ya pagi ini. Mau kemana ni?” tanya Bunda padaku.

“Mau pergi dulu, Bun. Sama Kak Bintang,” jawabku ragu.

“Oh cowok yang di depan itu ya, dia sering loh lewat depan rumah kita setiap pagi setelah kamu sama Ari berangkat ke sekolah,” kata Bunda dan otomatis dong aku shock. Ngapain coba dia begitu?

“Masa sih Bun?”

“Iyaaa… Malahan Bunda sering disapa sama dia kalau kebetulan Bunda lagi beli sayur pagi-pagi, dia anak yang baik. Ga jauh beda lah sama Ari, kamu pasti bingung pilih yang mana,” sindir Bunda dengan wajah meledek.

“Bunda apaan sih!” aku segera memakai sepatu dan berjalan ke luar.

Ku lihat Kak Bintang masih duduk dengan santai di teras, dia bersenandung kecil sambil mengetik sesuatu di ponselnya. Lalu dia tersenyum saat aku datang.

“Wah, gue ga tau lo bakal dandan kalo pergi sama gue,” katanya sambil mengerling.

“Siapa juga yang dandan! Huuu.”

“Itu ada lipbloss nya di bibir, fresh!” katanya lalu mengelap sedikit lipbloss ku yang belepotan di tepi bibir bawah. Aku ga bisa ngejelasinnya, tapi yang sekarang terjadi aku gugup, malu, senang, dan wah cetarrrr deh charmingnya Kak Bintang ini.

“Lo kok ngelamun sih? Ayo berangkat!” ajaknya lalu menggandeng tanganku.

“Lo bener ga mau pegangan di pingangg gue?” tanyanya sambil memutar kunci motor.

“Kan kakak pelan-pelan.”

“Iya pelan dikit dari kemaren,” dan bzzz dia melaju dengan tiba-tiba dan semakin mempercepat laju motornya. Aku refleks melingkarkan lagi tanganku di pinggangnya.
Lalu ku rasa hatiku berdebar-debar bukan karena takut tapi karena hal lain.

Ya Ampun aku kenapa nih, kok bisa begini? Ini udah ga beres. Kalau Ari sih wajar aku deg-degan. Tapi ini kan bukan Ari!!! Aku mengusir jauh-jauh perasaan aneh ini. Pokoknya hati ini cuma milik Ari.

**

“Lho Kak, ini kan…” aku terkagum-kagum melihat gedung konser musik ter-wah banget.

Tadinya aku sempat kesal karena aku di bawa muter-muter ga jelas di dufan sampe sore. Aku udah mau pulang naik bus kalau Kak Bintang ga berhasil bujuk aku untuk ikut dia.

“Di dalem ada konser musik kecil-kecilan, tiketnya limited edition. Untung aku ikut berpartisipasi jadi di kasih dua tiket,” katanya lalu membawaku masuk ke dalam.

Kak Bintang ini gila kali ya, konser musik kecil-kecilan? Ini namanya konser akbar kali kak, semua yang datang pada pake jas dan gaun. Aku jadi mengkerut malu gara-gara hanya pakai jeans dan kaos biasa.

“Kak, kenapa kita pergi harus dari pagi kalau tujuan akhirnya ke konser ini, lagian acaranya mulai jam 7 malam kan. Wah kakak ngerjain aku yah,” kataku sambil menyikut perutnya.

“Waduhh, sakit Lan. Aku kan hanya mau menghabiskan lebih banyak waktu sama kamu, makasih ya udah nemenin aku seharian, aku tau kamu bĂȘte abis. Tapi nanti aku bakal buat kamu menjadi terlena deh.”

“Seharusnya kakak bilang dari awal jadi tadi aku pakai pakaian yang bagusan dikit.”

“Kalau pakaianmu ga bebas dan casual mana bisa kita ke dufan tadi?”

“Bener juga sih kak, tapi kan kakak yang kayak anak kecil pake main ke dufan segala. Kurang kerjaan banget sih,” celotehku sampai membuat dia terdiam.

“Aku memang belum pernah bersenang-senang di dufan, ini pertama kalinya. Makasih ya,” sahut Kak Bintang sambil memelukku.
Aku ingin melepaskan pelukan Kak Bintang tapi hati ini terasa nyaman dan aman berada di dekapannya. Lalu aku mendengar samar dia berbisik di telingaku.

“Kamu bau keringet, Lan!” katanya sambil cengegesan.

Sialan sedang adegan so sweet gini, Kak Bintang malah merusak mood-ku. Aku mendorong tubuhnya lalu ingin mengomeli dia, tapi dia menatapku dengan serius lalu dia memberikan isyarat agar aku menoleh ke belakang.

Aku menoleh ke belakang tapi ga ada siapa-siapa, tadi aku pikir ada Ari yang bakal ngamuk ngeliat aku sedang bersama Kak Bintang. Ternyata aku dikibulin. Sebel!

Aku menoleh lagi ke Kak Bintang, siap untung menyemprotnya tapi yang terjadi aku terdiam dan bibirku terkatup. Pipi Kak  Bintang ada di dekat wajahku dan secara tidak sengaja aku mencium pipinya.

“Yes!” ujarnya sambil mengepalkan tangan ke atas. Tanda kemenangan!

“Kakak!!!!!!!!!!!!!” aku menggeram kesal lalu berjalan ke sembarangan tempat. Aku mencari toilet.

Cukup lama aku di toilet, membasuh muka dan bibir ini berulang kali. Saat keluar dari toilet aku mendengar petikan senar gitar disertai lantunan suara seorang pria yang bernyanyi penuh perasaan. Aku terhanyut dalam melodi itu.

Kaki ini melangkah mencari celah di antara para tamu yang berdiri mengelilingi panggung. Aku ingin melihat siapa yang menyanyi. Suaranya seperti suara milik Kak Bintang. Tapi mana mungkin dia yang bernyanyi.

Aku maju sampai ke barisan terdepan di dekat panggung dan melihat Kak Bintang sedang duduk di kursi dengan sorotan lampu menuju dia, dia bernyanyi di tengah panggung sendirian. Dia memakai setelan jas dengan celana panjang hitam. Sejak kapan dia berganti pakaian?

“Terima kasih, lagu tadi adalah lagu yang aku persembahkan untuk para tamu yang hadir dalam konser perdana saya. Lagu berikutnya khusus untuk seseorang yang sangat special di hati saya, berjudul “My Love” semoga setelah ini hatinya akan luluh untuk saya,” kata Kak Bintang sambil terus memandang ke arahku dia bernyanyi. Ada pancaran duka dari cara dia memandangku, kenapa? Ahh, mungkin hanya perasaanku saja.

“Gimana penampilan gue tadi?” tanya Kak Bintang setelah turun dari panggung. Dia sudah menganti pakaian seperti pakaian awalnya.

“Konser perdana kakak?”

“Hehehe, iya. Sebenarnya gue khusus ngajakin lo kesini untuk liat penampilan perdana gue di atas panggung. Setelah lama sekali menunggu kesempatan bernyanyi di sebuah konser musik, akhirnya kesempatan itu datang juga dan terasa lengkap saat lo ada disini.”

“Aku beruntung banget kayaknya.”

“Lan, lo mau pulang sekarang? Ini kan baru jam 9, gue mau ngajakin lo ke satu tempat lagi, mau ga?”

“Maaf. Tapi aku pasti dimarahi kak kalau ga pulang sekarang,” kataku dengan sangat menyesal.

“Oke, kita pulang sekarang!” katanya sambil tersenyum.

“Makasih untuk hari ini, Lan!” ujar Kak Bintang saat kami sudah sampai di depan rumahku. Dia hampir menangis saat menatapku. Ada duka yang mendalam tersirat dari cara dia menatapku. Aku bingung, apa yang salah?

“Hmm,” jawabku dengan sebuah anggukan.

“Lan, makasih juga atas ciumannya tadi. Gue mau lagi dong,” katanya usil sambil mendekatkan pipinya. Siratan tadi hilang berganti seringai jahilnya. Dia mendengus saat aku mendorong mukanya menjauh.

Aku langsung berbalik dan menutup pagar. Gila! Jantungku pasti udah ga normal sekarang, dahsyaaaatttt banget ni Kak Bintang bisa bikin jantungku lompat-lompat terus.

“Hahaha, bye Lan!” teriak Kak Bintang dari luar pagar.

***
“Sini ikut gue!” perintah Kak Syifa sambil menarik tanganku dengan kasar menuju samping perpustakaan.
“Lo kemaren jalan sama Bintang kan! Lo itu ga bisa dibilangin ya, jauhin dia! Ini demi kebaikan lo juga, ngerti!”

“Aku heran kenapa Kak Syifa bersikap begini, dia kan bukan pacar Kak Syifa,” kataku lalu mendengus kesal.

“Gue emang bukan pacarnya, tapi gue tau semua tentang dia. Jadi, sebaiknya lo jauhin dia sebelum terlambat,” kata Kak Syifa sambil memandangku dengan tatapan antara marah dan prihatin?

“Aku ga ngerti kak, kasih aku sebuah alasan yang logis dong.”

“Karena lo adalah Bulan, dan dia adalah Bintang! Lo ga ngerti juga?” tanyanya kesal.

“Jangan dengerin dia!” teriak seseorang dari belakang perpustakaan.

Kami menoleh segera dan melihat Kak Bintang keluar dari belakang perpustakaaan. Dia tampak kesal, marah, dan kecewa. Apa yang terjadi?

“Pergi lo Syif!” tegasnya dengan rahang mengeras, dia terlihat emosi.

“Lo ga boleh nyakitin Bulan, Ang. Lo harusnya bisa terima…” kalimat Kak Syifa menggantung, dia terpaksa berhenti bicara saat Kak Bintang menyeretnya pergi.

“Lan, lo ke kelas sekarang! Jangan ikutin kami!” perintah Kak Bintang saat aku hendak membuntuti mereka.

“Susah banget ya cariin artis supersibuk kayak lo,” kata Dika saat dia tiba-tiba menghadangku di depan kelas.

“Kenapa?”

“Lo tau ga udah 2 hari Ari ga masuk sekolah?” tanyanya dingin.

“Ha? Dia ga masuk? Kenapa? Dia sakit ya?” aku jadi panik.

“Lo sibuk pacaran sama Bintang, pergi dianterin pulang dijemput dan lo ga pernah mau tau lagi tentang Ari kan. Jadi mending lo tutup telinga atau tutup mata lo pas lo ketemu Ari, lo jangan sok perhatian lagi sama dia!” katanya setengah membentakku.

“Dik, lo jangan emosi sama Bulan. Dia ga salah apa-apa, udah ayo kita pergi!” ajak Rangga sambil menarik lengan Dika.

“Ga bisa Rang, gara-gara dia! Kapten basket kita menderita, teman kita menderita gara-gara dia! Dia harus tau…” Rangga menyodok perut Dika sampai Dika berhenti bicara.

Aku memang jarang melihat Ari setelah hari Minggu kemarin, dia tidak mengantarkan ku sekolah. Dan setiap aku menunggu dia untuk mengantar ku pulang yang pasti muncul di luar kelas selalu Kak Bintang.

“Nes, kamu tau ga Ari kenapa?” tanyaku pada Nesa yang sedang minum susu di bangkunya.

“Aduh lo kan teman akrabnya masa lo ga tau sih Lan. Dia kan sakit udah 2 hari dia ga masuk sekolah, gue kira lo udah tau jadi gue ga pernah bahas.”

“Apaaaaa?” aku terduduk lemas di bangku ku. Ternyata aku telah merentangkan jarak yang jauh dengan Matahari-ku. Sekarang aku berlari menjauh darinya bukan dari Kak Bintang.

“Ang, sakit lepasin tangan gue!” Syifa terus memohon padaku.

“Denger ya! Tadi adalah yang terakhir kali, lo ganggu Bulan. Lo jangan pernah usik dia, dan lo jangan pernah…” Syifa menamparku sebelum aku selesai bicara.

“Bintang!! Lo harusnya sadar, dia itu bukan Bulan! Dia bukan Bulan nya lo! Lo jangan ngeliat dia sebagai Bulan Pratiwi, dia bukan pacar lo. Gue bisa liat dari cara lo mandang dia sejak pertama, lo ngeliat dia kayak lo ngeliat Bulan.”

“Arggghhhh!!” aku menggeram, emosiku sudah tidak bisa di tahan lagi.

“Sadar Ang, lo harus terima kenyataan. Bulan udah pergi, dia udah ga ada…” kata Syifa sambil tersedu-sedu. Syifa menangis.

“Ang, gue tau perasaan lo. Bulan juga temen gue. Gue ga rela lo begini gara-gara dia, dia pasti ga tenang disana. Plisss Ang, lepasin Bulan,” Syifa terduduk di lantai ruang musik ini.

“Syifa, gue udah relain Bulan. Sekarang gue serius ingin bersama Bulan, Bulan Dewanti. Apa gue salah?” tanyaku sambil bersimpuh di hadapannya.
“Lo belum relain dia, Ang. Belum. Gue liat hari minggu kemaren lo ngajak Bulan ke konser musik lo, konser musik perdana lo bilang? Lo kira yang saat itu hadir adalah Bulan Pratiwi ya? Itu konser lo yang kedua setelah hari itu. Itu bukan malam disaat lo sama Bulan Pratiwi. Gue liat lo nyanyiin lagu ‘My Love’ lagu yang khusus lo ciptain untuk Bulan. Bulan Pratiwi!” kata-kata Syifa terus menusuk ulu hatiku.

“Kenapa Syif? Kenapa lo ga pernah biarin gue bebas sekali aja?” tanyaku lirih.

“Gue bisa relain Bulan. Bulan Pratiwi. Gue bisa Syif, bisa. Sekarang gue mulai belajar menyukai Bulan Dewanti karena dia bisa nyembuhin luka disini Syif, disini…” ujarku sambil menunjuk ke hati.

“Terus kenapa lo harus ngelakuin itu di hari minggu kemaren? Kenapa lo harus ajak dia ke dufan dan ke konser lo yang kedua? Lo mau mengulang kembali peristiwa itu kan, dan lo mau buktiin kalo lo masih bersama Bulan setelah malam itu. Iya kan?”

“Cukup Syif! Cukuppp!” bantahku keras.

“Gue ga punya maksud apa-apa, gue cuma mau buat dia luluh. Gue mau dia menyukai gue Syif, gue mau bersama dia selamanya.”

“Bintang??” Syifa tampak kaget mendengar penuturanku.

“Iya, Syif. Gue mau dia jadi milik gue kali ini, gue mau dia bersama gue untuk kali ini. Gue ga mau dia bersama Matahari. Dia milik gue,” kataku yakin dan meninggalkan Syifa yang masih tampak shock.

“Ang, gue bakal nunggu lo. Lo bisa balik ke sisi gue, kalau ternyata lo ga berhasil buat mendapatkan Bulan. Gue akan awasi lo, lo ga boleh nyamain dia kayak Bulan kita. Gue akan awasi lo,” aku masih bisa mendengar Syifa berkata lirih.

Maaf untuk semuanya Syifa. Kali ini gue bakal buktiin kalo gue bisa bersama Bulan. Gue akan menyayangi Bulan setulus hati dan ini murni karena dia adalah Bulan Dewanti. Bukan Bulan Pratiwi bukan bulan-ku yang telah tiada.

****
Aku merasa takut untuk menekan bel rumah ini. Lucu ya? Kenal Ari udah dari kecil, rumah dia dekat dengan rumahku. Tapi kenapa aku jadi orang terakhir yang tau kalau dia sakit? Busyet dah bego banget kan Bulan ini.

“Bulannnn! Wah tante kangen banget sama kamu, udah lama ga main ke sini,” kata Tante Risa menyambutku.

“Perasaan baru 3 hari deh tante,” ujarku.

“Eh, masa sih? Hmm, tante histeris banget ya, Lan?” tanyanya ragu.

Aku jadi merasa malu telah menyinggung  tadi, “Eh, gapapa kok tante. Oh iya, Ari nya ada Tante? Bulan mau jengukin dia, dia sakit kan?”

“Oh, Ari emang sakit nih Bulan. Tante juga bingung dia kayak kehilangan semangat gitu, udah dikasih obat masih aja ga bertenaga untuk bangun dari kasur,” kata Tante Risa dengan raut sedih.

“Dia ada di kamar ya?”

“Iya, masuk aja ya. Mungkin dia belum tidur. Tante ke dapur dulu ya,” lalu Tante Risa berjalan menuju dapur.

Aku menaiki tangga menuju kamar Ari, tapi saat aku melihat pintu kaca balkon terbuka aku merasa Ari pasti ada di sana. Dia kan sedang sakit, kenapa ke atap? Disana pasti dingin.

“Ari kamu kenapa disini? Ayo masuk, disini dingin,” kata seseorang dari belakangku.

Aku sudah menghabiskan setiap malam disini dan kehangatan kenangan disini membuat perasaanku lebih baik. Aku sudah tau itu pasti suara Bulan.

“Ri?” panggilnya lalu duduk di sampingku. Aku sengaja tidak berbaring di lantai karena pasti akan dingin.

“Ngapain lo kesini?” tanyaku acuh tanpa menatapnya.

“Lo? Sejak kapan kita pake bahasa lo-gue?”

“Huuh,” dengusku kesal.

“Maaf ya, i am look like run away from you, right?” tanyanya seraya menghembuskan nafas berat.

“Matahari, aku juga ga sadar sejak kapan aku  melarikan diri dari sisi kamu. Aku ga sadar sama sekali jarak kita udah jauh sekarang,” ujarnya dengan suara bergetar.

Aku masih memandang lurus ke depan. Aku tidak mau melihat wajah Bulan, aku takut tidak bisa menahan perasaan untuk mendekapnya. Karena jujur aku merindukan dia, sangat rindu.

“Ri, kamu ngomong dong. Kalau kamu mau marahin aku juga ga apa-apa. Kamu jangan diam aja,” ucapnya hampir menangis.

Aku tidak sanggup lagi untuk menahan airmata di pelupuk ini. Sedih sekali melihat Matahari seperti ini, wajahnya tirus menyaratkan kelelahan. Dia berubah sekarang, atau aku yang berubah?

“Kamu kemana aja, Lan?” akhirnya Ari bersuara juga.

“Aku ga kemana-mana kok, mungkin kita emang jarang ketemu aja akhir-akhir ini.”

“Kamu hilang. Kamu ga di sisi ku lagi, aku merasakannya Lan. Ternyata firasatku waktu itu benar ya, aku bakal kehilangan sesuatu dan menyesali keputusan ku untuk bersekolah disana,” celoteh Ari membuatku terdiam.

“Lan, aku ga tau apa aku salah kalau aku benci bintang sekarang. Bintang jatuh ga pernah ngabulin permohonanku, Lan. Dan juga bintang yang itu…” aku menggenggam erat tangan Ari agar tidak meneruskan kalimatnya.

“Bintang jatuh ngabulin permintaan aku kok Ri,” kata Bulan seraya menggenggam tanganku membuat aku berhenti berkata-kata.

“Apa yang kamu harap Lan? Kamu berharap bisa bersama bintang? Atau kamu berharap…”

“Aku sejak dulu berharap kamu jadi pangeran charming-ku. Berharap kamu menyukai aku dan berharap bisa bersama kamu, apakah benar bintang jatuh tidak mengabulkan permohonanku?” perkataan Bulan memotong perkataanku. Pernyataannya tadi membuat aku lagi-lagi tidak bisa berkata-kata.

Aku menoleh ke samping dan memandang Bulan, “Tadi kamu bilang apa?”

“Ari, kamu harusnya sadar aku ini hanya menyukai kamu. Selalu kamu dan kamu, aku hampir goyah saat Kak Bintang mendekatiku dan mengambil alih posisi kamu,” ujarnya dengan menatapku dalam.

Tidak ada kebohongan di dalam mata Bulan dan tidak ada keraguan disana, barusan Bulan menyatakan perasaannya padaku.
Aku memeluk Bulan erat sekali, kali ini aku tidak akan melepaskannya lagi. Betapa bodoh aku selama ini tidak menyadarinya. Does she really hurt because me?

“Maaf, aku takut kehilangan kamu Bulan. Aku sangat takut hingga membuat aku sendiri tidak berani mengatakan yang sebenarnya aku rasakan, maafin aku Lan!” kataku penuh penyesalan.

Aku mengendurkan pelukanku dan berbisik lirih di telinga Bulan, “Would you be my moon in darkness or brightness?”

Aku melepaskan dia dari dekapanku dan memandangnya dalam sekali, berharap dia berkata yes.

“Sorry, but I won’t be moon for you. I just wanna be star in your heart.”

Aku tersenyum mendengarnya, sekarang tidak ada kegalauan, kepedean, atau kerisauan. Bulan adalah bulan-ku. Dia akan berada di sisiku lagi. Asyik!

“Don’t run away from me again, please!”

“Sure, I don’t.”

“But you must listen me now, please get into your bedroom. Kamu bakal tambah sakit Ariiiiiiiiii!” bentaknya padaku sesaat setelah tadi masa romantis menyelinap masuk di antara kami.

“Hm, ga bakalan sakit. Aku justru bakalan sehat kalau berada disini, malahan kalau kamu berteriak terus padaku bisa bikin aku mati jantungan tauuuuu!” aku balas meneriakinya lalu kami tertawa bersama.

Terima kasih untuk semua kenangan indah ini, Ayah lihatlah aku, aku mendapatkan bulan-ku. Kataku seraya menatap bintang di angkasa berharap ayah melihat kami sekarang darisana.
*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar