Total Tayangan Halaman

Jumat, 15 Februari 2013

Part 6 ~Maaf Atas Yang Terlewatkan~



Part 6

“Dimas, kamu lagi apa di dalam? Aku masuk ya,” aku sudah mengetok-ngetok pintu kamar, tapi Dimas tidak keluar juga.

“Esta, kamu ga boleh masuk kamar kakakmu kalau ga diizinin sayang,” teriak mama dari ruang tamu.

“Iya Ma! Aku cuma pengen ngambil novel aja kok bentar,” sahutku.


“Esta, kamu bisa bantu papa sebentar ga?” tanya papa dari kamar kerjanya yang tidak jauh dari kamar Dimas.

“Iya, Pa. Ada apa?” tanyaku.

“Tolong ya ambilkan papa map biru dari jok mobil papa,” katanya sambil terus mengetik.

“Tunggu bentar, Pa” sahutku.

Aku berjalan menuju mobil Papa di garasi, ketika sudah mendapatkan map biru itu ku lihat pintu gudang terbuka sedikit. Karena penasaran aku pergi melihat-lihat kesana.

“Mas, lo lagi ngapain disini!” tanyaku kaget melihat Dimas sedang duduk sambil memegangi sesuatu.

“Oh cuma cari barang lama aja kok, sana pergi. Bentar lagi gue keluar kok,” katanya gugup.

Kenapa Dimas gugup begitu? Pasti ada yang dia sembunyikan. Aku segera mengantarkan map ke papa dan cepat-cepat mencari Dimas. Dia tidak ada lagi di gudang, dimana dia?

“Ta, sini!” bisik Dimas dari balik pintu kamarnya.

“Kenapa Mas, pake bisik-bisik segala?” kataku saat memasuki kamarnya.

Aku jarang sekali masuk kamar Dimas, dia selalu melarangku. Ini yang kedua kalinya aku masuk kamarnya.

“Ini, gue tadi cari ini. Sekarang lo liat deh, cantik ga?” tanya Dimas padaku seraya menunjukkan sebuah foto perempuan.

“Dia siapa Mas?” aku bingung melihat foto itu. Gadis cantik berseragam SMU itu menggandeng mesra lengan Dimas mereka berfoto seperti sepasang kekasih.

“Namanya Lara, dia mantan gue. Cantik ya?” kata Dimas serak.

“Iya, cantik. Terus kenapa?” aku jadi penasaran jarang sekali Dimas bercerita tentang urusan pribadinya apalagi menyangkut hati.

“Tadi siang pas gue balik dari kampus, gue kan ke toko kaset. Gue ketemu dia, Ta. Setelah hampir 3 tahun dia ngilang,” jawabnya dengan senyum yang menyiratkan kebencian.

“Terus?” sahutku.

“Dia pengen balikan sama gue, Ta. Dia bilang waktu kami putus, dia terpaksa ikut orangtuanya pergi ke Paris. Jadi dia ga bisa lanjutin hubungan itu, tapi sekarang dia bakal menetap di Indonesia. Dia pengen balik sama gue,” celotehnya lembut.

“Ya bagus dong, Mas. Dia masih saying ama lo. Terus masalahnya apa?” tanyaku.

“Gue ga punya perasaan apapun sama dia sekarang, gue udah suka sama cewek lain. Jadi gue nolak dia, Ta. Terus dia nangis lalu pergi,” sambungnya.

“Ha? Sejak kapan kamu suka cewek lain, Mas? Aku pikir kamu masih sayang ama dia, jadi kamu ga mau pacaran dulu,” kataku setengah kaget.

“Ya bukanlah. Sekarang tu gue sukanya sama…” dia menggantung kalimatnya sebelum dia mengacak-ngacak rambutku.

“Sama siapa Mas?” tanyaku penasaran.

“Sama elo Ta, hahaha,” jawabnya asal.

“Dasar! Serius mas, kasih tau aku!” rengekku.

“Gue serius ta, masa sih lo ga percaya ama gue?” tanyanya dengan mimik lucu.

“Iya percaya. Udah ah aku mau mandi dulu, daaah kak Dimas,” jawabku dan beranjak dari kamarnya.

Aku merasa terkadang Dimas memang sering memperlakukan lebih dari sekedar adik, tapi aku selalu menepis keraguan itu. Dia kakakku, jadi ga mungkin hal itu terjadi.

*****
“Ya bukanlah. Sekarang tu gue sukanya sama…” aku menggantungkan kalimatku berharap kali ini Esta dapat mengetahui perasaanku yang sebenarnya.

“Sama siapa Mas?” tanyanya.

“Sama elo Ta, hahaha,” jawabku mantap.

“Dasar! Serius mas, kasih tau aku!” dia merajuk, dia pikir aku bercanda.

“Gue serius ta, masa sih lo ga percaya ama gue?” aku mencoba meyakinkannya tapi dia seperti menganggap ini sebuah lelucon.

“Iya percaya. Udah ah aku mau mandi dulu, daaah kak Dimas,” dia pergi meninggalkanku.

“Kamu ga percaya, Ta. Kamu ga pernah percaya sama aku,” gumamku.

Aku tertunduk lesu. Ini sudah kesekian kalinya aku menyatakan perasaanku tapi Esta tetap tidak menganggap serius. Aku mengambil sebuah buku berwarna biru dengan pita merah bergambarkan bentuk hati pada bagian sampulnya. Diary Esta yang ku ambil dari rumah lama.

Ku buka lagi lembaran terakhir, rasanya aku ingin menyerah saja untuk mendapatkan hati Esta. Secara tidak sadar, dia telah mengunci hatinya hanya untuk Agung seorang.

-FlashBack-

“Dimasssssssssss! Aw,” teriak Esta dari luar kamarku.

Aku segera membuka pintu kamar dan menemukannya terduduk di dekat tangga.

“Lo kenapa, Ta?” tanyaku panik.

“Ga apa-apa, cuma kepeleset aja, hehehe” jawabnya dengan wajah meringis.

Aku memapahnya duduk di kursi sofa. Dia mengatur nafasnya yang tersengal-sengal.

“Lo kenapa sih?” tanyaku heran. Tadi dia meringis sekarang senyam-senyum sendiri.

“Aku ketemu sama dia, Mas!” jawabnya semangat.

“Ketemu siapa?” tanyaku bingung.

“Itu loh cowok yang sering aku certain sering baca novel di perpustakaan. Aku baru tau ternyata namanya Agung. Aku kan sering cerita tentang dia, masa lupa sih!” rajuknya.

“Oh inget, dia kenapa?” sahutku malas.

“Tadi kan aku dapat nilai jelek di sekolah terus uang jajanku hilang, jadi aku nangis sambil jalan gitu,” jawabnya dengan pipi merona malu.

“Terus?” desakku.

“Ga tau gimana, ternyata aku berjalan menuju perpustakaan. Pas depan perpustakaan aku nunduk karena malu, ternyata aku nabrak seseorang Mas,” dia terdiam sejenak mengatur nafas.

“Kamu nabrak dia?” tebakku.

“Iya! Aku minta maaf sama dia, dia malah marah-marah. Aku jadi takut. Terus aku basa-basi dikit gitu, eh gatau nya dia ngajakin aku ketemuan lagi Mas, aku senang banget!” celotehnya bersemangat.

“Ketemuan lagi? dimana dan kapan?” tanyaku.

“Besok di depan perpustakaan, Mas,” jawabnya berseri-seri.

“Oh begitu,” tanggapku acuh.

Aku kesal, kenapa sih Esta harus bertemu dengan Agung itu! Mendengar setiap harinya Esta berecerita tentang bagaimana dia mengagumi sosok Agung, aku sudah tau bahwa Esta menyukai Agung. Dia pernah berkata Agung itu kayak pangeran berkuda-putih yang dingin, misterius tapi tatapannya dalem banget serasa nembus kena jantung. Gila kan dia?

Aku ga bisa biarin ini terjadi. Aku akan kehilangan dia jika begini terus. Malam nanti aku harus ungkapin perasaanku kepada Estania. Harus!

Malamnya aku mengajak Esta duduk di taman.

“Ta, gue mau lo tahu sesuatu,” kataku memulai pembicaraan.

“Apa?” tanyanya dengan wajah polos.

“Gue… gue.. ehm,” aku jadi gugup sendiri.

“Kamu kenapa Mas?” desaknya.

“Gue sayang banget sama lo, Ta. Dari awal sejak lo kenalin diri lo ke gue,” kataku serius.

Dia memicingkan mata dan setelah itu tertawa terbahak-bahak sambil berkata, “Iya, aku tau. Aku juga sayang Kak Dimas kok!”

“Bukan sayang sebagai adik, tapi gue sayang beneran ama lo, Ta. Dari sini ke sini,” ungkapku sambil menunjuk hatiku dan hatinya bergantian.

“Ha? Dimas leluconnya garing tau,” dia bersungut-sungut.

“Ini bukan lelucon, gue beneran sayang sama lo. Kita kan cuma saudara tiri dan ga ada hubungan darah, jadi wajar dong, Ta! Lagipula…” aku menghentikan ocehanku ketika melihat dia  beranjak pergi.

Dia berkata, “Kita ga boleh begini Kak!”

“Kenapa Ta? Kenapa?” tanyaku padanya seraya menahan tangannya agar tidak pergi.

“Kita saudara. Mama papa pasti bakal marah, kakak harus buang jauh-jauh perasaan itu, Kak!” gerutunya dengan suara menggelegar.

“Gue sayang sama lo! Dan perasaan itu ga bisa gitu aja gue buang tau! Hati gue udah milih lo, Ta. Cuma lo…” aku berhenti berkata-kata ketika Esta lirih menggumamkan sesuatu.

“Mama papa…” lirihnya pelan.

Aku menoleh ke beranda depan dan aku terkejut melihat mama dan papa berdiri disana. Mereka sepertinya mendengar semua yang kami bicarakan.

“Dimas! Masuk!” teriak papa padaku.

Aku masuk ke dalam rumah dengan kaki seperti di paku, aku tidak kuat meninggalkan Esta. Aku tau hal ini terlarang, tapi aku sudah terlanjur menyukainya.

“Esta, ikut mama ya sebentar,” terdengar suara mama lembut seraya membawa Esta pergi.

“Kamu sudah gila ya Dimas!” bentak papa padaku setelah kami sampai di ruang kerjanya.

“Pa, Dimas beneran…” belum sempat aku menyelesaikannya papa sudah memotong.

“Kamu ga boleh punya perasaan seperti itu Dimas, dia itu adik kamu! Sampai kapanpun papa ga akan biarin kamu memiliki perasaan itu, tau!” potongnya.

“Dimas sayang ke Esta, Pa. Kami hanya saudara tiri, jadi biarin...” kalimatku tertelan ke tenggorokan lagi saat sebuah tamparan mendarat di pipi kananku.

“Kamu akan papa kirim ke luar negeri besok pagi!” tegasnya.

“Pa!” aku tidak sanggup lagi berkata-kata.

“Aku akan bawa Esta pergi juga,” tegasku.

Aku berjalan keluar dan mencari Estania, aku menemukannya sedang menulis di kamar. Aku menyeret tangannya keluar dari kamar.

“Dimas, lepasin!” aku menggenggam tangannya erat agar dia tidak berlari dari sisiku.

“Kamu harus ikut aku, Ta!” bentakku.

“Dimas, lepasin adik kamu. Jangan gila!” teriak Papa seraya mengejar kami namun aku sudah lebih dulu menginjak gas mobil.

Mobil ini melaju dengan kecepatan tinggi sampai akhirnya aku bersedia mati bila bersama dengan Estania. Tiba-tiba aku merasa ada yang aneh.

Estania tersenyum padaku dia berkata, “Kak Dimas kalau ada kehidupan selanjutnya, aku janji akan lebih dulu menyukai Kak Dimas dibanding Agung. Tapi di kehidupan sekarang, aku hanya ingin menyukai Agung kak,” ungkapnya seraya memejamkan mata.
Aku terenyuh, aku merasa bodoh sekarang. Sebelum akal sehat ku kembali, tiba-tiba saja mobil yang aku kendarai menabrak mobil dari arah depan. Kami salah jalur.

“Estania, kakak minta maaf,” lirihku sebelum semuanya menjadi gelap.

Saat terbangun aku sudah berada di rumah sakit. Kami mengalami kecelakaan. Aku hanya terluka di bagian kaki dan siku. Namun luka di hatiku ini benar-benar lebih dalam.

“Dimas, kamu sudah bangun, Nak?” tanya mama saat dia masuk ke kamar.

“Esta, mana ma?” tanyaku. Aku khawatir sekarang.

“Dia sedang di ruang operasi, dia mengalami luka serius di bagian kepala,” kata mama lirih.

“Maafin aku ma,” aku menangis tersedu-sedu.

“Dimas, setelah Esta sadar nanti kamu harus janji sama mama dan papa kalau kamu harus ngelupain semua perasaan kamu itu ke Esta. Kamu janji ya?” ungkap mama.

“Dimas janji ma, asal Esta bisa sembuh,” ucapku mantap. Aku harus merelakan perasaan ini demi kebahagiaan Estania.

Setelah kecelakaan itu, Estania kehilangan sebagian ingatannya. Lalu kami pindah ke Jakarta untuk membuka lembaran baru.
**
Aku merasa sesak yang teramat sangat saat mengingat kejadian itu. Betapa bodohnya aku ini. Dalam tulisan terakhir yang dibuat Esta waktu itu, ternyata dia begitu menyayangiku.

06 Agustus 2009

Dear Diary,

Ry, hari ini aku senang sekaligus sedih. Kamu tau ga ada apa?
Aku senang karena aku bisa ketemu sama Agung, cowok yang sering aku ceritain belakangan ini. Ini pertemuan pertama kami dan besok adalah pertemuan kedua kami, mungkin* kalo kami jadi bertemu besok.
Tapi aku juga sedih, Ry.
Dimas kakak aku yang paling aku sayang ternyata sayang banget sama aku. Sangking sayangnya dia tega nyakitin hati aku, Ry. Dia tega bilang kalo dia suka sama aku lebih dari seorang adik, Ry. Jahat kan?
Sebenarnya sebelum aku bertemu Agung, aku juga suka sama Kak Dimas. Tapi aku selalu bisa yakinin hati aku, kalo dia itu kakak aku. Dan ini ga boleh aku rasain.
Ternyata malam ini, benteng pertahananku roboh Ry. Dia ngungkapin perasaannya. Dan aku ga sanggup lagi, Ry. Aku udah bisa ngilangin perasaan itu ke dia. Tapi kenapa dia malah begini?
Aku harus gimana Ry? Sekarang yang aku sayang cuma Agung. Hanya dia, Ry. Karena dia adalah cowok pertama yang bisa obatin luka ini, luka karena menyayangi kakak sendiri.
Di kehidupan selanjutnya, aku berharap Dimas bukan kakakku. Jadi aku bebas menyukainya! Tapi di kehidupan sekarang aku hanya akan menyukai Agung.
Love, Estania :’)

Ku tutup buku diary itu dan ku sembunyikan di bawah kotak di laciku.
Mungkin di kehidupan selanjutnya aku akan bersama Estania. Jadi sekarang aku harus menyerah dan merelakannya. Mama dan papa juga sakit bila aku terus begini.

*****
#Di kehidupan selanjutnya aku akan bersamamu, aku janji#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar