Total Tayangan Halaman

Rabu, 13 Februari 2013

Part 2 ~Maaf Atas Yang Terlewatkan~



Part 2

“Esta bangun dong! Woi bangun! Lo bisa telat ke sekolah kalo ga bangun sekarang,” kata seseorang sayup-sayup di telingaku.

“Jam.. be..ya..pa seka..yang?” tanyaku dari balik selimut. Mata ini terasa di lem, setelah tiga hari ikut MOS badan ini capeknya beeuuh seperti ditimpa karung besi.


“Jam tujuhhh kuraanggg limaaa belasss meniiittt,” eja nya di telingaku dengan suara menggelegar bagai petir. Dan benar saja aku seperti tersambar dan segera kocar-kacir ke kamar mandi.

“Kenapa ga bangunin dari tadi sih mas?” omel ku pada Dimas, kakak lelaki ku yang sekarang sudah semester 2 di UNJ.

“Lo aja tidur kayak kebo!” sahut kakakku sambil ngeloyor pergi.

Dia itu kakak tiriku. Yang paling ku sayang dan yang paling wah perhatian banget ama adik perempuannya ini. Jlebb, kok aku malah sibuk ngelamunin kakak ku sih. Ini kan udah telat?

*****

“Mampus, aku telat nih! Telat 30 menit lagi!” dumel ku dalam hati seraya berlari menuju kelas yang jauhnya masih seratus meter di depan.
Ketika aku hendak berbelok menuju pintu kelas, tiba-tiba aku menubruk seseorang yang sedang berdiri di ambang pintu. Keseimbangank goyah, dan selanjutnya aku terjatuh tepat di atas tubuh orang itu. Ramzi!

“Maaf zi, aku ga sengaja. Beneran!” ucapku sambil berdiri dan mengulurkan tangan untuk membantunya tapi dia menepisnya dan berdiri sendiri.

“Sialan!” umpatnya lirih namun masih bisa ku dengar. Aku sedih sekali mendengarnya. Dia itu jahat sekali ternyata.

“Ramzi, aku kan udah minta maaf, kamu kok malah marah sih?” tanyaku polos dan dengan tampang bersedih.

“Bukan untuk lo, bego! Tuh liat si Botak udah nongol. Niat gue mau kabur dari kelas, gara-gara lo rencana gue gagal!” omel Ramzi sambil berjalan kembali ke bangkunya.

“Oh, maaf ya. Esta beneran minta maaf!” kataku tulus dari dalam hati. Dan aku seperti mengalami De Ja Vu. Aku dulunya pernah seperti ini, mungkin? Ah paling hanya perasaan saja.

“Maaf ya anak-anak, bapak telat masuknya. Tadi ada sedikit masalah di kantor,” kata Pak Jamal selaku guru Fisika kami yang kepalanya botak abis.

“Hufft, syukur deh aku ternyata belum telat di absennya Pak Jamal,” sebuah perasaan lega muncul di benakku. Dan perasaan senang juga, karena tadi Ramzi berbicara padaku. Dia bicara meski agak gimana gitu. Secara pakai gue-elo.

*****

Tadi itu aku ga sengaja tubrukan sama Estania. Ya Tuhan, kenapa tadi aku berdebar-debar ya? Sangking gugupnya aku ga sengaja nepis tangan dia. Padahal tadi rasanya aku ingin ketawa pas liat raut wajahnya berubah muram begitu. Tapi ga jadi pas liat wajah Pak Jamal yang berjalan di koridor.

Sekarang jam istirahat, aku ingin sekali menyapa Estania yang sibuk berkutat dengan soal fisika. Tapi..

“Estania! Kamu itu siapa sih? Berani sekali ganggu pikiranku!” pikiranku beradu dengan suara hati, perasaan kecewa tiba-tiba saja menyelimutiku saat itu juga. Saat sedang memikirkan Estania, eh dianya sedang didatangi Zacki. Kakak itu dari gelagatnya seperti menyukai Esta.

“Hai, Esta. Sedang apa? Bisa ikut kakak sebentar ga?” suara Zacki terdengar sampai ke telingaku. Aku seperti merasa ada yang sakit di dada ini. Persis seperti sakit saat dia meninggalkan dulu. Sialan. Jangan biarkan aku kembali menyukai gadis yang sama, Tuhan.

“Maaf Kak, Esta ada tugas Fisika yang masih mau dikerjain. Nanti aja ya kak,” kata Esta dengan nada bersalah.

Aku lega mendengarnya. Esta masih seperti yang dulu, gadis itu masih seperti 3 tahun yang lalu. Lebih mementingkan pendidikan daripada hubungan ga jelas yang bisa memporak-porandakan prestasinya, ya seperti dulu. Saat dia meninggalkan SMP Karang Taruna di Surabaya untuk ikut kelas unggulan di Jakarta.

Apakah dia memang benar-benar telah melupakanku? Meski kami hanya bertemu sekali tapi dia masih ada di hatiku. Ya walaupun, rasa sakit yang dia tinggalkan lebih dalam dari rasa sayangku. Tak bisakah yang terlewatkan kembali lagi?

*****

“Hai, Esta. Sedang apa? Bisa ikut kakak sebentar ga?” suara Zacki terdengar hingga ke telingaku. 

Dia sedang menyapa Estania. Sungguh rasanya menyakitkan sekali, dia menyapa gadis lain. Bukan aku, bukan aku Bellanya yang tersayang. Dia tidak pernah minta maaf atas apa yang terlewatkan. Dia juga tidak memperdulikanku meski aku tidak jauh dari sisinya. Benar, dia pasti telah melupakanku. Meski dua tahun berlalu, tapi kenapa hatiku masih ingin dia kembali ke sisi ku?

“Dasar Zacki sialan!” rutukku dalam hati seraya mencoret-coret lagi gambar di kertas putih di atas mejaku. Tanpa sadar aku menggambar wajahnya lagi.

“Kamu sedang apa, Bella?” suara Estania membuyarkan lamunanku dan memadamkan amarahku. Dia gadis yang baik, sayangnya dia terlalu lamban untuk menjadi temanku.

“Ga lagi ngapa-ngapain, ada perlu apa lo?” tanyaku ketus agar dia segera menjauh.

“Ini, aku mau tanya soal Fisika. Aku ga bisa ngerjainnya,” kata Esta takut-takut.

“Coba lo tanya ama yang lain aja deh, gue mau ke kantin,” jawabku seraya meninggalkan dia dengan tampang kecewanya. Maaf ya Esta!

“Ramzi, lo kan pinter, ajarin Esta sana! Dia butuh bantuan tuh!” kataku kepada Ramzi yang sibuk dengan novelnya. Heran, cakep-cakep kok cupu!

“Berisik lo!” jawabnya mengacuhkanku.

Degg.. Suaranya itu seperti mengejutkan hatiku yang sudah lama beku. Pantas saja pertama kali dia memperkenalkan diri, aku merasa tertarik dengan sikap acuhnya. Dia mampu membuat hatiku terasa hidup setelah Zacki pergi. Penasaran aku membalas ucapannya.

“Lo kok nyolot sih, Zi! Kalo ada orang ngomong, perhatiin mukanya tau!”  ucapku memancing reaksinya.

Dia menutup novelnya dan berdiri dari bangku seraya memandang tajam ke arah ku. Ramzi ini memang sangat tampan meski wajahnya terkesan dingin dan acuh.

“Puas lo? Gue udah liatin wajah lo? Apa mau lebih deket lagi?” tanyanya sambil memajukan wajah. Yup, dia berhasil membuat pipiku memerah.

“Kurang ajar!” umpatku dalam hati dan pergi keluar kelas menuju kantin. Hatiku berdebar tak menentu sekarang. Gilaaa, masa iya aku suka sama Ramzi.

*****

Aku terpaku sesaat melihat adegan itu, saat dimana Ramzi tampak seolah ingin mencium Bella. Hati ini sakit sekali. Padahal ini baru hari ketiga aku kenal Ramzi. Tapi kenapa hati ini bilang kalo Ramzi itu pernah ada di hatiku?

“Zi?” panggilku di sampingnya.

Dia tidak menyahut.

“Kamu mau bantuin aku ngerjain fisika ga?” tanyaku dengan perasaan waspada. Takut-takut dia marah lagi.

“Mana soalnya?” sahut Ramzi tanpa mengalihkan pandangan dari novelnya.

“Ini, nomor 4 dan 5,” ucapku sambil duduk di bangku depan dan membalikkan bangku itu  ke arahnya.

“Oh, ini mudah. Perhatikan ya,” dan dengan lancar serta mudah dimengerti dia menjelaskan kepadaku.

“Ngerti kan?” tanya Ramzi sambil menatapku.

“Eh, iya ngerti kok. Makasih ya, ngomong-ngomong kamu dulu SMP mana? Kok wajahnya ga asing gitu ya? Kita pernah ketemu ga sebelumnya?”  bertubi-tubi pertanyaan mulus meluncur dari mulutku setelah dari tadi aku menahannya.

Ternyata Ramzi mematung di depanku. Dia menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan, entah apa tapi yang pasti tersirat dia ingin mengatakan sesuatu. Namun yang keluar hanya hembusan nafas beratnya.

“Berisik banget lo! Sana pergi kalau udah ngerti tugasnya,” bentak Ramzi dengan tatapan menajam.

“Eh, maaf ya. Maaf,” kata ku menyesal karena telah membuatnya tersinggung.

*****

“Ngerti kan?” tanyaku setelah bersusah payah mencoba menahan gejolak di dada saat Estania terus memperhatikanku dari jarak sedekat ini.

Aku gugup sekali. Bertambah gugup saat dia menjawab sekaligus bertanya “Eh, iya ngerti kok. Makasih ya, ngomong-ngomong kamu dulu SMP mana? Kok wajahnya ga asing gitu ya? Kita pernah ketemu ga sebelumnya?”

Diam seribu bahasa, lidah ini kelu dan terasa sekali sakit di dada ini. Dia bertanya apakah kami pernah mengenal sebelumnya? Jadi, dia telah melupakan satu hari pertemuan singkat kami di perpustakaan hari  itu.

-Flash Back-

“Aduh, maaf ya. Esta ga sengaja, beneran” kata seseorang yang berdiri setelah dengan santai mendarat di atas tubuhku yang kurus ini.

“Maaf lo bilang? Lo ga liat gue udah ketiban buku eh ketiban lo juga lagi,” ocehku sambil berdiri dan menahan sakit di kening. Ku pikir pasti nanti bakalan benjol ni kening.

“Kan udah minta maaf, kamu kok malah marah sih?” sahutnya sambil memunguti buku ku yang berserakan. Matanya tampak sembab.

“Wah, kamu suka baca novel ini ya?” tanya nya dengan seulas senyum yang bisa membuat amarahku meredam.

“Bukan urusan lo, tau!” ucapku ketus dan dengan cepat merebut kembali novel dari tangannya.

“Kamu itu pemarah ya? Kamu tau ga, orang pemarah itu cepat tua lho! Esta aja ga pernah marah-marah, biarpun semua yang Esta sayangi diambil Esta tetap bisa tersenyum,” celoteh gadis bernama Esta itu.

“Apa hubungannya coba?” aku jadi penasaran dengan ucapannya.

“Gini ya, ini kan pertemuan pertama kita. Kalo kamu udah marah-marah gini gimana pertemuan kita yang selanjutnya. Apa kamu tahu pertemuan pertama itu bisa jadi menentukan nasib perpisahan kita,” terangnya dengan raut wajah serius.

“Oh, begitu ya. Jadi harus bagaimana dong?” tanyaku kepada gadis mungil berseragam putih-biru yang sekarang sedang tersenyum kepadaku. Senyumnya manis sekali.

 Aku bersumpah tidak akan melupakan senyuman ini. Senyuman pertama yang hadir dalam hidupku setelah aku terbaring tak sadarkan diri selama berbulan-bulan lamanya. Orang di sekitarku justru menangisiku saat aku tersadar, mereka sangat khawatir. Sangking khawatirnya mereka tidak ada yang tersenyum kepadaku.

“Gimana apanya sih? Udah ah, Esta buru-buru nih. Kalau kamu suka baca novel. Nanti kita pasti akan ketemu lagi, entah itu di perpustakaan atau di toko novel. Kalau bertemu lagi, jangan lupa menyapaku ya, Agung!” katanya berlalu pergi setelah memberikan name tag ku.Dia tampak terburu-buru.

“Tunggu! Gue punya nasihat untuk lo,” aku mencoba menahannya sebentar.

“Apa?” tanyanya.

“Kalau lo mau nangis, jangan nangis sambil jalan ya. Lo nangis aja di bahu gue, biar tangan ini yang hapus airmata lo,” kataku setengah menghibur dan setengah merayunya.

Dia tersenyum lagi, dan melambaikan tangan sambil berkata,” Sampai ketemu lagi ya!”

“Besok, aku ingin bertemu denganmu lagi Esta,” teriakku pada gadis itu.

“Nanti kita bertemu lagi di sini,” jawabnya dari kejauhan. Dia berjalan keluar dari koridor dan menuju gerbang sekolah.

“Estania, gadis itu apakah akan menepati janjinya padaku?” tanyaku dalam hati.

Dia adalah gadis pertama yang ingin bertemu lagi denganku. Dia tidak seperti orang-orang di sekitarku yang selalu berkata kita pasti akan bertemu tapi tidak sekarang. Tentunya mereka orang tua ku yang selalu sibuk dengan bisnisnya. Sementara aku sakit, mereka tidak perduli.

*****
#The first impression makes the others impression in the others meeting#

by : gustindlest

Tidak ada komentar:

Posting Komentar