Part 4 ~Run Away~
Sudah hampir seminggu
aku menghindar dari Kak Bintang, setiap melihat dia aku pasti bersembunyi atau
melarikan diri. Sebenarnya aku takut Ari marah lagi kalau tau aku masih
berdekatan dengan Kak Bintang.
Tapi pagi ini, aku
sepertinya tidak bisa lagi melarikan diri. Sekarang Kak Bintang ada di depan
rumahku, hari ini hari Minggu dan apa keperluan dia datang ke rumahku?
“Hai, Bulan!” sapanya
saat aku membuka pagar.
“Kakak ada perlu apa
ya?” tanyaku sambil celingak-celinguk siapa tau Ari melihat. Syukurlah dia tidak
ada.
“Haaa? Ngg.. bukan
kok Kak, ayo masuk dulu!” kataku sambil menarik jaketnya.
“Sebenarnya gue mau
ngajak lo jalan-jalan hari ini, lo mau kan?”
“Hm, maaf ya Kak. Aku
ga bisa soalnya…” aku melihat raut kekecewaan di wajahnya.
“Bener ga bisa ya?
Padahal hari ini hari terakhir,” katanya sambil melihat dua lembar tiket di
tangan.
“Emangnya kakak mau
kemana?” tanyaku penasaran.
“Mau ngajak kamu ke
tempat special sih, tapi yaudah lah kamu juga lagi sibuk kan. Aku pergi dulu
ya,” ucapnya sambil tersenyum kecewa padaku.
“Aku mau ikut sih
kak, tapi…” aku tidak tega melihat dia berjalan terseok-seok begitu.
“Lo mau ikut?
Beneran?”
“Kakak jangan ngebut
ya naik motornya,” ungkapku malu-malu.
“Oh kamu ga mau meluk
aku lagi ya?” tanyanya mengena di hatiku.
“Eh, itu…” aku malu banget
Kak Bintang menyindir soal rangkulan itu. Mukaku sudah seperti kepiting rebus
sekarang.
“Hahaha, yaudah nanti
aku pelanin deh!” ucapnya sambil mengacak-acak rambutku.
Aku menyuruhnya
menunggu sebentar lalu aku mandi dengan segera dan berganti pakaian. Aku merasa
aneh sendiri kenapa bisa –bisa nya aku menerima tawaran pergi bersama Kak
Bintang ya? Padahal aku sudah berhasil menghindarinya.
“Wah, Bulan bersinar
banget ya pagi ini. Mau kemana ni?” tanya Bunda padaku.
“Mau pergi dulu, Bun.
Sama Kak Bintang,” jawabku ragu.
“Oh cowok yang di
depan itu ya, dia sering loh lewat depan rumah kita setiap pagi setelah kamu
sama Ari berangkat ke sekolah,” kata Bunda dan otomatis dong aku shock. Ngapain
coba dia begitu?
“Masa sih Bun?”
“Iyaaa… Malahan Bunda
sering disapa sama dia kalau kebetulan Bunda lagi beli sayur pagi-pagi, dia
anak yang baik. Ga jauh beda lah sama Ari, kamu pasti bingung pilih yang mana,”
sindir Bunda dengan wajah meledek.
“Bunda apaan sih!”
aku segera memakai sepatu dan berjalan ke luar.
Ku lihat Kak Bintang
masih duduk dengan santai di teras, dia bersenandung kecil sambil mengetik
sesuatu di ponselnya. Lalu dia tersenyum saat aku datang.
“Wah, gue ga tau lo
bakal dandan kalo pergi sama gue,” katanya sambil mengerling.
“Siapa juga yang
dandan! Huuu.”
“Itu ada lipbloss nya
di bibir, fresh!” katanya lalu mengelap sedikit lipbloss ku yang belepotan di
tepi bibir bawah. Aku ga bisa ngejelasinnya, tapi yang sekarang terjadi aku
gugup, malu, senang, dan wah cetarrrr deh charmingnya Kak Bintang ini.
“Lo kok ngelamun sih?
Ayo berangkat!” ajaknya lalu menggandeng tanganku.
“Lo bener ga mau
pegangan di pingangg gue?” tanyanya sambil memutar kunci motor.
“Kan kakak
pelan-pelan.”
“Iya pelan dikit dari
kemaren,” dan bzzz dia melaju dengan tiba-tiba dan semakin mempercepat laju
motornya. Aku refleks melingkarkan lagi tanganku di pinggangnya.
Lalu ku rasa hatiku
berdebar-debar bukan karena takut tapi karena hal lain.
Ya Ampun aku kenapa
nih, kok bisa begini? Ini udah ga beres. Kalau Ari sih wajar aku deg-degan.
Tapi ini kan bukan Ari!!! Aku mengusir jauh-jauh perasaan aneh ini. Pokoknya
hati ini cuma milik Ari.
**
“Lho Kak, ini kan…”
aku terkagum-kagum melihat gedung konser musik ter-wah banget.
Tadinya aku sempat
kesal karena aku di bawa muter-muter ga jelas di dufan sampe sore. Aku udah mau
pulang naik bus kalau Kak Bintang ga berhasil bujuk aku untuk ikut dia.
“Di dalem ada konser musik
kecil-kecilan, tiketnya limited edition. Untung aku ikut berpartisipasi jadi di
kasih dua tiket,” katanya lalu membawaku masuk ke dalam.
Kak Bintang ini gila
kali ya, konser musik kecil-kecilan? Ini namanya konser akbar kali kak, semua
yang datang pada pake jas dan gaun. Aku jadi mengkerut malu gara-gara hanya
pakai jeans dan kaos biasa.
“Kak, kenapa kita
pergi harus dari pagi kalau tujuan akhirnya ke konser ini, lagian acaranya
mulai jam 7 malam kan. Wah kakak ngerjain aku yah,” kataku sambil menyikut
perutnya.
“Waduhh, sakit Lan.
Aku kan hanya mau menghabiskan lebih banyak waktu sama kamu, makasih ya udah
nemenin aku seharian, aku tau kamu bête abis. Tapi nanti aku bakal buat kamu
menjadi terlena deh.”
“Seharusnya kakak
bilang dari awal jadi tadi aku pakai pakaian yang bagusan dikit.”
“Kalau pakaianmu ga
bebas dan casual mana bisa kita ke dufan tadi?”
“Bener juga sih kak,
tapi kan kakak yang kayak anak kecil pake main ke dufan segala. Kurang kerjaan
banget sih,” celotehku sampai membuat dia terdiam.
“Aku memang belum
pernah bersenang-senang di dufan, ini pertama kalinya. Makasih ya,” sahut Kak Bintang
sambil memelukku.
Aku ingin melepaskan
pelukan Kak Bintang tapi hati ini terasa nyaman dan aman berada di dekapannya.
Lalu aku mendengar samar dia berbisik di telingaku.
“Kamu bau keringet,
Lan!” katanya sambil cengegesan.
Sialan sedang adegan
so sweet gini, Kak Bintang malah merusak mood-ku. Aku mendorong tubuhnya lalu
ingin mengomeli dia, tapi dia menatapku dengan serius lalu dia memberikan
isyarat agar aku menoleh ke belakang.
Aku menoleh ke
belakang tapi ga ada siapa-siapa, tadi aku pikir ada Ari yang bakal ngamuk
ngeliat aku sedang bersama Kak Bintang. Ternyata aku dikibulin. Sebel!
Aku menoleh lagi ke
Kak Bintang, siap untung menyemprotnya tapi yang terjadi aku terdiam dan
bibirku terkatup. Pipi Kak Bintang ada
di dekat wajahku dan secara tidak sengaja aku mencium pipinya.
“Yes!” ujarnya sambil
mengepalkan tangan ke atas. Tanda kemenangan!
“Kakak!!!!!!!!!!!!!”
aku menggeram kesal lalu berjalan ke sembarangan tempat. Aku mencari toilet.
Cukup lama aku di
toilet, membasuh muka dan bibir ini berulang kali. Saat keluar dari toilet aku
mendengar petikan senar gitar disertai lantunan suara seorang pria yang
bernyanyi penuh perasaan. Aku terhanyut dalam melodi itu.
Kaki ini melangkah
mencari celah di antara para tamu yang berdiri mengelilingi panggung. Aku ingin
melihat siapa yang menyanyi. Suaranya seperti suara milik Kak Bintang. Tapi
mana mungkin dia yang bernyanyi.
Aku maju sampai ke
barisan terdepan di dekat panggung dan melihat Kak Bintang sedang duduk di
kursi dengan sorotan lampu menuju dia, dia bernyanyi di tengah panggung
sendirian. Dia memakai setelan jas dengan celana panjang hitam. Sejak kapan dia
berganti pakaian?
“Terima kasih, lagu
tadi adalah lagu yang aku persembahkan untuk para tamu yang hadir dalam konser
perdana saya. Lagu berikutnya khusus untuk seseorang yang sangat special di
hati saya, berjudul “My Love” semoga setelah ini hatinya akan luluh untuk
saya,” kata Kak Bintang sambil terus memandang ke arahku dia bernyanyi. Ada
pancaran duka dari cara dia memandangku, kenapa? Ahh, mungkin hanya perasaanku
saja.
“Gimana penampilan
gue tadi?” tanya Kak Bintang setelah turun dari panggung. Dia sudah menganti
pakaian seperti pakaian awalnya.
“Konser perdana
kakak?”
“Hehehe, iya.
Sebenarnya gue khusus ngajakin lo kesini untuk liat penampilan perdana gue di
atas panggung. Setelah lama sekali menunggu kesempatan bernyanyi di sebuah
konser musik, akhirnya kesempatan itu datang juga dan terasa lengkap saat lo
ada disini.”
“Aku beruntung banget
kayaknya.”
“Lan, lo mau pulang
sekarang? Ini kan baru jam 9, gue mau ngajakin lo ke satu tempat lagi, mau ga?”
“Maaf. Tapi aku pasti
dimarahi kak kalau ga pulang sekarang,” kataku dengan sangat menyesal.
“Oke, kita pulang
sekarang!” katanya sambil tersenyum.
“Makasih untuk hari
ini, Lan!” ujar Kak Bintang saat kami sudah sampai di depan rumahku. Dia hampir
menangis saat menatapku. Ada duka yang mendalam tersirat dari cara dia
menatapku. Aku bingung, apa yang salah?
“Hmm,” jawabku dengan
sebuah anggukan.
“Lan, makasih juga
atas ciumannya tadi. Gue mau lagi dong,” katanya usil sambil mendekatkan
pipinya. Siratan tadi hilang berganti seringai jahilnya. Dia mendengus saat aku
mendorong mukanya menjauh.
Aku langsung berbalik
dan menutup pagar. Gila! Jantungku pasti udah ga normal sekarang, dahsyaaaatttt
banget ni Kak Bintang bisa bikin jantungku lompat-lompat terus.
“Hahaha, bye Lan!”
teriak Kak Bintang dari luar pagar.
***
“Sini ikut gue!”
perintah Kak Syifa sambil menarik tanganku dengan kasar menuju samping
perpustakaan.
“Lo kemaren jalan
sama Bintang kan! Lo itu ga bisa dibilangin ya, jauhin dia! Ini demi kebaikan
lo juga, ngerti!”
“Aku heran kenapa Kak
Syifa bersikap begini, dia kan bukan pacar Kak Syifa,” kataku lalu mendengus
kesal.
“Gue emang bukan
pacarnya, tapi gue tau semua tentang dia. Jadi, sebaiknya lo jauhin dia sebelum
terlambat,” kata Kak Syifa sambil memandangku dengan tatapan antara marah dan
prihatin?
“Aku ga ngerti kak,
kasih aku sebuah alasan yang logis dong.”
“Karena lo adalah
Bulan, dan dia adalah Bintang! Lo ga ngerti juga?” tanyanya kesal.
“Jangan dengerin
dia!” teriak seseorang dari belakang perpustakaan.
Kami menoleh segera
dan melihat Kak Bintang keluar dari belakang perpustakaaan. Dia tampak kesal,
marah, dan kecewa. Apa yang terjadi?
“Pergi lo Syif!” tegasnya
dengan rahang mengeras, dia terlihat emosi.
“Lo ga boleh nyakitin
Bulan, Ang. Lo harusnya bisa terima…” kalimat Kak Syifa menggantung, dia
terpaksa berhenti bicara saat Kak Bintang menyeretnya pergi.
“Lan, lo ke kelas
sekarang! Jangan ikutin kami!” perintah Kak Bintang saat aku hendak membuntuti
mereka.
“Susah banget ya
cariin artis supersibuk kayak lo,” kata Dika saat dia tiba-tiba menghadangku di
depan kelas.
“Kenapa?”
“Lo tau ga udah 2
hari Ari ga masuk sekolah?” tanyanya dingin.
“Ha? Dia ga masuk?
Kenapa? Dia sakit ya?” aku jadi panik.
“Lo sibuk pacaran
sama Bintang, pergi dianterin pulang dijemput dan lo ga pernah mau tau lagi
tentang Ari kan. Jadi mending lo tutup telinga atau tutup mata lo pas lo ketemu
Ari, lo jangan sok perhatian lagi sama dia!” katanya setengah membentakku.
“Dik, lo jangan emosi
sama Bulan. Dia ga salah apa-apa, udah ayo kita pergi!” ajak Rangga sambil
menarik lengan Dika.
“Ga bisa Rang,
gara-gara dia! Kapten basket kita menderita, teman kita menderita gara-gara dia!
Dia harus tau…” Rangga menyodok perut Dika sampai Dika berhenti bicara.
Aku memang jarang
melihat Ari setelah hari Minggu kemarin, dia tidak mengantarkan ku sekolah. Dan
setiap aku menunggu dia untuk mengantar ku pulang yang pasti muncul di luar
kelas selalu Kak Bintang.
“Nes, kamu tau ga Ari
kenapa?” tanyaku pada Nesa yang sedang minum susu di bangkunya.
“Aduh lo kan teman
akrabnya masa lo ga tau sih Lan. Dia kan sakit udah 2 hari dia ga masuk
sekolah, gue kira lo udah tau jadi gue ga pernah bahas.”
“Apaaaaa?” aku
terduduk lemas di bangku ku. Ternyata aku telah merentangkan jarak yang jauh
dengan Matahari-ku. Sekarang aku berlari menjauh darinya bukan dari Kak
Bintang.
“Ang, sakit lepasin
tangan gue!” Syifa terus memohon padaku.
“Denger ya! Tadi adalah
yang terakhir kali, lo ganggu Bulan. Lo jangan pernah usik dia, dan lo jangan
pernah…” Syifa menamparku sebelum aku selesai bicara.
“Bintang!! Lo
harusnya sadar, dia itu bukan Bulan! Dia bukan Bulan nya lo! Lo jangan ngeliat
dia sebagai Bulan Pratiwi, dia bukan pacar lo. Gue bisa liat dari cara lo
mandang dia sejak pertama, lo ngeliat dia kayak lo ngeliat Bulan.”
“Arggghhhh!!” aku
menggeram, emosiku sudah tidak bisa di tahan lagi.
“Sadar Ang, lo harus
terima kenyataan. Bulan udah pergi, dia udah ga ada…” kata Syifa sambil
tersedu-sedu. Syifa menangis.
“Ang, gue tau
perasaan lo. Bulan juga temen gue. Gue ga rela lo begini gara-gara dia, dia
pasti ga tenang disana. Plisss Ang, lepasin Bulan,” Syifa terduduk di lantai
ruang musik ini.
“Syifa, gue udah
relain Bulan. Sekarang gue serius ingin bersama Bulan, Bulan Dewanti. Apa gue
salah?” tanyaku sambil bersimpuh di hadapannya.
“Lo belum relain dia,
Ang. Belum. Gue liat hari minggu kemaren lo ngajak Bulan ke konser musik lo,
konser musik perdana lo bilang? Lo kira yang saat itu hadir adalah Bulan
Pratiwi ya? Itu konser lo yang kedua setelah hari itu. Itu bukan malam disaat
lo sama Bulan Pratiwi. Gue liat lo nyanyiin lagu ‘My Love’ lagu yang khusus lo ciptain
untuk Bulan. Bulan Pratiwi!” kata-kata Syifa terus menusuk ulu hatiku.
“Kenapa Syif? Kenapa
lo ga pernah biarin gue bebas sekali aja?” tanyaku lirih.
“Gue bisa relain
Bulan. Bulan Pratiwi. Gue bisa Syif, bisa. Sekarang gue mulai belajar menyukai
Bulan Dewanti karena dia bisa nyembuhin luka disini Syif, disini…” ujarku
sambil menunjuk ke hati.
“Terus kenapa lo
harus ngelakuin itu di hari minggu kemaren? Kenapa lo harus ajak dia ke dufan
dan ke konser lo yang kedua? Lo mau mengulang kembali peristiwa itu kan, dan lo
mau buktiin kalo lo masih bersama Bulan setelah malam itu. Iya kan?”
“Cukup Syif!
Cukuppp!” bantahku keras.
“Gue ga punya maksud
apa-apa, gue cuma mau buat dia luluh. Gue mau dia menyukai gue Syif, gue mau
bersama dia selamanya.”
“Bintang??” Syifa
tampak kaget mendengar penuturanku.
“Iya, Syif. Gue mau
dia jadi milik gue kali ini, gue mau dia bersama gue untuk kali ini. Gue ga mau
dia bersama Matahari. Dia milik gue,” kataku yakin dan meninggalkan Syifa yang
masih tampak shock.
“Ang, gue bakal
nunggu lo. Lo bisa balik ke sisi gue, kalau ternyata lo ga berhasil buat
mendapatkan Bulan. Gue akan awasi lo, lo ga boleh nyamain dia kayak Bulan kita.
Gue akan awasi lo,” aku masih bisa mendengar Syifa berkata lirih.
Maaf untuk semuanya
Syifa. Kali ini gue bakal buktiin kalo gue bisa bersama Bulan. Gue akan
menyayangi Bulan setulus hati dan ini murni karena dia adalah Bulan Dewanti.
Bukan Bulan Pratiwi bukan bulan-ku yang telah tiada.
****
Aku merasa takut
untuk menekan bel rumah ini. Lucu ya? Kenal Ari udah dari kecil, rumah dia dekat
dengan rumahku. Tapi kenapa aku jadi orang terakhir yang tau kalau dia sakit?
Busyet dah bego banget kan Bulan ini.
“Bulannnn! Wah tante kangen
banget sama kamu, udah lama ga main ke sini,” kata Tante Risa menyambutku.
“Perasaan baru 3 hari
deh tante,” ujarku.
“Eh, masa sih? Hmm,
tante histeris banget ya, Lan?” tanyanya ragu.
Aku jadi merasa malu
telah menyinggung tadi, “Eh, gapapa kok
tante. Oh iya, Ari nya ada Tante? Bulan mau jengukin dia, dia sakit kan?”
“Oh, Ari emang sakit
nih Bulan. Tante juga bingung dia kayak kehilangan semangat gitu, udah dikasih
obat masih aja ga bertenaga untuk bangun dari kasur,” kata Tante Risa dengan
raut sedih.
“Dia ada di kamar
ya?”
“Iya, masuk aja ya.
Mungkin dia belum tidur. Tante ke dapur dulu ya,” lalu Tante Risa berjalan
menuju dapur.
Aku menaiki tangga
menuju kamar Ari, tapi saat aku melihat pintu kaca balkon terbuka aku merasa
Ari pasti ada di sana. Dia kan sedang sakit, kenapa ke atap? Disana pasti
dingin.
“Ari kamu kenapa
disini? Ayo masuk, disini dingin,” kata seseorang dari belakangku.
Aku sudah
menghabiskan setiap malam disini dan kehangatan kenangan disini membuat perasaanku
lebih baik. Aku sudah tau itu pasti suara Bulan.
“Ri?” panggilnya lalu
duduk di sampingku. Aku sengaja tidak berbaring di lantai karena pasti akan
dingin.
“Ngapain lo kesini?”
tanyaku acuh tanpa menatapnya.
“Lo? Sejak kapan kita
pake bahasa lo-gue?”
“Huuh,” dengusku
kesal.
“Maaf ya, i am look
like run away from you, right?” tanyanya seraya menghembuskan nafas berat.
“Matahari, aku juga
ga sadar sejak kapan aku melarikan diri
dari sisi kamu. Aku ga sadar sama sekali jarak kita udah jauh sekarang,”
ujarnya dengan suara bergetar.
Aku masih memandang
lurus ke depan. Aku tidak mau melihat wajah Bulan, aku takut tidak bisa menahan
perasaan untuk mendekapnya. Karena jujur aku merindukan dia, sangat rindu.
“Ri, kamu ngomong
dong. Kalau kamu mau marahin aku juga ga apa-apa. Kamu jangan diam aja,”
ucapnya hampir menangis.
Aku tidak sanggup
lagi untuk menahan airmata di pelupuk ini. Sedih sekali melihat Matahari
seperti ini, wajahnya tirus menyaratkan kelelahan. Dia berubah sekarang, atau
aku yang berubah?
“Kamu kemana aja,
Lan?” akhirnya Ari bersuara juga.
“Aku ga kemana-mana
kok, mungkin kita emang jarang ketemu aja akhir-akhir ini.”
“Kamu hilang. Kamu ga
di sisi ku lagi, aku merasakannya Lan. Ternyata firasatku waktu itu benar ya,
aku bakal kehilangan sesuatu dan menyesali keputusan ku untuk bersekolah
disana,” celoteh Ari membuatku terdiam.
“Lan, aku ga tau apa
aku salah kalau aku benci bintang sekarang. Bintang jatuh ga pernah ngabulin
permohonanku, Lan. Dan juga bintang yang itu…” aku menggenggam erat tangan Ari
agar tidak meneruskan kalimatnya.
“Bintang jatuh
ngabulin permintaan aku kok Ri,” kata Bulan seraya menggenggam tanganku membuat
aku berhenti berkata-kata.
“Apa yang kamu harap
Lan? Kamu berharap bisa bersama bintang? Atau kamu berharap…”
“Aku sejak dulu
berharap kamu jadi pangeran charming-ku. Berharap kamu menyukai aku dan
berharap bisa bersama kamu, apakah benar bintang jatuh tidak mengabulkan
permohonanku?” perkataan Bulan memotong perkataanku. Pernyataannya tadi membuat
aku lagi-lagi tidak bisa berkata-kata.
Aku menoleh ke
samping dan memandang Bulan, “Tadi kamu bilang apa?”
“Ari, kamu harusnya
sadar aku ini hanya menyukai kamu. Selalu kamu dan kamu, aku hampir goyah saat
Kak Bintang mendekatiku dan mengambil alih posisi kamu,” ujarnya dengan
menatapku dalam.
Tidak ada kebohongan
di dalam mata Bulan dan tidak ada keraguan disana, barusan Bulan menyatakan
perasaannya padaku.
Aku memeluk Bulan
erat sekali, kali ini aku tidak akan melepaskannya lagi. Betapa bodoh aku
selama ini tidak menyadarinya. Does she really hurt because me?
“Maaf, aku takut
kehilangan kamu Bulan. Aku sangat takut hingga membuat aku sendiri tidak berani
mengatakan yang sebenarnya aku rasakan, maafin aku Lan!” kataku penuh
penyesalan.
Aku mengendurkan
pelukanku dan berbisik lirih di telinga Bulan, “Would you be my moon in
darkness or brightness?”
Aku melepaskan dia
dari dekapanku dan memandangnya dalam sekali, berharap dia berkata yes.
“Sorry, but I won’t
be moon for you. I just wanna be star in your heart.”
Aku tersenyum
mendengarnya, sekarang tidak ada kegalauan, kepedean, atau kerisauan. Bulan
adalah bulan-ku. Dia akan berada di sisiku lagi. Asyik!
“Don’t run away from
me again, please!”
“Sure, I don’t.”
“But you must listen
me now, please get into your bedroom. Kamu bakal tambah sakit Ariiiiiiiiii!”
bentaknya padaku sesaat setelah tadi masa romantis menyelinap masuk di antara
kami.
“Hm, ga bakalan
sakit. Aku justru bakalan sehat kalau berada disini, malahan kalau kamu
berteriak terus padaku bisa bikin aku mati jantungan tauuuuu!” aku balas
meneriakinya lalu kami tertawa bersama.
Terima kasih untuk
semua kenangan indah ini, Ayah lihatlah aku, aku mendapatkan bulan-ku. Kataku
seraya menatap bintang di angkasa berharap ayah melihat kami sekarang darisana.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar