Part 6
“Dimas, kamu lagi apa di dalam? Aku masuk ya,” aku sudah
mengetok-ngetok pintu kamar, tapi Dimas tidak keluar juga.
“Esta, kamu ga boleh masuk kamar kakakmu kalau ga
diizinin sayang,” teriak mama dari ruang tamu.
“Iya Ma! Aku cuma pengen ngambil novel aja kok bentar,”
sahutku.
“Esta, kamu bisa bantu papa sebentar ga?” tanya papa dari kamar kerjanya yang tidak jauh dari kamar Dimas.
“Iya, Pa. Ada apa?” tanyaku.
“Tolong ya ambilkan papa map biru dari jok mobil papa,”
katanya sambil terus mengetik.
“Tunggu bentar, Pa” sahutku.
Aku berjalan menuju mobil Papa di garasi, ketika sudah
mendapatkan map biru itu ku lihat pintu gudang terbuka sedikit. Karena penasaran
aku pergi melihat-lihat kesana.
“Mas, lo lagi ngapain disini!” tanyaku kaget melihat
Dimas sedang duduk sambil memegangi sesuatu.
“Oh cuma cari barang lama aja kok, sana pergi. Bentar
lagi gue keluar kok,” katanya gugup.
Kenapa Dimas gugup begitu? Pasti ada yang dia
sembunyikan. Aku segera mengantarkan map ke papa dan cepat-cepat mencari Dimas.
Dia tidak ada lagi di gudang, dimana dia?
“Ta, sini!” bisik Dimas dari balik pintu kamarnya.
“Kenapa Mas, pake bisik-bisik segala?” kataku saat
memasuki kamarnya.
Aku jarang sekali masuk kamar Dimas, dia selalu
melarangku. Ini yang kedua kalinya aku masuk kamarnya.
“Ini, gue tadi cari ini. Sekarang lo liat deh, cantik
ga?” tanya Dimas padaku seraya menunjukkan sebuah foto perempuan.
“Dia siapa Mas?” aku bingung melihat foto itu. Gadis
cantik berseragam SMU itu menggandeng mesra lengan Dimas mereka berfoto seperti
sepasang kekasih.
“Namanya Lara, dia mantan gue. Cantik ya?” kata Dimas
serak.
“Iya, cantik. Terus kenapa?” aku jadi penasaran jarang
sekali Dimas bercerita tentang urusan pribadinya apalagi menyangkut hati.
“Tadi siang pas gue balik dari kampus, gue kan ke toko
kaset. Gue ketemu dia, Ta. Setelah hampir 3 tahun dia ngilang,” jawabnya dengan
senyum yang menyiratkan kebencian.
“Terus?” sahutku.
“Dia pengen balikan sama gue, Ta. Dia bilang waktu kami
putus, dia terpaksa ikut orangtuanya pergi ke Paris. Jadi dia ga bisa lanjutin
hubungan itu, tapi sekarang dia bakal menetap di Indonesia. Dia pengen balik
sama gue,” celotehnya lembut.
“Ya bagus dong, Mas. Dia masih saying ama lo. Terus
masalahnya apa?” tanyaku.
“Gue ga punya perasaan apapun sama dia sekarang, gue udah
suka sama cewek lain. Jadi gue nolak dia, Ta. Terus dia nangis lalu pergi,”
sambungnya.
“Ha? Sejak kapan kamu suka cewek lain, Mas? Aku pikir
kamu masih sayang ama dia, jadi kamu ga mau pacaran dulu,” kataku setengah
kaget.
“Ya bukanlah. Sekarang tu gue sukanya sama…” dia
menggantung kalimatnya sebelum dia mengacak-ngacak rambutku.
“Sama siapa Mas?” tanyaku penasaran.
“Sama elo Ta, hahaha,” jawabnya asal.
“Dasar! Serius mas, kasih tau aku!” rengekku.
“Gue serius ta, masa sih lo ga percaya ama gue?” tanyanya
dengan mimik lucu.
“Iya percaya. Udah ah aku mau mandi dulu, daaah kak
Dimas,” jawabku dan beranjak dari kamarnya.
Aku merasa terkadang Dimas memang sering memperlakukan
lebih dari sekedar adik, tapi aku selalu menepis keraguan itu. Dia kakakku,
jadi ga mungkin hal itu terjadi.
*****
“Ya bukanlah. Sekarang tu gue sukanya sama…” aku menggantungkan
kalimatku berharap kali ini Esta dapat mengetahui perasaanku yang sebenarnya.
“Sama siapa Mas?” tanyanya.
“Sama elo Ta, hahaha,” jawabku mantap.
“Dasar! Serius mas, kasih tau aku!” dia merajuk, dia
pikir aku bercanda.
“Gue serius ta, masa sih lo ga percaya ama gue?” aku
mencoba meyakinkannya tapi dia seperti menganggap ini sebuah lelucon.
“Iya percaya. Udah ah aku mau mandi dulu, daaah kak
Dimas,” dia pergi meninggalkanku.
“Kamu ga percaya, Ta. Kamu ga pernah percaya sama aku,”
gumamku.
Aku tertunduk lesu. Ini sudah kesekian kalinya aku
menyatakan perasaanku tapi Esta tetap tidak menganggap serius. Aku mengambil
sebuah buku berwarna biru dengan pita merah bergambarkan bentuk hati pada
bagian sampulnya. Diary Esta yang ku ambil dari rumah lama.
Ku buka lagi lembaran terakhir, rasanya aku ingin
menyerah saja untuk mendapatkan hati Esta. Secara tidak sadar, dia telah
mengunci hatinya hanya untuk Agung seorang.
-FlashBack-
“Dimasssssssssss! Aw,” teriak Esta dari luar kamarku.
Aku segera membuka pintu kamar dan menemukannya terduduk
di dekat tangga.
“Lo kenapa, Ta?” tanyaku panik.
“Ga apa-apa, cuma kepeleset aja, hehehe” jawabnya dengan
wajah meringis.
Aku memapahnya duduk di kursi sofa. Dia mengatur nafasnya
yang tersengal-sengal.
“Lo kenapa sih?” tanyaku heran. Tadi dia meringis
sekarang senyam-senyum sendiri.
“Aku ketemu sama dia, Mas!” jawabnya semangat.
“Ketemu siapa?” tanyaku bingung.
“Itu loh cowok yang sering aku certain sering baca novel
di perpustakaan. Aku baru tau ternyata namanya Agung. Aku kan sering cerita
tentang dia, masa lupa sih!” rajuknya.
“Oh inget, dia kenapa?” sahutku malas.
“Tadi kan aku dapat nilai jelek di sekolah terus uang
jajanku hilang, jadi aku nangis sambil jalan gitu,” jawabnya dengan pipi merona
malu.
“Terus?” desakku.
“Ga tau gimana, ternyata aku berjalan menuju
perpustakaan. Pas depan perpustakaan aku nunduk karena malu, ternyata aku nabrak
seseorang Mas,” dia terdiam sejenak mengatur nafas.
“Kamu nabrak dia?” tebakku.
“Iya! Aku minta maaf sama dia, dia malah marah-marah. Aku
jadi takut. Terus aku basa-basi dikit gitu, eh gatau nya dia ngajakin aku
ketemuan lagi Mas, aku senang banget!” celotehnya bersemangat.
“Ketemuan lagi? dimana dan kapan?” tanyaku.
“Besok di depan perpustakaan, Mas,” jawabnya
berseri-seri.
“Oh begitu,” tanggapku acuh.
Aku kesal, kenapa sih Esta harus bertemu dengan Agung
itu! Mendengar setiap harinya Esta berecerita tentang bagaimana dia mengagumi
sosok Agung, aku sudah tau bahwa Esta menyukai Agung. Dia pernah berkata Agung
itu kayak pangeran berkuda-putih yang dingin, misterius tapi tatapannya dalem
banget serasa nembus kena jantung. Gila kan dia?
Aku ga bisa biarin ini terjadi. Aku akan kehilangan dia
jika begini terus. Malam nanti aku harus ungkapin perasaanku kepada Estania.
Harus!
Malamnya aku mengajak Esta duduk di taman.
“Ta, gue mau lo tahu sesuatu,” kataku memulai
pembicaraan.
“Apa?” tanyanya dengan wajah polos.
“Gue… gue.. ehm,” aku jadi gugup sendiri.
“Kamu kenapa Mas?” desaknya.
“Gue sayang banget sama lo, Ta. Dari awal sejak lo kenalin
diri lo ke gue,” kataku serius.
Dia memicingkan mata dan setelah itu tertawa
terbahak-bahak sambil berkata, “Iya, aku tau. Aku juga sayang Kak Dimas kok!”
“Bukan sayang sebagai adik, tapi gue sayang beneran ama
lo, Ta. Dari sini ke sini,” ungkapku sambil menunjuk hatiku dan hatinya
bergantian.
“Ha? Dimas leluconnya garing tau,” dia bersungut-sungut.
“Ini bukan lelucon, gue beneran sayang sama lo. Kita kan
cuma saudara tiri dan ga ada hubungan darah, jadi wajar dong, Ta! Lagipula…”
aku menghentikan ocehanku ketika melihat dia
beranjak pergi.
Dia berkata, “Kita ga boleh begini Kak!”
“Kenapa Ta? Kenapa?” tanyaku padanya seraya menahan
tangannya agar tidak pergi.
“Kita saudara. Mama papa pasti bakal marah, kakak harus
buang jauh-jauh perasaan itu, Kak!” gerutunya dengan suara menggelegar.
“Gue sayang sama lo! Dan perasaan itu ga bisa gitu aja
gue buang tau! Hati gue udah milih lo, Ta. Cuma lo…” aku berhenti berkata-kata
ketika Esta lirih menggumamkan sesuatu.
“Mama papa…” lirihnya pelan.
Aku menoleh ke beranda depan dan aku terkejut melihat
mama dan papa berdiri disana. Mereka sepertinya mendengar semua yang kami
bicarakan.
“Dimas! Masuk!” teriak papa padaku.
Aku masuk ke dalam rumah dengan kaki seperti di paku, aku
tidak kuat meninggalkan Esta. Aku tau hal ini terlarang, tapi aku sudah
terlanjur menyukainya.
“Esta, ikut mama ya sebentar,” terdengar suara mama
lembut seraya membawa Esta pergi.
“Kamu sudah gila ya Dimas!” bentak papa padaku setelah
kami sampai di ruang kerjanya.
“Pa, Dimas beneran…” belum sempat aku menyelesaikannya
papa sudah memotong.
“Kamu ga boleh punya perasaan seperti itu Dimas, dia itu
adik kamu! Sampai kapanpun papa ga akan biarin kamu memiliki perasaan itu,
tau!” potongnya.
“Dimas sayang ke Esta, Pa. Kami hanya saudara tiri, jadi
biarin...” kalimatku tertelan ke tenggorokan lagi saat sebuah tamparan mendarat
di pipi kananku.
“Kamu akan papa kirim ke luar negeri besok pagi!”
tegasnya.
“Pa!” aku tidak sanggup lagi berkata-kata.
“Aku akan bawa Esta pergi juga,” tegasku.
Aku berjalan keluar dan mencari Estania, aku menemukannya
sedang menulis di kamar. Aku menyeret tangannya keluar dari kamar.
“Dimas, lepasin!” aku menggenggam tangannya erat agar dia
tidak berlari dari sisiku.
“Kamu harus ikut aku, Ta!” bentakku.
“Dimas, lepasin adik kamu. Jangan gila!” teriak Papa
seraya mengejar kami namun aku sudah lebih dulu menginjak gas mobil.
Mobil ini melaju dengan kecepatan tinggi sampai akhirnya
aku bersedia mati bila bersama dengan Estania. Tiba-tiba aku merasa ada yang
aneh.
Estania tersenyum padaku dia berkata, “Kak Dimas kalau
ada kehidupan selanjutnya, aku janji akan lebih dulu menyukai Kak Dimas
dibanding Agung. Tapi di kehidupan sekarang, aku hanya ingin menyukai Agung
kak,” ungkapnya seraya memejamkan mata.
Aku terenyuh, aku merasa bodoh sekarang. Sebelum akal
sehat ku kembali, tiba-tiba saja mobil yang aku kendarai menabrak mobil dari
arah depan. Kami salah jalur.
“Estania, kakak minta maaf,” lirihku sebelum semuanya
menjadi gelap.
Saat terbangun aku sudah berada di rumah sakit. Kami
mengalami kecelakaan. Aku hanya terluka di bagian kaki dan siku. Namun luka di
hatiku ini benar-benar lebih dalam.
“Dimas, kamu sudah bangun, Nak?” tanya mama saat dia
masuk ke kamar.
“Esta, mana ma?” tanyaku. Aku khawatir sekarang.
“Dia sedang di ruang operasi, dia mengalami luka serius
di bagian kepala,” kata mama lirih.
“Maafin aku ma,” aku menangis tersedu-sedu.
“Dimas, setelah Esta sadar nanti kamu harus janji sama
mama dan papa kalau kamu harus ngelupain semua perasaan kamu itu ke Esta. Kamu
janji ya?” ungkap mama.
“Dimas janji ma, asal Esta bisa sembuh,” ucapku mantap.
Aku harus merelakan perasaan ini demi kebahagiaan Estania.
Setelah kecelakaan itu, Estania kehilangan sebagian
ingatannya. Lalu kami pindah ke Jakarta untuk membuka lembaran baru.
**
Aku merasa sesak yang teramat sangat saat mengingat
kejadian itu. Betapa bodohnya aku ini. Dalam tulisan terakhir yang dibuat Esta
waktu itu, ternyata dia begitu menyayangiku.
06 Agustus 2009
Dear Diary,
Ry, hari ini aku
senang sekaligus sedih. Kamu tau ga ada apa?
Aku senang karena aku
bisa ketemu sama Agung, cowok yang sering aku ceritain belakangan ini. Ini
pertemuan pertama kami dan besok adalah pertemuan kedua kami, mungkin* kalo
kami jadi bertemu besok.
Tapi aku juga sedih,
Ry.
Dimas kakak aku yang
paling aku sayang ternyata sayang banget sama aku. Sangking sayangnya dia tega
nyakitin hati aku, Ry. Dia tega bilang kalo dia suka sama aku lebih dari
seorang adik, Ry. Jahat kan?
Sebenarnya sebelum
aku bertemu Agung, aku juga suka sama Kak Dimas. Tapi aku selalu bisa yakinin
hati aku, kalo dia itu kakak aku. Dan ini ga boleh aku rasain.
Ternyata malam ini,
benteng pertahananku roboh Ry. Dia ngungkapin perasaannya. Dan aku ga sanggup
lagi, Ry. Aku udah bisa ngilangin perasaan itu ke dia. Tapi kenapa dia malah
begini?
Aku harus gimana Ry?
Sekarang yang aku sayang cuma Agung. Hanya dia, Ry. Karena dia adalah cowok
pertama yang bisa obatin luka ini, luka karena menyayangi kakak sendiri.
Di kehidupan
selanjutnya, aku berharap Dimas bukan kakakku. Jadi aku bebas menyukainya! Tapi
di kehidupan sekarang aku hanya akan menyukai Agung.
Love, Estania :’)
Ku tutup buku diary itu dan ku sembunyikan di bawah kotak
di laciku.
Mungkin di kehidupan selanjutnya aku akan bersama
Estania. Jadi sekarang aku harus menyerah dan merelakannya. Mama dan papa juga
sakit bila aku terus begini.
*****
#Di kehidupan selanjutnya aku akan bersamamu, aku janji#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar