Total Tayangan Halaman

Jumat, 15 Februari 2013

Renkarnasi Matahari, Bintang, dan Bulan *Part 3*



Part 3 ~Bizarre~
Aku baru duduk sebentar di kelas ketika ku dengar rebut-ribut dari arah luar. Akupun tidak ambil pusing dan hanya duduk di bangku. Lalu Rangga datang dan berkata dengan terbata-bata.
“Ri, lo keluar seka..rang deh! Itu… itu…” katanya ga jelas.
“Apaan sih, ngomong tu pelan-pelan Rang,” kataku sambil mengelus pungunggnya.
“Itu cewek lo, Bulan. Anu…”
“Bulan kenapa?” desakku.
“Dia lagi ditembak Kak Bintang!” katanya lantang dan nyaring seperti telah mengeluarkan sesuatu yang menyumpal ternggorokannya.

Aku segera berlari keluar kelas dan melihat ke lapangan, tetapi kosong. Tidak ada yang terjadi disana. Lalu pandanganku menjurus ke arah kelas Bulan. 10-3 sedang dikelilingi gerombolan siswa-siswi. Aku berlari sambil mengepalkan tangan, aku harus menahan emosi.
“Bulan, gue mau nyanyi sebuah lagu buat lo. Dengerin ya,” kata Kak Bintang lalu memetik gitarnya.
Kemarin ku lihat awan membentuk wajahmu
Desau angin meniupkan namamu
Tubuhku terpaku
Semalam bulan sabit melengkungkan senyummu
Tabur bintang serupa kilau auramu
Akupun sadari ku sedang berlari
Cepat pulang cepat kembali
Jangan pergi lagi firasatku ingin kau
Tuk cepat pulang cepat kembali jangan pergi lagi

“Wah si Bintang emang udah gila sekarang, Bro! Tindakannya ini bisa bikin PB bubar beneran gara-gara patah hati,” kata Seto dan Arya hanya tersenyum.

“Lo harusnya bangga Si Bintang udah gentleman sekarang, berani bertindak di depan umum lagi! Gue salut ama dia,” sahut Arya.

“Ckckck, tapi liat aja bentar lagi Si Bulan bakalan kena masalah besar gara-gara ini. Kalo ga mati dipermak para anggota PB dia mati digibeng ama Syifa coi,” kata Dita menyambar obrolan mereka.
“Iya juga ya, aduh kasian nasib cinta bulan dan bintang!” Seto melihat keduanya dengan tampang prihatin.

Akhirnya bagai sungai yang mendamba samudra
Ku tau pasti kemana kan ku bermuara
Semoga ada waktu sayangku
Ku percaya alampun berbahasa
Ada makna dibalik semua pertanda
Firasat ini rasa rindu kah atau tanda bahaya
Aku tak perduli ku terus berlari
Cepat pulang cepat kembali jangan pergi lagi
Firasatku ingin kau tuk cepat pulang cepat kembali jangan pergi lagi
                                                             
Aku hanya bisa diam membeku di bangku ku saat Kak Bintang terus menyanyi di depan kelas. Guru sedang rapat jadi acara ini akan terus berlanjut sampai Kak Bintang berhenti memalukan dirinya sendiri. Lebih tepatnya kami berdua ding!

Dan lihatlah sayang, hujan turun membasahi seolah ku berairmata
Cepat pulang cepat kembali jangan pergi lagi
Firasatku ingin kau tuk cepat pulang cepat kembali jangan pergi lagi
Cepat pulang cepat kembali jangan pergi lagi
Firasatku ingin kau tuk cepat pulang cepat kembali jangan pergi lagi
Akupun sadari engkaulah… firasat hati

Semuanya bertepuktangan setelah Kak Bintang selesai menyanyi, ku lihat dia berjalan menghampiri Bulan di bangkunya.

“Lan, ini lagu untuk lo semoga lo suka ya,” katanya seraya mengedipkan sebelah mata.

Bulan hanya terdiam dan tak bereaksi, aku tidak tau apa yang sedang ada di pikiran Bulan sekarang. Tapi yang ku tau, yang sedang ada di pikiranku adalah menghajar Bintang!

Bintang berjalan keluar dari kelas dan dia memicingkan mata sambil tersenyum bangga saat berpapasan denganku. Dia seolah berkata “Gue menang telak boy!”

Aku mengepalkan tangan, emosiku sudah ada di ubun-ubun. Tapi Rangga dan Dika menahan langkahku dan membawa ku kembali ke kelas.

“Kalian kenapa tadi nahan gue, hah!”
“Lo jangan gila deh, Ri! Lo pikir lo siapanya Bulan coba, pikir dulu sebelum lo bertindak,” kata Rangga.

“Iya, Ri! Lagian lo sama Bulan kan ga ada hubungan resmi, jadi seharusnya lo ga boleh marah kalau Si Bintang berani kayak tadi,” sambung Dika.

Aku terdiam sejenak, aku merasa kalah sekarang. Bintang saja berani mengutarakan perasaannya di hadapan umum. Sedangkan aku selama ini hanya merasa cukup bahagia bila bersama Bulan. Kalau Bulan belum menjadi milikku, aku masih bisa kehilangan dia. Sial!

“Lo harus bilang yang sebenarnya lo rasain ke Bulan, Ri!” nasehat Dika padaku.

“Gue takut kehilangan dia, gue takut dia pergi kalo gue jujur,” ungkapku sambil menahan kekecewaan yang mendalam.

Bulan masih diam saja saat Nesa meneriakinya dan menggoyang-goyangkan tubuhnya. Sepertinya Bulan masih linglung dan shock dengan kejadian barusan.

“Bulan! Sadar dong!”

“Nes, aku ke kelas Ari dulu ya sebentar!” sahut Bulan cepat setelah kesadarannya kembali.

“Ngapain sih, seharusnya kamu tuh nenangin diri dulu. Bukannya malah nyari si Ari, lagian tadi aku liat kok Ari diem aja pas ketemu Kak Bintang.”

“Ari ngeliat yang tadi?” tanyaku kaget.

“Iya dong! Seisi sekolah juga pasti udah tau sekarang, kamu bakal jadi bahan gosip terhangat sekarang,” nesa terus mengoceh sambil tetap memegang tanganku erat agar aku tidak kabur.

“Aku harus gimana, pasti Ari bakal mikir yang macem-mecem.”

“Lo harusnya mikirin diri lo sendiri, pasti semua cewek di sekolah bakalan cari ribut sama lo gara-gara mereka envy.”
Degg! Aku merasa tersambar petir. Iya juga kemungkinan itu pasti bakalan terjadi. Aku jadi merasa ngeri keluar kelas. Sampai bel pulang berbunyi aku akan terus di kelas.

“Lagu yang lo nyanyiin itu…” kata Syifa saat aku melewatinya di koridor.

“Ga ada yang salah kan, Syif!”

“Lo udah gila, Ang. Ga cukup lo pindah ke sini, gue sampe harus nyusul lo pindah ke sini tau. Ternyata sia-sia ya,” ujarnya prihatin.

“Lagu tadi jelas banget lo tujukan buat siapa,” sambungnya.

Aku berjalan menjauh darinya, aku tidak akan menyangkutpautkan dia dalam pertempuran ini. Ini hanya untuk aku, Bulan, dan Matahari!
**
Biarpun banyak murid cewek yang sekelas ataupun ga sekelas mengumpat di belakangku. Aku tidak perduli. Aku merasa aman kalau di kelas, karena ada Nesa biarpun dia cupu dia jago karate. Jadi kalau ada yang macam-macam sama aku, Nesa bakalan bertindak! Sebenarnya Nesa ini manis dengan bibir tipisnya dan alisnya yang seperti semut berbaris itu. Dia tambah keliatan lucu dengan kacamatanya yang selalu melorot ke hidung. Sayang dia ga pede aja, kayak gue pede aja. Hihihi

“Ari mana ya, nes?” tanyaku gelisah.

“Lo pulang sama gue aja deh,” bujuk Nesa padaku.

Gara-gara kejadian tadi pagi, mungkin Ari marah sama aku jadi dia ga mau nganterin aku pulang atau malah dia ga mau ketemu sama aku. Wuaaah!!

“Nah, itu Ari!” aku melambai padanya saat dia sudah berjalan di koridor.

“Ri, kamu lama amat keluar kelasnya.”

“Sorry tadi aku jagain piket kelas,” katanya tanpa menatapku.

“Ri, masalah tadi pagi itu…”

“Yuk kita pulang!” katanya memotong kalimatku. Dia tidak mau membahas masalah tadi pagi. Syukurlah!

Semua murid terus berbisik-bisik saat aku dan Ari lewat. Ada juga yang dengan berani meneriaki kami, “Woi! Enak banget ya jadi Bulan, ada Bintang dan Matahari yang jagain.”

Aku melirik Ari, tapi dia tidak merespon sedikitpun. Raut wajahnya pun datar saja. Ari aneh sekali sekarang, dia tanpa ekspresi. Aku jadi takut.

“Eh, Bulan. Lo jangan serakah dong, kalau udah ada Bintang, Matahari kasih ke yang lain!!” teriak Imelda saat kami sampai di parkiran.

“Ni pake helmnya,” kata Ari seraya menyodorkan helm. Dia tidak merasa terganggu dengan semua kehebohan di sekitar.

Motor Ari melaju dengan pelan, aku merasa kelakuan Ari jadi aneh. Sangat aneh! Sejak dulu Ari selalu menampilkan ekspresi kalau dia sedang marah, sedih, atau senang. Tapi sekarang dia hanya diam dan berpura-pura tidak mendengar apapun.

Sesampainya di rumah, aku segera berganti pakaian dan pergi ke rumah Ari. Aku harus membahas soal tadi dengan Ari. Harus!

“Aduh ada Bulan ya, maaf ya. Ari nya lagi ke rumah Dika, barusan aja pergi,” kata Tante Risa saat dia membukakan pintu pagar.

“Oh iya deh, bilangin Ari ya kalau Bulan cari dia, suruh dia ke rumah aku ya tante.”

“Iya tante sampaikan kalau dia sudah pulang,” jawab tante lalu aku berbalik pulang.

Sampai jam menunjukkan pukul 9 malam, Ari tidak juga datang ke rumahku. Aku merasa keanehan ini harus berakhir. Tapi apa aku harus ke rumah Ari malam-malam begini?

“Eh, Bulan! Ayo masuk dulu. Tapi maaf ya, ari tadi udah pulang tapi dia bilang katanya mau nginep di rumah Rangga. Padahal tante udah sampein loh kalau kamu nyariin dia,” perkataan tante Risa membuatku lemas.

“Oh yasudah, aku pulang aja deh tante. Kalau dia nginep di rumah Rangga, berarti dia ga bisa nganter aku besok ya?” tanyaku.

“Eh iya, tadi Ari bilang begitu.”

Tuh kan Ari! Dia menghindari aku. Aku pulang dan segera membanting pintu kamar.
Aku kecewa sama Ari, kalau ada masalah harusnya dia ngomong sama aku bukan malah menghindar.

Aku mengambil ponsel dari tasku, segera ku ketik sebuah pesan untuk Ari.

To : Matahari-ku
Ri, kita harus bicara! Kamu jangan begini, aku takut.

Setelah ada laporan pengiriman, aku tertidur sambil memeluk ponsel berharap besok pagi aku membaca balasan dari Ari.

“Ri, ponsel lo bergetar ni. Ada inbox kayaknya,” teriak Rangga dari kamar.

Aku sedang menatap bintang di balkon rumahnya Rangga. Aku sengaja melarikan diri kesini, sampai sekarang aku tidak tau bagaimana harus menanggapi semua yang terjadi.
Yang penting sekarang aku harus menghindari Bulan. Aku takut apapun yang ku katakana nanti membuat Bulan menjadi pergi dari sisiku.

From : Bulan-ku
Ri, kita harus bicara! Kamu jangan begini, aku takut.

Aku membaca inbox dari Bulan, aku tidak berniat membalasnya.

“Gue harus gimana, Rang?” tanyaku pada Rangga yang sedang bermain gitar.

“Lo harus jujur!”

“Tapi gue takut, gue takut.”

“Gue yakin kok sebenarnya Bulan juga suka sama lo, tapi dia merasa lo nya yang ga suka sama dia. Makanya dia jadi galau begitu,” kata Rangga meyakinkan ku.

“Bulan ga pernah nunjukin tanda-tanda kalau dia suka sama gue, dari dulu semuanya mengalir begitu saja.”

“Jadi lo takut ngerusak persahabatan lo?” tanya Rangga.

Aku hanya mengangguk dan dia berdecak sambil menepuk keningku keras.

“Otak lo disini bukan sih, mana ada cewek yang bakal pergi kalau cowok yang disukainya menyatakan perasaan yang sama, justru dia bakal betah dan yakin berada di sisi lo,” perkataan Rangga sedikit menggugah keberanianku.

Besok aku harus bicara sama Bulan, aku harus bilang yang sejujurnya. Semoga saja Bulan mengerti dan ga pergi dari sisiku.

***
Aku menunggu bus di halte sudah 10 menit, tapi tidak ada satupun bus yang lewat. Aku bisa terlambat kalau begini.
Lalu ada sebuah motor ninja hitam yang berhenti di depanku. Aku sepertinya mengenali pemilik motor ini. Dia membuka helm dan benar dugaanku. Kak Bintang!

“Ayo naik! Lo bakal telat nanti,” katanya sambil menyodorkan helm.

Aku menggigit bibir antara ragu dan takut menghinggapi perasaanku.
“Ga usah deh, kak!”

“Bener? Lo yakin ga mau ikut, hari ini hari Jumat berarti yang jaga gerbang Ibu Meri loh. Lo tau kan dia gimana kalau ada yang terlambat?”

Aku shock mendengarnya, benar hari ini Ibu Meri yang jaga gerbang. Kalau ada yang terlambat, mau murid cewek mau murid cowok atau murid jadi-jadian digibas abis sama dia, lari 10 keliling lapangan men! Dengan masih ragu-ragu aku menerima helm itu dan naik ke motor Kak Bintang.

“Pegangan ya!”

Dan motornya melaju dengan kencang di jalanan membuat aku kembali merangkul erat pinggang Kak Bintang. Tidak sampai sepuluh menit kami telah sampai di sekolah. Masih ada 5 menit sebelum bel berbunyi.

“Makasih ya kak.”

“Pulangnya gue anterin ya?” kata kak Bintang dan aku menggeleng dengan cepat.

“Ga usah kak, aku bisa pulang sama Ari kok.”

“Gue ga yakin Ari mau anterin lo pulang,” jawabnya lalu menggerakkan kepala ke arah belakangku. Sepertinya dia menyuruhku menoleh ke belakang.

Aku membeku, Ari masih berdiri di samping motornya saat aku menoleh ke belakang. Dia melihatku dengan tatapan yang tajam lalu dia berjalan cepat meninggalkan parkiran. Dia pasti salah paham lagi!

“Jadi gue tunggu lo di depan kelas ya!” kata Kak Bintang sambil mengacak-acak rambutku lalu pergi menuju kelasnya.

Aku tidak bisa menanggapi lagi perkataannya, yang ada di pikiranku hanya Ari. Aku segera menyusulnya ke kelas.

“Ari, aku mau bicara sebentar,” kataku saat menghampirinya yang sedang duduk mengobrol bersama Dika dan Rangga.

“Wah, Bulan. Lo ga malu ya, udah sama Bintang eh malah mau ngedeketin Matahari lagi. Punya berapa hati lo!” kata Zaskia kepadaku. Dia adalah cewek paling resek.

“Mendingan nanti aja deh bicaranya, Lan. Sebentar lagi bel masuk berbunyi,” kata Dika seraya menyeretku keluar dari kelas.

“Dik, tolong bilang ke Ari. Aku pengen ngomong penting!”

“Iya nanti gue sampein, sana balik ke kelas lo.”

Aku berjalan gontai menuju kelasku. Karena tidak melihat ke depan aku menabrak seseorang.

“Maaf kak,” kataku setelah mendongkak dan melihat Kak Syifa berdiri di hadapanku.

“Lo jauhin Bintang! Kalau ga, lo bakal menderita!” bentaknya padaku.

“Aku kan ga…”

“Lo liat aja nanti, apa yang bakal terjadi,” katanya memotong kalimatku lalu pergi begitu saja.

Aku jadi serbasalah sekarang. Nesa sudah menungguku di kelas, dia tampak prihatin melihat keadaanku dengan muka pucat pasi.

“Yang sabar ya, Lan!” katanya sambil memelukku.

Bel masuk berbunyi dan aku tidak konsentrasi mengikuti pelajaran.

Sekarang pelajaran olahraga, jadi aku dan teman-temanku bermain bola basket di lapangan. Nesa menyenggol lenganku dan menunjuk ke arah kelas atas. Ku lihat Kak Bintang sedang memperhatikanku dari atas. Dia melambaikan tangan lalu berteriak menyemangatiku. Aku merasa malu sekali.

“Ang, lo beneran serius ya sama Bulan?” tanya Seto padaku saat aku sedang memperhatikan Bulan bermain basket. Jam pelajaran sedang kosong sekarang, karena guru yang mengajar sedang sakit.

“Menurut lo?”

“Gue rasa lo cuma terobsesi aja sama dia kayak cerita lo itu,” kata Arya menyambung pembicaraan.

“Gue ga terobsesi kok, gue cuma ngerasa cerita gue itu nyata sekarang.”

“Bintang lo harus sadar,  cerita legenda ya cuma legenda. Mana ada sih renkarnasi matahari, bintang, dan bulan! Ini kehidupan nyata men!” kata Seto memukul kepalaku.

“Gue percaya cerita legenda itu, karena sekarang muncul tiga tokoh yang sama. Gue, Bulan dan Ari.”

“Tapi dalam cerita itu Bulan bersama dengan lo kan? Nyatanya apa, orang buta juga bisa ngerasain kalo Bulan tu sukanya sama Matahari. Apa lo cuma ngarang aja ya tentang cerita yang lo sering ceritain itu?”

“Gue bakal buktiin kalo Bulan pasti bakal suka sama gue,” tegasku lalu berjalan menuruni tangga.

“Wah Bintang memang udah gila, ceritanya itu bisa dipercaya ga ya!” kata Seto sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Tapi firasat gue bilang, Bintang emang beneran suka sama Bulan. Bukan karena cerita legenda itu, tapi karena hatinya,” sergah Arya sambil memandang Bintang yang berjalan menghampiri Bulan di lapangan basket.

****
Aku sedang menunggu Bulan di depan kelasnya saat ku lihat Matahari berjalan ke arahku dan dia memberi isyarat agar mengikutinya.

“Lo mau bicara apa?”

“Gue mau kita bersaing secara sehat, tanpa ada kecurangan,” ungkap Ari sambil menyodorkan tangan seolah ingin berjabat tangan.

“Oke. Deal! Bulan pasti milih gue,” kataku yakin lalu menjabat tangannya.

“Biar gue yang anterin Bulan pulang, gue harus bicara sama dia.”

Aku mengangguk setuju karena aku tahu mereka memang harus bicara. Lagipula Bulan pasti ingin menyampaikan sesuatu, karena dia sangat tidak berkonsentrasi melakukan apapun juga. Aku harus mengalah untuk menang. Tapi tidak untuk kehilangan, lagi!

“Ari? Kamu kok…” aku kaget saat mendapati dia menungguku di luar kelas.

“Katanya mau bicara, ayo kita bicara!” ajaknya lalu menggandeng tanganku menuju motor ninja warna silvernya di parkiran.

“Nanti malam kita liat bintang ya, kita bicarakan semuanya nanti,” kata Ari saat aku sudah turun dari motornya.

“Iya!” kataku bersemangat.

Aku merasa ada yang aneh dengan tatapan Ari, tapi aku tidak menghiraukannya. Aku merasa bahagia sekarang bisa bersama dengan Matahari lagi.

                                                                          *****                  
“Ri, kamu marah ya sama aku?” tanyaku saat kami sudah berada di atap.

“Aku ga marah, Lan. Aku hanya kecewa aja, kenapa aku ga bisa kayak Bintang ya.”

“Maksudnya?”

“Aku ga berani bilang kalo aku sebenarnya…” Ari menggantungkan kalimatnya.

“Ri, apapun yang terjadi. Aku hanya ingin kamu selalu ada di sisiku, aku ga mau kamu pergi,” kataku meyakinkannya. Aku tau dia berat sekali melanjutkan kalimatnya.

“Bintang jatuh tolong kabulkan permintaan ku kali ini, jangan biarkan Matahari pergi dari sisiku,” kataku spontan saat melihat bintang jatuh.

Aku hanya bisa diam dan tidak berani menanggapi permohonan Bulan. Aku bahagia Bulan mengharapkan aku berada di sisinya, biarpun itu hanya sebagai seorang sahabat.

“Lan, kalo kita pacaran gimana ya jadinya?” tanyaku ragu-ragu.

“Hahaha, lelucon Ari ga lucu deh!” tanggapnya sambil tertawa.

Aku sudah menduga Bulan pasti menganggapku bercanda, aku tidak berani mengulangi lagi perkataanku. Nanti kalau semuanya sudah kembali normal, aku akan mengatakan keseriusanku Bulan. Tetaplah di sisiku, ku mohon.

******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar