Part
3 ~Bizarre~
Aku
baru duduk sebentar di kelas ketika ku dengar rebut-ribut dari arah luar. Akupun
tidak ambil pusing dan hanya duduk di bangku. Lalu Rangga datang dan berkata
dengan terbata-bata.
“Ri,
lo keluar seka..rang deh! Itu… itu…” katanya ga jelas.
“Apaan
sih, ngomong tu pelan-pelan Rang,” kataku sambil mengelus pungunggnya.
“Itu
cewek lo, Bulan. Anu…”
“Bulan
kenapa?” desakku.
“Dia
lagi ditembak Kak Bintang!” katanya lantang dan nyaring seperti telah
mengeluarkan sesuatu yang menyumpal ternggorokannya.
Aku segera berlari keluar kelas dan melihat ke lapangan, tetapi kosong. Tidak ada yang terjadi disana. Lalu pandanganku menjurus ke arah kelas Bulan. 10-3 sedang dikelilingi gerombolan siswa-siswi. Aku berlari sambil mengepalkan tangan, aku harus menahan emosi.
“Bulan,
gue mau nyanyi sebuah lagu buat lo. Dengerin ya,” kata Kak Bintang lalu memetik
gitarnya.
Kemarin
ku lihat awan membentuk wajahmu
Desau
angin meniupkan namamu
Tubuhku
terpaku
Semalam
bulan sabit melengkungkan senyummu
Tabur
bintang serupa kilau auramu
Akupun
sadari ku sedang berlari
Cepat
pulang cepat kembali
Jangan
pergi lagi firasatku ingin kau
Tuk
cepat pulang cepat kembali jangan pergi lagi
“Wah si Bintang emang udah gila
sekarang, Bro! Tindakannya ini bisa bikin PB bubar beneran gara-gara patah
hati,” kata Seto dan Arya hanya tersenyum.
“Lo harusnya bangga Si Bintang udah
gentleman sekarang, berani bertindak di depan umum lagi! Gue salut ama dia,”
sahut Arya.
“Ckckck, tapi liat aja bentar lagi Si
Bulan bakalan kena masalah besar gara-gara ini. Kalo ga mati dipermak para
anggota PB dia mati digibeng ama Syifa coi,” kata Dita menyambar obrolan
mereka.
“Iya juga ya, aduh kasian nasib cinta
bulan dan bintang!” Seto melihat keduanya dengan tampang prihatin.
Akhirnya
bagai sungai yang mendamba samudra
Ku
tau pasti kemana kan ku bermuara
Semoga
ada waktu sayangku
Ku
percaya alampun berbahasa
Ada
makna dibalik semua pertanda
Firasat
ini rasa rindu kah atau tanda bahaya
Aku
tak perduli ku terus berlari
Cepat
pulang cepat kembali jangan pergi lagi
Firasatku
ingin kau tuk cepat pulang cepat kembali jangan pergi lagi
Aku hanya bisa diam membeku di bangku ku
saat Kak Bintang terus menyanyi di depan kelas. Guru sedang rapat jadi acara
ini akan terus berlanjut sampai Kak Bintang berhenti memalukan dirinya sendiri.
Lebih tepatnya kami berdua ding!
Dan
lihatlah sayang, hujan turun membasahi seolah ku berairmata
Cepat
pulang cepat kembali jangan pergi lagi
Firasatku
ingin kau tuk cepat pulang cepat kembali jangan pergi lagi
Cepat
pulang cepat kembali jangan pergi lagi
Firasatku
ingin kau tuk cepat pulang cepat kembali jangan pergi lagi
Akupun
sadari engkaulah… firasat hati
Semuanya bertepuktangan setelah Kak
Bintang selesai menyanyi, ku lihat dia berjalan menghampiri Bulan di bangkunya.
“Lan, ini lagu untuk lo semoga lo suka
ya,” katanya seraya mengedipkan sebelah mata.
Bulan hanya terdiam dan tak bereaksi,
aku tidak tau apa yang sedang ada di pikiran Bulan sekarang. Tapi yang ku tau,
yang sedang ada di pikiranku adalah menghajar Bintang!
Bintang berjalan keluar dari kelas dan
dia memicingkan mata sambil tersenyum bangga saat berpapasan denganku. Dia
seolah berkata “Gue menang telak boy!”
Aku mengepalkan tangan, emosiku sudah
ada di ubun-ubun. Tapi Rangga dan Dika menahan langkahku dan membawa ku kembali
ke kelas.
“Kalian kenapa tadi nahan gue, hah!”
“Lo jangan gila deh, Ri! Lo pikir lo
siapanya Bulan coba, pikir dulu sebelum lo bertindak,” kata Rangga.
“Iya, Ri! Lagian lo sama Bulan kan ga
ada hubungan resmi, jadi seharusnya lo ga boleh marah kalau Si Bintang berani
kayak tadi,” sambung Dika.
Aku terdiam sejenak, aku merasa kalah
sekarang. Bintang saja berani mengutarakan perasaannya di hadapan umum.
Sedangkan aku selama ini hanya merasa cukup bahagia bila bersama Bulan. Kalau
Bulan belum menjadi milikku, aku masih bisa kehilangan dia. Sial!
“Lo harus bilang yang sebenarnya lo
rasain ke Bulan, Ri!” nasehat Dika padaku.
“Gue takut kehilangan dia, gue takut dia
pergi kalo gue jujur,” ungkapku sambil menahan kekecewaan yang mendalam.
Bulan masih diam saja saat Nesa
meneriakinya dan menggoyang-goyangkan tubuhnya. Sepertinya Bulan masih linglung
dan shock dengan kejadian barusan.
“Bulan! Sadar dong!”
“Nes, aku ke kelas Ari dulu ya
sebentar!” sahut Bulan cepat setelah kesadarannya kembali.
“Ngapain sih, seharusnya kamu tuh
nenangin diri dulu. Bukannya malah nyari si Ari, lagian tadi aku liat kok Ari
diem aja pas ketemu Kak Bintang.”
“Ari ngeliat yang tadi?” tanyaku kaget.
“Iya dong! Seisi sekolah juga pasti udah
tau sekarang, kamu bakal jadi bahan gosip terhangat sekarang,” nesa terus
mengoceh sambil tetap memegang tanganku erat agar aku tidak kabur.
“Aku harus gimana, pasti Ari bakal mikir
yang macem-mecem.”
“Lo harusnya mikirin diri lo sendiri,
pasti semua cewek di sekolah bakalan cari ribut sama lo gara-gara mereka envy.”
Degg! Aku merasa tersambar petir. Iya
juga kemungkinan itu pasti bakalan terjadi. Aku jadi merasa ngeri keluar kelas.
Sampai bel pulang berbunyi aku akan terus di kelas.
“Lagu yang lo nyanyiin itu…” kata Syifa
saat aku melewatinya di koridor.
“Ga ada yang salah kan, Syif!”
“Lo udah gila, Ang. Ga cukup lo pindah
ke sini, gue sampe harus nyusul lo pindah ke sini tau. Ternyata sia-sia ya,”
ujarnya prihatin.
“Lagu tadi jelas banget lo tujukan buat
siapa,” sambungnya.
Aku berjalan menjauh darinya, aku tidak
akan menyangkutpautkan dia dalam pertempuran ini. Ini hanya untuk aku, Bulan,
dan Matahari!
**
Biarpun banyak murid cewek yang sekelas
ataupun ga sekelas mengumpat di belakangku. Aku tidak perduli. Aku merasa aman kalau
di kelas, karena ada Nesa biarpun dia cupu dia jago karate. Jadi kalau ada yang
macam-macam sama aku, Nesa bakalan bertindak! Sebenarnya Nesa ini manis dengan
bibir tipisnya dan alisnya yang seperti semut berbaris itu. Dia tambah keliatan
lucu dengan kacamatanya yang selalu melorot ke hidung. Sayang dia ga pede aja,
kayak gue pede aja. Hihihi
“Ari mana ya, nes?” tanyaku gelisah.
“Lo pulang sama gue aja deh,” bujuk Nesa
padaku.
Gara-gara kejadian tadi pagi, mungkin
Ari marah sama aku jadi dia ga mau nganterin aku pulang atau malah dia ga mau
ketemu sama aku. Wuaaah!!
“Nah, itu Ari!” aku melambai padanya
saat dia sudah berjalan di koridor.
“Ri, kamu lama amat keluar kelasnya.”
“Sorry tadi aku jagain piket kelas,”
katanya tanpa menatapku.
“Ri, masalah tadi pagi itu…”
“Yuk kita pulang!” katanya memotong
kalimatku. Dia tidak mau membahas masalah tadi pagi. Syukurlah!
Semua murid terus berbisik-bisik saat
aku dan Ari lewat. Ada juga yang dengan berani meneriaki kami, “Woi! Enak
banget ya jadi Bulan, ada Bintang dan Matahari yang jagain.”
Aku melirik Ari, tapi dia tidak merespon
sedikitpun. Raut wajahnya pun datar saja. Ari aneh sekali sekarang, dia tanpa
ekspresi. Aku jadi takut.
“Eh, Bulan. Lo jangan serakah dong,
kalau udah ada Bintang, Matahari kasih ke yang lain!!” teriak Imelda saat kami
sampai di parkiran.
“Ni pake helmnya,” kata Ari seraya
menyodorkan helm. Dia tidak merasa terganggu dengan semua kehebohan di sekitar.
Motor Ari melaju dengan pelan, aku
merasa kelakuan Ari jadi aneh. Sangat aneh! Sejak dulu Ari selalu menampilkan
ekspresi kalau dia sedang marah, sedih, atau senang. Tapi sekarang dia hanya
diam dan berpura-pura tidak mendengar apapun.
Sesampainya di rumah, aku segera
berganti pakaian dan pergi ke rumah Ari. Aku harus membahas soal tadi dengan
Ari. Harus!
“Aduh ada Bulan ya, maaf ya. Ari nya
lagi ke rumah Dika, barusan aja pergi,” kata Tante Risa saat dia membukakan
pintu pagar.
“Oh iya deh, bilangin Ari ya kalau Bulan
cari dia, suruh dia ke rumah aku ya tante.”
“Iya tante sampaikan kalau dia sudah
pulang,” jawab tante lalu aku berbalik pulang.
Sampai jam menunjukkan pukul 9 malam,
Ari tidak juga datang ke rumahku. Aku merasa keanehan ini harus berakhir. Tapi
apa aku harus ke rumah Ari malam-malam begini?
“Eh, Bulan! Ayo masuk dulu. Tapi maaf
ya, ari tadi udah pulang tapi dia bilang katanya mau nginep di rumah Rangga.
Padahal tante udah sampein loh kalau kamu nyariin dia,” perkataan tante Risa
membuatku lemas.
“Oh yasudah, aku pulang aja deh tante.
Kalau dia nginep di rumah Rangga, berarti dia ga bisa nganter aku besok ya?”
tanyaku.
“Eh iya, tadi Ari bilang begitu.”
Tuh kan Ari! Dia menghindari aku. Aku
pulang dan segera membanting pintu kamar.
Aku kecewa sama Ari, kalau ada masalah
harusnya dia ngomong sama aku bukan malah menghindar.
Aku mengambil ponsel dari tasku, segera
ku ketik sebuah pesan untuk Ari.
To : Matahari-ku
Ri, kita harus bicara! Kamu jangan
begini, aku takut.
Setelah ada laporan pengiriman, aku
tertidur sambil memeluk ponsel berharap besok pagi aku membaca balasan dari
Ari.
“Ri, ponsel lo bergetar ni. Ada inbox
kayaknya,” teriak Rangga dari kamar.
Aku sedang menatap bintang di balkon
rumahnya Rangga. Aku sengaja melarikan diri kesini, sampai sekarang aku tidak
tau bagaimana harus menanggapi semua yang terjadi.
Yang penting sekarang aku harus
menghindari Bulan. Aku takut apapun yang ku katakana nanti membuat Bulan
menjadi pergi dari sisiku.
From : Bulan-ku
Ri, kita harus bicara! Kamu jangan
begini, aku takut.
Aku membaca inbox dari Bulan, aku tidak
berniat membalasnya.
“Gue harus gimana, Rang?” tanyaku pada
Rangga yang sedang bermain gitar.
“Lo harus jujur!”
“Tapi gue takut, gue takut.”
“Gue yakin kok sebenarnya Bulan juga
suka sama lo, tapi dia merasa lo nya yang ga suka sama dia. Makanya dia jadi
galau begitu,” kata Rangga meyakinkan ku.
“Bulan ga pernah nunjukin tanda-tanda
kalau dia suka sama gue, dari dulu semuanya mengalir begitu saja.”
“Jadi lo takut ngerusak persahabatan
lo?” tanya Rangga.
Aku hanya mengangguk dan dia berdecak
sambil menepuk keningku keras.
“Otak lo disini bukan sih, mana ada
cewek yang bakal pergi kalau cowok yang disukainya menyatakan perasaan yang
sama, justru dia bakal betah dan yakin berada di sisi lo,” perkataan Rangga
sedikit menggugah keberanianku.
Besok aku harus bicara sama Bulan, aku
harus bilang yang sejujurnya. Semoga saja Bulan mengerti dan ga pergi dari
sisiku.
***
Aku menunggu bus di halte sudah 10
menit, tapi tidak ada satupun bus yang lewat. Aku bisa terlambat kalau begini.
Lalu ada sebuah motor ninja hitam yang
berhenti di depanku. Aku sepertinya mengenali pemilik motor ini. Dia membuka
helm dan benar dugaanku. Kak Bintang!
“Ayo naik! Lo bakal telat nanti,”
katanya sambil menyodorkan helm.
Aku menggigit bibir antara ragu dan
takut menghinggapi perasaanku.
“Ga usah deh, kak!”
“Bener? Lo yakin ga mau ikut, hari ini
hari Jumat berarti yang jaga gerbang Ibu Meri loh. Lo tau kan dia gimana kalau
ada yang terlambat?”
Aku shock mendengarnya, benar hari ini
Ibu Meri yang jaga gerbang. Kalau ada yang terlambat, mau murid cewek mau murid
cowok atau murid jadi-jadian digibas abis sama dia, lari 10 keliling lapangan
men! Dengan masih ragu-ragu aku menerima helm itu dan naik ke motor Kak
Bintang.
“Pegangan ya!”
Dan motornya melaju dengan kencang di
jalanan membuat aku kembali merangkul erat pinggang Kak Bintang. Tidak sampai
sepuluh menit kami telah sampai di sekolah. Masih ada 5 menit sebelum bel
berbunyi.
“Makasih ya kak.”
“Pulangnya gue anterin ya?” kata kak
Bintang dan aku menggeleng dengan cepat.
“Ga usah kak, aku bisa pulang sama Ari
kok.”
“Gue ga yakin Ari mau anterin lo pulang,”
jawabnya lalu menggerakkan kepala ke arah belakangku. Sepertinya dia menyuruhku
menoleh ke belakang.
Aku membeku, Ari masih berdiri di
samping motornya saat aku menoleh ke belakang. Dia melihatku dengan tatapan
yang tajam lalu dia berjalan cepat meninggalkan parkiran. Dia pasti salah paham
lagi!
“Jadi gue tunggu lo di depan kelas ya!”
kata Kak Bintang sambil mengacak-acak rambutku lalu pergi menuju kelasnya.
Aku tidak bisa menanggapi lagi
perkataannya, yang ada di pikiranku hanya Ari. Aku segera menyusulnya ke kelas.
“Ari, aku mau bicara sebentar,” kataku
saat menghampirinya yang sedang duduk mengobrol bersama Dika dan Rangga.
“Wah, Bulan. Lo ga malu ya, udah sama Bintang
eh malah mau ngedeketin Matahari lagi. Punya berapa hati lo!” kata Zaskia
kepadaku. Dia adalah cewek paling resek.
“Mendingan nanti aja deh bicaranya, Lan.
Sebentar lagi bel masuk berbunyi,” kata Dika seraya menyeretku keluar dari
kelas.
“Dik, tolong bilang ke Ari. Aku pengen
ngomong penting!”
“Iya nanti gue sampein, sana balik ke
kelas lo.”
Aku berjalan gontai menuju kelasku.
Karena tidak melihat ke depan aku menabrak seseorang.
“Maaf kak,” kataku setelah mendongkak
dan melihat Kak Syifa berdiri di hadapanku.
“Lo jauhin Bintang! Kalau ga, lo bakal
menderita!” bentaknya padaku.
“Aku kan ga…”
“Lo liat aja nanti, apa yang bakal
terjadi,” katanya memotong kalimatku lalu pergi begitu saja.
Aku jadi serbasalah sekarang. Nesa sudah
menungguku di kelas, dia tampak prihatin melihat keadaanku dengan muka pucat
pasi.
“Yang sabar ya, Lan!” katanya sambil
memelukku.
Bel masuk berbunyi dan aku tidak
konsentrasi mengikuti pelajaran.
Sekarang pelajaran olahraga, jadi aku
dan teman-temanku bermain bola basket di lapangan. Nesa menyenggol lenganku dan
menunjuk ke arah kelas atas. Ku lihat Kak Bintang sedang memperhatikanku dari
atas. Dia melambaikan tangan lalu berteriak menyemangatiku. Aku merasa malu
sekali.
“Ang, lo beneran serius ya sama Bulan?”
tanya Seto padaku saat aku sedang memperhatikan Bulan bermain basket. Jam
pelajaran sedang kosong sekarang, karena guru yang mengajar sedang sakit.
“Menurut lo?”
“Gue rasa lo cuma terobsesi aja sama dia
kayak cerita lo itu,” kata Arya menyambung pembicaraan.
“Gue ga terobsesi kok, gue cuma ngerasa
cerita gue itu nyata sekarang.”
“Bintang lo harus sadar, cerita legenda ya cuma legenda. Mana ada sih
renkarnasi matahari, bintang, dan bulan! Ini kehidupan nyata men!” kata Seto
memukul kepalaku.
“Gue percaya cerita legenda itu, karena
sekarang muncul tiga tokoh yang sama. Gue, Bulan dan Ari.”
“Tapi dalam cerita itu Bulan bersama
dengan lo kan? Nyatanya apa, orang buta juga bisa ngerasain kalo Bulan tu
sukanya sama Matahari. Apa lo cuma ngarang aja ya tentang cerita yang lo sering
ceritain itu?”
“Gue bakal buktiin kalo Bulan pasti bakal
suka sama gue,” tegasku lalu berjalan menuruni tangga.
“Wah Bintang memang udah gila, ceritanya
itu bisa dipercaya ga ya!” kata Seto sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Tapi firasat gue bilang, Bintang emang
beneran suka sama Bulan. Bukan karena cerita legenda itu, tapi karena hatinya,”
sergah Arya sambil memandang Bintang yang berjalan menghampiri Bulan di
lapangan basket.
****
Aku sedang menunggu Bulan di depan
kelasnya saat ku lihat Matahari berjalan ke arahku dan dia memberi isyarat agar
mengikutinya.
“Lo mau bicara apa?”
“Gue mau kita bersaing secara sehat,
tanpa ada kecurangan,” ungkap Ari sambil menyodorkan tangan seolah ingin
berjabat tangan.
“Oke. Deal! Bulan pasti milih gue,”
kataku yakin lalu menjabat tangannya.
“Biar gue yang anterin Bulan pulang, gue
harus bicara sama dia.”
Aku mengangguk setuju karena aku tahu
mereka memang harus bicara. Lagipula Bulan pasti ingin menyampaikan sesuatu,
karena dia sangat tidak berkonsentrasi melakukan apapun juga. Aku harus
mengalah untuk menang. Tapi tidak untuk kehilangan, lagi!
“Ari? Kamu kok…” aku kaget saat mendapati
dia menungguku di luar kelas.
“Katanya mau bicara, ayo kita bicara!”
ajaknya lalu menggandeng tanganku menuju motor ninja warna silvernya di
parkiran.
“Nanti malam kita liat bintang ya, kita
bicarakan semuanya nanti,” kata Ari saat aku sudah turun dari motornya.
“Iya!” kataku bersemangat.
Aku merasa ada yang aneh dengan tatapan
Ari, tapi aku tidak menghiraukannya. Aku merasa bahagia sekarang bisa bersama
dengan Matahari lagi.
*****
“Ri, kamu marah ya
sama aku?” tanyaku saat kami sudah berada di atap.
“Aku ga marah, Lan.
Aku hanya kecewa aja, kenapa aku ga bisa kayak Bintang ya.”
“Maksudnya?”
“Aku ga berani bilang
kalo aku sebenarnya…” Ari menggantungkan kalimatnya.
“Ri, apapun yang
terjadi. Aku hanya ingin kamu selalu ada di sisiku, aku ga mau kamu pergi,”
kataku meyakinkannya. Aku tau dia berat sekali melanjutkan kalimatnya.
“Bintang jatuh tolong
kabulkan permintaan ku kali ini, jangan biarkan Matahari pergi dari sisiku,”
kataku spontan saat melihat bintang jatuh.
Aku hanya bisa diam
dan tidak berani menanggapi permohonan Bulan. Aku bahagia Bulan mengharapkan
aku berada di sisinya, biarpun itu hanya sebagai seorang sahabat.
“Lan, kalo kita
pacaran gimana ya jadinya?” tanyaku ragu-ragu.
“Hahaha, lelucon Ari
ga lucu deh!” tanggapnya sambil tertawa.
Aku sudah menduga
Bulan pasti menganggapku bercanda, aku tidak berani mengulangi lagi perkataanku.
Nanti kalau semuanya sudah kembali normal, aku akan mengatakan keseriusanku
Bulan. Tetaplah di sisiku, ku mohon.
******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar