Part 7
“Kak Dimas beneran ga pengen Esta anter ke Bandara?”
tanyaku yang ketiga kali dan Kak Dimas hanya mengangguk.
“Mas, aku bakal rindu kamu. Pasti deh,” isakku.
Hari ini Dimas akan berangkat ke Paris, dua bulan yang
lalu dia mengikuti tes beasiswa ilmu teknik di Paris dan dia lulus tes.
Dimas tidak bicara padaku sepatahkatapun sejak semalam,
dia hanya diam dan tersenyum. Aku pasti akan merindukan dia!
Aku bingung kenapa Dimas tidak mengucapkan kalimat
perpisahan yang lazimnya orang lain katakna. Dimas itu aneh.
*****
“Yaudah, kalo gitu Esta berangkat ke sekolah dulu ya
Mas,” katanya seraya menutup pintu kamarku.
Aku menahan sekuat tenaga agar aku tidak berlari dan
memeluk Estania untuk yang terakhir kalinya. Estania, aku pasti akan
merindukanmu!
Aku mengepak-ngepak semua pakaian ku dan memasukkannya ke
dalam koper. Hari ini adalah hari terakhirku melihatmu Esta. Maaf aku tidak
bisa mengucapkan apapun padamu. Aku takut bila berbicara nanti, aku akan
kehilangan kendali dan tidak jadi pergi.
Aku mengambil buku diary milik Estania, aku berjalan
menuju kamarnya dan meletakkan buku itu di atas mejanya.
“Ini milikmu, semua kenangan itu milikmu. Maaf aku telah
menyembunyikannya, kau boleh mengambil kembali apa yang seharusnya kamu punya,
Ta. Aku akan merelakanmu,” bisikku lirih dan berjalan menuruni tangga.
Mama dan papa telah menungguku di mobil. Mereka akan
mengantarkanku ke bandara.
“Ma, Pa, jaga Esta baik-baik ya. Mungkin setelah hari ini
semua akan berbeda. Semua akan kembali pada tempatnya. Aku bahagia pernah
bersama Esta, mama dan papa. Maaf ya baru sekarang aku berani pergi,” kataku
dengan tetap tegar menahan airmata.
“Dimas, kamu anak baik. Kamu harus mendapatkan cinta yang
lebih baik dan tidak menyakitkanmu lagi nantinya, mama akan berdoa untukmu,”
ucapan mama terdengar seperti doa tulus dari seorang ibu.
“Papa minta maaf ya, Mas. Kamu harus pergi seperti ini,”
kata papa dengan suara serak sepertinya dia ingin menangis.
“Dimas janji akan menghilangkan perasaan ini. Dimas tau
mungkin di kehidupan ini Estania bukan milik Dimas,” ucapku lirih.
“Makasih ya atas semuanya, Ma, Pa!” kataku tegas.
Ada perasaan lega di hati ini. Perasaan merelakan dengan tulus
membuat hatiku tidak sesak lagi.
Aku memandang foto Esta di dompetku dan bergumam lembut,
“Aku berjanji Esta, di kehidupan selanjutnya kita akan bersama.”
*****
Hari ini aku harus bicara terus terang dengan Bella.
Kalau tidak mungkin semuanya akan terlewat lagi.
“Bella, gue mau nunjukin sesuatu untuk lo! Lo mau ikut
gue sebentar ga?” ajakku padanya saat dia keluar dari kelas.
“Ga!” katanya singkat.
“Ini penting banget buat gue. Kalo lo bersedia ikut,
apapun yang terjadi ke depan gue ga bakal nyesel lagi. Ini untuk yang
terakhir,” kataku lirih.
“Maaf tapi gue ga mau!” jawabnya tegas.
“Yaudah, tapi kalo lo berubah pikiran gue masih nunggu lo
kok,” ku sodorkan sebuah foto untuknya.
“Ini…” dia tercekat dia menatapku bingung.
“Gue nungguin lo,” kataku sebelum pergi meninggalkannya.
“Percuma lo nunggu, gue ga bakal datang!” tegasnya.
Namun aku percaya, Bella pasti datang. Karena itu aku
akan menunggunya hingga malam nanti disana. Di bawah pohon itu.
*****
Aku melihatnya melamun sendirian meskipun bel pulang
sudah berbunyi tapi dia masih saja duduk disana.
“Woi, udah bel tau!” teriakku mengagetkannya.
“Eh, iya..” sahutnya gelagapan.
“Lo kenapa?” tanyaku iseng.
“Ini novel kamu, yang waktu itu kamu tinggalin di depan
UKS. Maaf lama balikinnya,” katanya sambil menyodorkan sebuah novel berjudul
‘Akhir Pertemuan Ini’ padaku.
“Buat lo aja!” kataku seraya meninggalkannya.
Ku pikir dia akan segera menyusulku ternyata dia masih
duduk disana, sepertinya dia memikirkan sesuatu atau seseorang.
“Woi lo kenapa sih!” aku duduk di sampingnya.
“Kamu kenapa ga pulang, Zi?” tanyanya menatap kosong ke
depan.
“Lo sendiri?” aku balik bertanya.
“Aku takut pulang. Aku takut Dimas udah ga ada lagi, dia
pasti ga nyambut aku pulang hari ini,” jawabnya dengan suaru sedikit bergetar.
“Emang dia kemana?” tanyaku penasaran.
“Dia belajar, belajar ke Paris. Untuk apa sih dia belajar
jauh-jauh! Dia ga tau apa kalo aku bakal rindu banget sama dia nantinya,”
ucapnya dengan mulai tersedu-sedu.
Dia menangis. Menangisi kakaknya, Dimas. Aku heran kenapa
mereka ini aneh sekali? Bukankah Dimas sangat menyukai Estania tapi kenapa dia
pergi? Pasti ada yang terlewatkan disini.
“Lo kalau mau nangis, nangis di bahu gue aja. Biar tangan
ini yang hapus airmata lo,” kataku mantap.
Dia menoleh kaget padaku, dia tersenyum sambil berkata,
“Zi, kenapa ya kayaknya aku tu udah kenal lama sama kamu. Kalimat tadi kayaknya
pernah aku dengar, dan sepertinya kamu juga yang berkata seperti itu. Aneh ya?
Mungkin aku udah gila,” ucapnya sinis.
“Lo emang pernah denger kalimat itu dari mulut gue kok,”
kataku lirih.
“Maksudnya?” sahutnya.
“Udah, sini nangis aja di bahu gue!” pinta ku padanya
seraya merebahkan kepalanya di bahu ku.
“Dimas jahat ya, dia ninggalin aku. Lalu siapa yang akan
ngasih perhatian dan kasih sayang yang kayak dia kasih nantinya?” gumamnya
pelan.
“Gue!” jawabku dalam hati.
“Yaudah, makasih Zi atas pinjaman bahu kamu. Aku mau
pulang dulu sekarang udah sore,” katanya sambil tersenyum lemah.
“Mau gue anterin ga?” tanyaku spontan.
“Ga usah makasih deh, sampai bertemu besok ya,” sahutnya
dan beranjak pergi.
*****
From : Estania
Bel, tadi kak zacky
pamit ama aku. Katanya mungkin dia bakal jarang ke kelas kita. Soalnya harapan
dia ke kamu akan berakhir hari ini. Jadi dia ga bisa lagi sering datang ke
kelas buat liatin kamu dari jauh. Aku ga tau harus bilang apa. Tapi seharusnya
kamu baca hati kamu sendiri sebelum kamu bisa baca hati dia.
Apa-apaan Esta ini? Kenapa dia bilang begitu? Benarkah
Zacky sering datang ke kelas hanya untuk melihatku dari jauh bukan untuk
bertemu dengan Esta? Aku pusing memikirkannya dan saat ku lirik jam di tanganku
sudah menunjukkan pukul 8 malam.
“Aku harus baca hatiku sebelum baca hati dia, maksudnya
apa aku ini masih sayang sama Zacky?” gumamku dalam hati.
Aku segera mengambil kunci mobil dan bergegas mengendarai
mobil menuju sebuah tempat. Tempat yang ada di foto tadi. Pohon B & Z.
Tunggub aku!
“Hai,” sapaku pada zacky setengah tersengal-sengal.
Aku mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi dan berlari
kemari, aku takut Zacky telah pergi dan tidak menungguku.
“Kamu datang juga, Bel. Aku tau kamu pasti datang,”
jawabnya seraya memelukku.
“Kenapa kamu tau?” tanyaku.
“Karena aku bisa baca hatiku sendiri dan baca hatimu,”
jawabnya sambil tersenyum.
Aku dan dia duduk di bawah pohon ini. Dengan ditemani
taburan bintang di angkasa dan angin malam yang dingin. Zacky menungguku disini
dan kami bertemu disini.
“Kamu, eh.. Lo mau ngomong apa sama gue?” tanyaku sedikit
kasar.
“Kamu belum bisa baca hati aku kan Bel?” tanyanya
singkat.
“Maksud lo?” aku tidak mengerti apa yang ingin dia
katakana.
“3 tahun lalu, aku udah bilang kalo kamu harus bisa baca
hati kamu sebelum bisa baca hati aku. Karena hati kamu bilang kalau kamu sayang
aku bel, lalu harusnya kamu bisa tau kalo hatiku juga sayang sama kamu. Tapi ga
nyangka ya, semuanya harus nunggu sampe 3 tahun. Sampe kamu sadar bel,”
ungkapnya lembut.
“Aku…” aku menggigit bibirku. Rasanya hatiku seperti
hangat setelah mendengar pengakuan Zacky. Dia menyayangiku sejak saat itu. Dan
betapa bodohnya aku tidak menyadari itu.
“Bella, makasih ya udah datang. Maaf atas yang
terlewatkan selama 3 tahun ini,” katanya seraya mengecup keningku.
Dia bangkit berdiri lalu berjalan menjauh. Aku ingin
menahannya tapi aku ragu. Akankah kami bisa kembali lagi seperti waktu itu?
“Zacky, gue mau lo tetap di sisi gue,” lirihku lemah.
“Zacky!!! Aku sayang kamu. Bisakah kita kembali seperti
sebelumnya?” teriakku keras.
Dia berbalik dan tersenyum. Aku segera berlari
mendekapnya.
“Bodoh! Kenapa kamu ga pernah bilang sih,” kataku sambil
tersedu-sedu.
“Karena aku tau semua pasti akan berakhir dengan
baik-baik saja bel, aku kira aku sudah melewatkan kesempatan itu. Ternyata
kesempatan itu masih ada kan bel,” jawabnya dengan suara beratnya.
“Jangan seperti ini lagi,” kataku lemah.
Terima kasih Tuhan atas kesempatan yang kau berikan. Di
masa yang akan datang aku tidak akan melewatkan lagi barang satu kalipun
kesempatan yang ada.
*****
Aku terduduk lemas di kamar Dimas.
“Kamu udah nyampe
belom, Mas?” gumamku.
Aku membuka lemari pakaiannya dan menemukan jaket yang
sering dia pakai. Aku memeluk jaket itu erat. Lalu aku membuka laci dalam
lemari itu aku menemukan kacamata hitam yang sering ia pakai, aku memeluk
kacamata itu erat juga.
“Sekarang
kalo aku sering masuk kamar kamu, ga apa-apa kan Mas?” lirihku.
Aku
menemukan sebuah flashdisk terjatuh di atas karpet. Aku yakin sekali itu
flashdisk Dimas, tapi kenapa ada tulisan ‘About Love’ nya, sepertinya ini
sesuatu yang penting.
Aku
segera masuk ke kamarku dan menyalakan computer. Aku melihat-lihat isi
flashdisk Dimas, tapi tidak ada data-data penting selain sebuah folder berjudul
‘About Love’ dan terpasang password sehingga aku tidak bisa mengaksesnya.
“Passwordnya
apa ya?” aku menebak-nebak namun tetap tidak berhasil mengaksesnya.
Saat
itu aku melirik sebuah buku yang baru ku lihat, tergeletak di atas meja
belajarku.
Aku
seperti mengenal buku itu. Oh itu buku diary ku sejak aku lulus SD, itu hadiah
dari mama untukku. Aku membuka lembaran demi lembaran dan tak terasa airmata ku
jatuh saat lembaran demi lembaran masa SMP ku isinya hanya tentang Dimas.
Bahkan
dulu aku begitu menyayangi Dimas lebih dari seorang adik ke kakaknya? Aku malu
sekali membaca tulisan tanganku itu. Kenapa aku menulis seperti itu?
Lembaran
berikutnya aku melihat nama baru, Agung. Dia siapa? Aku membacanya. Aku membaca
buku harianku sampai akhir. Dan di lembaran terakhir aku menangis
sejadi-jadinya.
Kepalaku
berdenyut sangat keras, sedikit demi sedikit sekelebat peristiwa muncul dalam
otakku. Dan yang terakhir aku ingat adalah janji ku untuk menemui Agung sebelum
semuanya menjadi gelap.
Saat
aku tersadar, ku lihat mama tertidur di pinggir ranjangku. Aku ada di rumah
sakit.
“Ma,
kenapa aku disini?” tanyaku polos.
“Kamu
sudah bangun Esta? Dokter dokter!” teriak mama.
“Anak
ibu sudah bisa dibawa pulang sekarang, dia hanya sekedar shock saja tadi,” kata
dokter itu.
“Ma,
aku tau semuanya. Aku udah ingat, Ma. Aku…” telunjuk mama menyentuh bibirku.
“Semua
udah lewat, Esta. Diary kamu itu hanya sekedar saksi bisu. Sekarang semua akan
baik-baik saja,” ucap mama lembut padaku.
“Tapi,
Ma…” mama tersenyum seraya meninggalkanku.
Dimas,kamu
pasti menderita selama ini. Maafin aku ya. Aku langsung tersentak ketika
mengingat nama Agung. Agung mungkinkah dia Ramzi?
Aku
mencabut selang infusku, aku berlari ke luar rumah sakit menaiki sebuah taksi
dan kembali ke rumah. Aku masuk ke kamar dan menyalakan komputerku.
“Mungkinkah
passwordnya adalah…” aku mengetik sebuah nama. Estania. Dan folder itu terbuka.
Ternyata
di dalamnya, banyak foto-foto ku. Ada saat aku sedang tidur, duduk melamun,
menangis, tertawa dan semua hal tentang keseharianku. Dimas, dia begitu baik
jika harus menderita. Di akhir halaman ku lihat ada sepotong tulisan ‘Di kehidupan
selanjutkan kita akan bersama lagi’.
Aku
tersenyum lirih, tentu saja. Aku akan bersama denganmu di kehidupan selanjutnya
Dimas. Aku mengambil ponsel dan mengetik sebuah SMS dan ku kirimkan pada sebuah
nomor. Ramzi!
*****
Sekarang
jam tanganku menunjukkan pukul 05.00 pagi. Aku sedang memacu mobilku dengan
kecepatan tinggi sekarang. Aku menuju Surabaya, dimana Estania sedang
menungguku. Tadi malam aku sudah tertidur ketika dia mengirimi ku sebuah pesan.
From : First Love
Agung, sekarang aku yang menunggumu.
Maaf sudah membuatmu menunggu selama 3 tahun. Janji itu akan ku tepati,
percayalah :’)
Dengan
nafas memburu aku berlari menuju perpustakaan sekolah. Aku mencari sesosok
gadis yang aku sayangi. Namun aku tidak menemukan dia dimanapun.
“Esta,
kamu dimana?” aku berteriak dalam suasana sunyi pagi itu.
“Aku
disini,” lirih seseorang dari belakang pintu perpustakaan.
“Biarkan
aku masuk Esta,” pintaku agar dia membuka kunci pintu itu.
“Maaf
ya Agung. Aku membuatmu menunggu lama untuk sebuah janji. Harusnya kamu datang
lebih lama lagi, aku akan menunggumu terus,” katanya dengan suara bergetar.
“Ayolah,
jangan main-main lagi. Cepat buka pintunya,” aku mencoba menahan lututku yang
sudah bergetar hebat.
Pagi
ini begitu dingin, aku tidak sanggup
menahan hawa dingin ini. Aku serasa ingin pingsan tapi dengan sisa tenaga yang
ku punya aku terus memegang gagang pintu itu.
“Apakah
kamu memaafkanku, Ramzi?” tanyanya di sela tangisan.
“Iya,
aku memaafkanmu. Sudah sejak lama,” kataku lirih aku merasa semuanya menjadi lebih
gelap dan yang terakhir ku ingat adalah seseorang meneriakan namaku.
Aku
bermimpi melihat Estania pergi lagi, sepertinya waktu masih terus mempermainkan
kami. Aku takut membuka mata ini.
*****
#Bacalah
hatimu sendiri, sebelum kau belajar membaca hati oranglain#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar