Total Tayangan Halaman

Jumat, 15 Februari 2013

Renkarnasi Matahari, Bintang, dan Bulan



Part 1 ~Just be mine~
“Bintang, aku ada satu permintaan. Aku mau kamu nemuin aku sama pangeran charming ku. Aku harap dia adalah orang yang sedang ada di sebelah aku sekarang,” doaku dalam hati seraya menatap bintang jatuh diangkasa.
Aku memanjatkan harapan seperti ini sudah beribu kali namun tetap saja orang yang di sebelahku ini tidak pernah menunjukkan tanda-tanda bahwa dirinya adalah pangeran charming ku itu. Maksudku dia tidak menunjukkan kenyataan bahwa dia menyukaiku!
“Kamu pasti doa sama bintang jatuh lagi kan?” tanya nya kepadaku.
“Iya dong! Soalnya bintang jatuh pasti bakal ngabulin harapan aku,” kataku mantap.
“Kamu berharap apa, kenapa harus setiap malam?” dia menoleh penasaran padaku.
Aku bergumam dalam hati, “berharap kamu menjadi pangeran charming-ku, Ri.”
“Kok ga jawab?”
“Itu rahasia!” tegasku.

“Lan, besok kita masuk SMA baru. Apa yang kamu rasain?”
“Aku ngerasa bahagia. Bisa dapat teman baru,” kataku sambil tersenyum.
“Kok aku malah ngerasa bakal ada sesuatu yang hilang dan  bikin aku nyesel ya,” katanya sambil memasukkan tangan ke saku celananya.
“Kamu mau bilang, kalau kamu nyesel udah satu SMA sama aku ya?” sungutku.
“Bukan gitu! Entahlah aku juga ga tau apa.”
“Udah lah, Ri. Sekarang mending kita turun yuk! Udah jam 9, ntar telat bangun besok.”
“Kirain kamu mau tidur di atap,” ledeknya.
Aku dan Matahari memang sering naik ke atap rumah ini. Rumah Matahari memiliki sebuah balkon yang bentuk dan dekorasinya seperti di atap. Markas rahasia!
“Besok jemput aku ya, daaah Ari!” pamitku padanya saat dia mengantarkanku sampai di depan pagar rumah.
Sebenarnya Matahari tidak perlu mengantarku sampai depan rumah, karena rumahku hanya dua blok dari rumahnya. Dekat banget kan? Sedekat hati dia dan hatiku, cihuy!
                                                                             **           
“Bulannn!!! Bangun dong, Nak! Itu si Ari udah nungguin kamu, kalian bisa telat nanti,” teriak Ibu di telingaku.
“Jam berapa sih, Bun?” tanyaku setengah sadar sambil mengucek-ucek mata.
“Ini udah jam 6.20, Lan. Kamu pikir  jam  berapa?”
“Ohhh, jam 6…” aku mengangguk sambil mengucek-ngucek mata.
Berikutnya aku baru bisa mencerna kata-kata Bunda, “Apaaaaa jam 6.20? Bundaaa Bulaaan bisa telat!”
Aku segera berlari ke kamar mandi, mandi dengan secepat kilat dan terseok-seok memakai sepatu sambil menggigit roti. Rumeh banget deh!
“Jam berapa sekarang, Lan!” Ari ngedumel ga jelas saat aku menghampirinya.
“Udah tau mau telat, kenapa masih ngomel sih! Ayo cepetan tancap gas, Men!” perintahku pada Ari.
Bsssssst, motor ninja Ari melaju dengan lincah berkelok-kelok di antara kendaraan lain. Jam tanganku menunjukkan pukul 6.50 berarti masih tinggal 10 menit lagi sebelum bel masuk berbunyi.
“Akhirnya nyampe juga, untung ga telat ya, Lan?”
“Ha? Kamu kenapa Lan?” tanya ari panik saat dia membalikkan badan dan mendapati aku masih ternganga.
“Kamu naik motor kenceng banget sih, Ri. Aku jadi berantakan begini, rambutku hancur deh kayak singa pagi,” omelan ku sepertinya diacuhkan Ari. Dia hanya cekikikan saja.
“Tadi katanya tancap gas, yaudah jangan protes gitu dong!” bantahnya.
“Uhh, nyebelin. Yaudah aku ke toilet dulu ya, Ri. Masih ada 5 menit sebelum bel nih,” aku berjalan duluan dan Ari mengekor dari belakang.
“Buruan!” teriaknya dari luar toilet.
“Iya sabar, emang ke…” aku terbahak-bahak saat keluar dari toilet.
Ari sedang dikerubungi cewek-cewek yang bisa dibilang heboh banget. Ari kayaknya bakal populer deh. Dia itu tinggi, kulitnya putih, pintar dan jago basket lagi, apa yang kurang coba? Justru aku yang merasa sangat kurang, memang sih aku ini manis dengan lesung pipi di kanan kata orang-orang rambut panjangku ini bagus, tapi tetep aja aku ga punya kulit seputih tepung dan ga memiliki mata sebening air. Beruntung aku bisa dekat dengan Ari.
“Kamu lama amat sih, Lan. Kamu ga liat aku tadi habis dipermak ama tuh cewek-cewek,” dia menggerutu terus sepanjang jalan koridor.
“Harusnya kamu bersyukur, kamu itu disukai banyak cewek, Ri.”
“Alaaah, bodo!” sahutnya cuek.
Ari mengantarkan ku sampai di kelas 10-3. Dia beda kelas denganku. Ari ada di kelas 10-1 sementara aku di 10-3. Ah pisah ranjang nih, eeh?
Aku duduk sendirian di kelas ini, semua anak sudah dapat teman sebangku. Sampai bel berbunyi aku masih duduk sendiri. Dan saat aku sedang asyik membaca novel, aku merasa ada bayangan orang yang duduk di sampingku.
“Eh maaf, bangku itu ada yang…” aku tidak jadi mengusirnya.
Dia menatapku tajam lalu berkata dengan pedas, “Emang disini ada label kepunyaan siapa!”
Busyet, judes amat ni cowok. Iih serem!
Aku segera menggeser kursi menjauh darinya. Aku takut dimakan, euy!
Bel berbunyi dan saat itu ada segerombolan mandor masuk kelas. Eh, maksudnya kakak kelas ciinnn! Di bilang mandor karena habis ini kami pasti disuruh-suruh.
“Halo semua!” sapa kakak yang memperkenalkan diri sebagai Kak Dwitasari, katanya panggil Kak Dita aja. Dia itu tegas dan berjiwa leader, Oke!
Lalu semua kakak kelas memperkenalkan diri, ada yang namanya Kak Arya yang paling keren dan tampan, ada Kak Seto yang pendek lagi buntet, ups! Dan ada kak Syifa yang cantik dan manis. Cuma ada satu orang kakak kelas cowok yang berdiri di pojokan yang tidak memperkenal dirinya. Somse!
Kak Dita memberikan absensi kepada Kak Arya, dan dia mulai memanggil satu-persatu nama kami.
“Ha gila namanya bagus nih, Bulan Dewanti,” panggil Kak Arya.
“Hadir, Kak!”
“Wah, Ang. Kayaknya ada yang bakal jadi soulmate lo nih, nama aja cocok begitu” kata Kak Seto kepada cowok yang somse itu. Aku mengernyit heran.
“Oke semuanya sudah di absen, sekarang kita ngapain ya enaknya,” pancing Kak Arya.
Aku risih sendiri, kakak somse itu sejak tadi terus menatapku dengan menyelidik . Dia seperti mau menerkamku. Eh tapi kok dia kayak sedih gitu ya liat aku?
Sebenarnya dia itu cukup menarik, kulitnya putih terang dan hidungnya mancung. Wajahnya bisa dibilang setingkat dengan wajah Kak Arya. Rambutnya hitam berantakan itu seperti tidak disisir rapi, dan bajunya berantakan bangettt! Aku ngeri melihatnya, jangan-jangan dia playboy yang sok tebar pesona lagi.
“Kak, masa sih kakak cakep yang satu itu ga ngenalin diri,” sambar seorang cewek yang centil dari pojokan kiri.
Gileee, berani banget tu anak! Cari mati kali ya.
“Ang, iya nih. Payah lo! Kenalin diri dong jangan jaim gitu!” pinta Kak Syifa.
Brak, dia menepuk meja dengan keras. Dia menatap tajam pada gadis tadi, lalu tersenyum sinis.
“Kalo lo mau kenalan, sini langsung aja. Maju lo,” perintahnya.
“Wah gila si Bintang mau ngeluarin jurus mautnya nih, Syif! Sabar ya tahan nafas,” bisik Seto kepada Syifa.
Syifa mencetut dan mengalihkan pandangan dari Bintang.
“Lo tadi mau kenalan kan, sini! Lebih deket lagi,” seringai kakak itu.
“Kenalin gue Bintang Dewaputra, nama lo siapa? Pasti cantik deh, kayak orangnya.”
Jlebbb! Tu kan kakak itu playboy cap buaya selokan buntung.
“Nama saya Imelda, Kak” sahut cewek itu gugup. Gimana ga gugup, Kak Bintang megang tangannya lama banget, terus mandangnya dalem banget kayak mau bikin meleleh mata Imelda.
“Jadi, kalian bisa panggil dia Kak Bintang,” kata Kak Dita.
Aku merasa tidak nyaman duduk dengan cowok disebelahku ini. Dia sibuk makan terus, udah gendut gitu mau ngapain juga makan banyak! Lemaknya taro dimana coba. Uhh.
“Eh, kamu sini!” pinta Kak Seto padaku.
Aku berdiri dan menghampiri dia, “kenapa kak?”
“Kamu tukar tempat duduk ya, kamu duduk disini aja sendirian. Biar ni cowok duduk ama si gendut,” kata Kak Seto bagai bisa membaca pikiranku. Oh Penyelamat!
Sekarang aku duduk di depan meja guru, dan bangku sebelahku kosong. Aku senang dipindahkan kesini tapi aku ga senang Kak Bintang terus memandangiku.
“Woi, Ang! Woi! Jangan mandangin terus ntar dianya takut tau,” sindir Kak Arya pada Kak Bintang. Dan aku hanya cemberut saja.
Kak Syifa segera mengambil alih situasi, dia mengajak semua murid keluar untuk berkeliling sekolah. Mengenalkan seluk-beluk sekolah ini.
“Ari! Sini!” teriakku pada Ari ketika bel pulang berbunyi aku langsung menunggunya di depan kelas.
“Ngapain sih pake teriak-teriak, kamu kira aku budek apa!” Ari bersungut-sungut.
“Maaf, soalnya aku senang banget. Terlalu senang malah.”
“Emang kenapa?”
“Soalnya aku dapat teman baru namanya Nesa, dia pinter banget dan jago karate ya emang sih dandanannya rada cupu.”
“Ya emang setipe kayak kamu lah, hahaha” dia cengegesan.
“Terus kamu gimana, Ri?” tanyaku.
“Aku kenalan sama Dika dan Rangga tadi.”
“Anak basket juga ya?”
“Mereka sih hobi basket gitulah,” sambungnya.
“Ayo kita pulang!” dia menggandeng lenganku. Aku berdebar-debar. Aduhhh Bulan plis deh ga usah lebay, Ari kan udah biasa gandeng begini.
***
“Bintang, kamu kenapa? Yuk masuk, ini kan hari terakhir kita nge-MOS ni anak-anak,” syifa berkata sambil menepuk pundakku.
“Lo duluan aja,” sahutku sambil tetap memandang lurus ke depan.
Pandanganku terkunci pada dua buah sosok yang sedang berjalan sambil bercanda ria. Mereka sepertinya tidak sadar kalau bel masuk telah berbunyi dari tadi. Bulan Dewanti, nama kamu itu serasi dengan namaku. Menurut legenda, seharusnya bulan dan bintang bisa bersama-sama. Sudah lama aku menunggu kehadiranmu, Bulan. Atau kamu memang sengaja dikirim oleh…
“Lan, sana cepetan masuk, liat tuh kakak kelas yang itu daritadi memelototi kamu,” kata Ari seraya menunjuk pada seseorang yang sedang bersender di pintu kelasku.
“Kak Bintang! Aduh mampus ni aku, aku duluan ya Ri. Daaah” aku melambaikan tangan pada Ari dan berlari menuju kelas.
Di depan pintu kelas, Kak Bintang sudah menghadang. Dia tidak mengizinkan aku masuk.
“Kak, permisi aku mau masuk,” pintaku hati-hati.
“Lo terlambat!” tegasnya.
“Belum 5 menit kak,” sergahku karena anak baru boleh di hukum kalau sudah terlambat 5 menit. Dan aku baru terlambat 3 menit.
Dia menggeser tubuhnya yang jangkung sedikit mempersilahkan aku masuk. Dengan hati-hati aku lewat di sebelahnya. Deg! Jantungku berhenti berdetak ketika lenganku di tahan Kak Bintang.
“Yang tadi itu siapa?” tanyanya dengan tatapan menusuk.
“Yang mana, Kak?” tanyaku hati-hati.
“Yang jalan sama lo tadi.”
“Dia Ari temen aku, Kak. Kami berangkat dan pulang selalu bareng karena rumahnya dekat dengan rumahku,” jelasku dengan sedikit meremas rok. Aku ketakutan!
Dia tidak menanggapi dan memperat genggamannya di lenganku. Lalu dia menarikku masuk ke dalam kelas, dia duduk di bangku sebelahku.
Seisi kelas heran melihat kami, dan Kak Seto yang memang usil plus jahit banget itu mulai menyalakan api perang. Denggg!
“Cie, Bulan dan Bintang sudah bersanding ni di peraduannya,” ledek Kak Seto dan diiringi tepukan riuh dari para cowok. Sedangkan yang cewek pada sinis dan mengumpat kesal, secara gituloh Kak Bintang idola mereka duduk di sebelahku.
“Syifa, yang sabar ya!” kata Kak Arya menyindir Kak Syifa.
Ku lihat airmuka Kak Syifa menegang, apakah dia cemburu? Mereka pasti ada hubungan yang special. Mati aku!
****
“Lo tadi kenapa bro?” tanya Seto padaku saat bel istirahat berbunyi.
“Apanya yang kenapa?” tanyaku balik sambil menyeruput jus apelku.
Kami sedang duduk dan bersantai-santai di bawah tenda koperasi. Arya dan Seto dengan setia menemaniku.
“Tadi, kenapa lo duduk di samping Bulan. Kasihan Syifa, dia kayaknya envy berat tadi,” kata Arya.
“Udah berapa kali sih gue bilang, gue sama Syifa ga ada hubungan apa-apa,” bantahku tegas.
“Lagipula apa yang salah kalo gue duduk di sebelah Bulan sih, its ok!”
“Wah kacau lo, bro! Bintang yang gue kenal ga bakalan ngambil start duluan untuk dekatin cewek, lo itu ga pernah ngasih sinyal kalo lo suka sama cewek selama ini. Tapi tadi dari cara lo gandeng Bulan, siapapun bisa liat kalo lo suka dia,” celoteh Seto dengan tampang berduka atas kelakuan sembrono ku.
“Siapa bilang gue suka sama dia!”
“Jadi????” sambar keduanya bersamaan.
“I just wanna show to you that she just will be mine,” jawabku mantap.
“Gila! Bintang jatuh cinta bro! Wah bisa pada bubar ni anggota PB,” kata Arya.
“PB apaan sih?” tanyaku bingung.
“Parah lo! Masa si lo ga tau, PB itu Pecinta Bintang. Hampir semua cewek disini jadi anggotanya sejak lo pindah kemari, wah wah wah masa lo ga tau sih! Ck ck ck” decak Seto kesal.
“Emang gue pikirin! Udah lah, pokoknya lo pada harus bantuin gue. Kali ini gue serius sama Bulan,” kataku lalu berjalan menuju toilet.
“Wah, Bintang kayaknya emang saraf ni, Ya. Apa mungkin gara-gara legenda yang sering dia ceritain itu ya?” tanya Seto.
“Ssstt! Lo jangan begitu dong, harusnya kita bersyukur Bintang bisa jatuh cinta sama cewek. Gue kira selama ini dia hombreng! Gila aja cewek udah selapangan bola gitu ngantri mau jadi pacarnya, dia malah ga tertarik sama satupun. Untung ada Bulan!”
“Maaf kak,” kata seorang cowok yang ga sengaja menyenggol lenganku saat aku masuk ke dalam toilet.
Aku memperhatikan wajahnya, dia kan yang bersama dengan Bulan tadi. Kena lo!
“Woi, sini dulu. Sini!” perintahku pada cowok yang tingginya setara denganku.
Lumayan juga wajahnya, pantes aja Bulan nempel terus sama dia.
“Nama lo siapa?” tanyaku singkat.
Dia mengernyit heran lalu dengan santai menjawab, “Matahari Dewantara.”
Degg! Blsss! Kekacauan menerpa pikiranku, peristiwa ini terulang kembali. Dia ini saingan terberatku untuk mendapatkan bulan, dia adalah sang matahari. Aku akan mengalahkanmu!
“Bulan siapanya lo?” tanyaku datar.
Dia menatapku tajam saat aku menyebut nama bulan, dia menyukai Bulan! Aku sudah melihatnya tadi pagi, dari cara dia melihat Bulan ada siratan yang mendalam.
“Kenapa kakak bertanya?” balasnya acuh.
“Kalo lo bukan siapa-siapanya Bulan, gue akan rebut dia!” kataku sambil menepuk bahunya lalu berjalan menuju bilik toilet.
“Dia hanya milikku,” gumamnya pelan lalu pergi keluar dari toilet.
Ternyata renkarnasi itu benar-benar ada. Sekarang adalah saatnya Matahari dan Bintang bersaing memperebutkan Bulan!
Aku melihat bayangan wajahku di cermin toilet. Wajah ini mirip sekali dengan wajah Bintang Dewaputra. Dia adalah aku, dan aku adalah dia.
“Bintang, lo pasti bisa!” ucapku pada seonggok bayangan di cermin.
*****

by : gustindlest

Tidak ada komentar:

Posting Komentar