Part 2
“Esta bangun dong! Woi bangun! Lo bisa telat ke sekolah
kalo ga bangun sekarang,” kata seseorang sayup-sayup di telingaku.
“Jam.. be..ya..pa seka..yang?” tanyaku dari balik
selimut. Mata ini terasa di lem, setelah tiga hari ikut MOS badan ini capeknya
beeuuh seperti ditimpa karung besi.
“Jam tujuhhh kuraanggg limaaa belasss meniiittt,” eja nya di telingaku dengan suara menggelegar bagai petir. Dan benar saja aku seperti tersambar dan segera kocar-kacir ke kamar mandi.
“Kenapa ga bangunin dari tadi sih mas?” omel ku pada
Dimas, kakak lelaki ku yang sekarang sudah semester 2 di UNJ.
“Lo aja tidur kayak kebo!” sahut kakakku sambil ngeloyor
pergi.
Dia itu kakak tiriku. Yang paling ku sayang dan yang
paling wah perhatian banget ama adik perempuannya ini. Jlebb, kok aku malah
sibuk ngelamunin kakak ku sih. Ini kan udah telat?
*****
“Mampus, aku telat nih! Telat 30 menit lagi!” dumel ku
dalam hati seraya berlari menuju kelas yang jauhnya masih seratus meter di
depan.
Ketika aku hendak berbelok menuju pintu kelas, tiba-tiba
aku menubruk seseorang yang sedang berdiri di ambang pintu. Keseimbangank
goyah, dan selanjutnya aku terjatuh tepat di atas tubuh orang itu. Ramzi!
“Maaf zi, aku ga sengaja. Beneran!” ucapku sambil berdiri
dan mengulurkan tangan untuk membantunya tapi dia menepisnya dan berdiri
sendiri.
“Sialan!” umpatnya lirih namun masih bisa ku dengar. Aku
sedih sekali mendengarnya. Dia itu jahat sekali ternyata.
“Ramzi, aku kan udah minta maaf, kamu kok malah marah
sih?” tanyaku polos dan dengan tampang bersedih.
“Bukan untuk lo, bego! Tuh liat si Botak udah nongol.
Niat gue mau kabur dari kelas, gara-gara lo rencana gue gagal!” omel Ramzi
sambil berjalan kembali ke bangkunya.
“Oh, maaf ya. Esta beneran minta maaf!” kataku tulus dari
dalam hati. Dan aku seperti mengalami De Ja Vu. Aku dulunya pernah seperti ini,
mungkin? Ah paling hanya perasaan saja.
“Maaf ya anak-anak, bapak telat masuknya. Tadi ada
sedikit masalah di kantor,” kata Pak Jamal selaku guru Fisika kami yang
kepalanya botak abis.
“Hufft, syukur deh aku ternyata belum telat di absennya
Pak Jamal,” sebuah perasaan lega muncul di benakku. Dan perasaan senang juga,
karena tadi Ramzi berbicara padaku. Dia bicara meski agak gimana gitu. Secara
pakai gue-elo.
*****
Tadi itu aku ga sengaja tubrukan sama Estania. Ya Tuhan,
kenapa tadi aku berdebar-debar ya? Sangking gugupnya aku ga sengaja nepis
tangan dia. Padahal tadi rasanya aku ingin ketawa pas liat raut wajahnya
berubah muram begitu. Tapi ga jadi pas liat wajah Pak Jamal yang berjalan di
koridor.
Sekarang jam istirahat, aku ingin sekali menyapa Estania
yang sibuk berkutat dengan soal fisika. Tapi..
“Estania! Kamu itu siapa sih? Berani sekali ganggu
pikiranku!” pikiranku beradu dengan suara hati, perasaan kecewa tiba-tiba saja
menyelimutiku saat itu juga. Saat sedang memikirkan Estania, eh dianya sedang
didatangi Zacki. Kakak itu dari gelagatnya seperti menyukai Esta.
“Hai, Esta. Sedang apa? Bisa ikut kakak sebentar ga?”
suara Zacki terdengar sampai ke telingaku. Aku seperti merasa ada yang sakit di
dada ini. Persis seperti sakit saat dia meninggalkan dulu. Sialan. Jangan
biarkan aku kembali menyukai gadis yang sama, Tuhan.
“Maaf Kak, Esta ada tugas Fisika yang masih mau
dikerjain. Nanti aja ya kak,” kata Esta dengan nada bersalah.
Aku lega mendengarnya. Esta masih seperti yang dulu,
gadis itu masih seperti 3 tahun yang lalu. Lebih mementingkan pendidikan
daripada hubungan ga jelas yang bisa memporak-porandakan prestasinya, ya
seperti dulu. Saat dia meninggalkan SMP Karang Taruna di Surabaya untuk ikut
kelas unggulan di Jakarta.
Apakah dia memang benar-benar telah melupakanku? Meski
kami hanya bertemu sekali tapi dia masih ada di hatiku. Ya walaupun, rasa sakit
yang dia tinggalkan lebih dalam dari rasa sayangku. Tak bisakah yang
terlewatkan kembali lagi?
*****
“Hai, Esta. Sedang apa? Bisa ikut kakak sebentar ga?”
suara Zacki terdengar hingga ke telingaku.
Dia sedang menyapa Estania. Sungguh rasanya menyakitkan
sekali, dia menyapa gadis lain. Bukan aku, bukan aku Bellanya yang tersayang.
Dia tidak pernah minta maaf atas apa yang terlewatkan. Dia juga tidak
memperdulikanku meski aku tidak jauh dari sisinya. Benar, dia pasti telah
melupakanku. Meski dua tahun berlalu, tapi kenapa hatiku masih ingin dia kembali
ke sisi ku?
“Dasar Zacki sialan!” rutukku dalam hati seraya
mencoret-coret lagi gambar di kertas putih di atas mejaku. Tanpa sadar aku
menggambar wajahnya lagi.
“Kamu sedang apa, Bella?” suara Estania membuyarkan
lamunanku dan memadamkan amarahku. Dia gadis yang baik, sayangnya dia terlalu
lamban untuk menjadi temanku.
“Ga lagi ngapa-ngapain, ada perlu apa lo?” tanyaku ketus
agar dia segera menjauh.
“Ini, aku mau tanya soal Fisika. Aku ga bisa
ngerjainnya,” kata Esta takut-takut.
“Coba lo tanya ama yang lain aja deh, gue mau ke kantin,”
jawabku seraya meninggalkan dia dengan tampang kecewanya. Maaf ya Esta!
“Ramzi, lo kan pinter, ajarin Esta sana! Dia butuh
bantuan tuh!” kataku kepada Ramzi yang sibuk dengan novelnya. Heran,
cakep-cakep kok cupu!
“Berisik lo!” jawabnya mengacuhkanku.
Degg.. Suaranya itu seperti mengejutkan hatiku yang sudah
lama beku. Pantas saja pertama kali dia memperkenalkan diri, aku merasa
tertarik dengan sikap acuhnya. Dia mampu membuat hatiku terasa hidup setelah
Zacki pergi. Penasaran aku membalas ucapannya.
“Lo kok nyolot sih, Zi! Kalo ada orang ngomong, perhatiin
mukanya tau!” ucapku memancing
reaksinya.
Dia menutup novelnya dan berdiri dari bangku seraya
memandang tajam ke arah ku. Ramzi ini memang sangat tampan meski wajahnya
terkesan dingin dan acuh.
“Puas lo? Gue udah liatin wajah lo? Apa mau lebih deket
lagi?” tanyanya sambil memajukan wajah. Yup, dia berhasil membuat pipiku
memerah.
“Kurang ajar!” umpatku dalam hati dan pergi keluar kelas
menuju kantin. Hatiku berdebar tak menentu sekarang. Gilaaa, masa iya aku suka
sama Ramzi.
*****
Aku terpaku sesaat melihat adegan itu, saat dimana Ramzi
tampak seolah ingin mencium Bella. Hati ini sakit sekali. Padahal ini baru hari
ketiga aku kenal Ramzi. Tapi kenapa hati ini bilang kalo Ramzi itu pernah ada
di hatiku?
“Zi?” panggilku di sampingnya.
Dia tidak menyahut.
“Kamu mau bantuin aku ngerjain fisika ga?” tanyaku dengan
perasaan waspada. Takut-takut dia marah lagi.
“Mana soalnya?” sahut Ramzi tanpa mengalihkan pandangan
dari novelnya.
“Ini, nomor 4 dan 5,” ucapku sambil duduk di bangku depan
dan membalikkan bangku itu ke arahnya.
“Oh, ini mudah. Perhatikan ya,” dan dengan lancar serta
mudah dimengerti dia menjelaskan kepadaku.
“Ngerti kan?” tanya Ramzi sambil menatapku.
“Eh, iya ngerti kok. Makasih ya, ngomong-ngomong kamu
dulu SMP mana? Kok wajahnya ga asing gitu ya? Kita pernah ketemu ga
sebelumnya?” bertubi-tubi pertanyaan
mulus meluncur dari mulutku setelah dari tadi aku menahannya.
Ternyata Ramzi mematung di depanku. Dia menatapku dengan
pandangan yang sulit diartikan, entah apa tapi yang pasti tersirat dia ingin
mengatakan sesuatu. Namun yang keluar hanya hembusan nafas beratnya.
“Berisik banget lo! Sana pergi kalau udah ngerti
tugasnya,” bentak Ramzi dengan tatapan menajam.
“Eh, maaf ya. Maaf,” kata ku menyesal karena telah
membuatnya tersinggung.
*****
“Ngerti kan?” tanyaku setelah bersusah payah mencoba
menahan gejolak di dada saat Estania terus memperhatikanku dari jarak sedekat
ini.
Aku gugup sekali. Bertambah gugup saat dia menjawab
sekaligus bertanya “Eh, iya ngerti kok. Makasih ya, ngomong-ngomong kamu dulu
SMP mana? Kok wajahnya ga asing gitu ya? Kita pernah ketemu ga sebelumnya?”
Diam seribu bahasa, lidah ini kelu dan terasa sekali
sakit di dada ini. Dia bertanya apakah kami pernah mengenal sebelumnya? Jadi,
dia telah melupakan satu hari pertemuan singkat kami di perpustakaan hari itu.
-Flash Back-
“Aduh, maaf ya. Esta ga sengaja, beneran” kata seseorang
yang berdiri setelah dengan santai mendarat di atas tubuhku yang kurus ini.
“Maaf lo bilang? Lo ga liat gue udah ketiban buku eh
ketiban lo juga lagi,” ocehku sambil berdiri dan menahan sakit di kening. Ku
pikir pasti nanti bakalan benjol ni kening.
“Kan udah minta maaf, kamu kok malah marah sih?” sahutnya
sambil memunguti buku ku yang berserakan. Matanya tampak sembab.
“Wah, kamu suka baca novel ini ya?” tanya nya dengan
seulas senyum yang bisa membuat amarahku meredam.
“Bukan urusan lo, tau!” ucapku ketus dan dengan cepat
merebut kembali novel dari tangannya.
“Kamu itu pemarah ya? Kamu tau ga, orang pemarah itu
cepat tua lho! Esta aja ga pernah marah-marah, biarpun semua yang Esta sayangi
diambil Esta tetap bisa tersenyum,” celoteh gadis bernama Esta itu.
“Apa hubungannya coba?” aku jadi penasaran dengan
ucapannya.
“Gini ya, ini kan pertemuan pertama kita. Kalo kamu udah marah-marah
gini gimana pertemuan kita yang selanjutnya. Apa kamu tahu pertemuan pertama
itu bisa jadi menentukan nasib perpisahan kita,” terangnya dengan raut wajah
serius.
“Oh, begitu ya. Jadi harus bagaimana dong?” tanyaku
kepada gadis mungil berseragam putih-biru yang sekarang sedang tersenyum
kepadaku. Senyumnya manis sekali.
Aku bersumpah
tidak akan melupakan senyuman ini. Senyuman pertama yang hadir dalam hidupku
setelah aku terbaring tak sadarkan diri selama berbulan-bulan lamanya. Orang di
sekitarku justru menangisiku saat aku tersadar, mereka sangat khawatir.
Sangking khawatirnya mereka tidak ada yang tersenyum kepadaku.
“Gimana apanya sih? Udah ah, Esta buru-buru nih. Kalau
kamu suka baca novel. Nanti kita pasti akan ketemu lagi, entah itu di
perpustakaan atau di toko novel. Kalau bertemu lagi, jangan lupa menyapaku ya,
Agung!” katanya berlalu pergi setelah memberikan name tag ku.Dia tampak
terburu-buru.
“Tunggu! Gue punya nasihat untuk lo,” aku mencoba
menahannya sebentar.
“Apa?” tanyanya.
“Kalau lo mau nangis, jangan nangis sambil jalan ya. Lo
nangis aja di bahu gue, biar tangan ini yang hapus airmata lo,” kataku setengah
menghibur dan setengah merayunya.
Dia tersenyum lagi, dan melambaikan tangan sambil
berkata,” Sampai ketemu lagi ya!”
“Besok, aku ingin bertemu denganmu lagi Esta,” teriakku
pada gadis itu.
“Nanti kita bertemu lagi di sini,” jawabnya dari
kejauhan. Dia berjalan keluar dari koridor dan menuju gerbang sekolah.
“Estania, gadis itu apakah akan menepati janjinya
padaku?” tanyaku dalam hati.
Dia adalah gadis pertama yang ingin bertemu lagi
denganku. Dia tidak seperti orang-orang di sekitarku yang selalu berkata kita
pasti akan bertemu tapi tidak sekarang. Tentunya mereka orang tua ku yang
selalu sibuk dengan bisnisnya. Sementara aku sakit, mereka tidak perduli.
*****
#The first impression makes the others impression in the
others meeting#
by : gustindlest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar