Total Tayangan Halaman

Jumat, 15 Februari 2013

Part 7 ~Maaf Atas Yang Terlewatkan~



Part 7

“Kak Dimas beneran ga pengen Esta anter ke Bandara?” tanyaku yang ketiga kali dan Kak Dimas hanya mengangguk.

“Mas, aku bakal rindu kamu. Pasti deh,” isakku.

Hari ini Dimas akan berangkat ke Paris, dua bulan yang lalu dia mengikuti tes beasiswa ilmu teknik di Paris dan dia lulus tes.


“Yaudah, kalo gitu Esta berangkat ke sekolah dulu ya Mas,” kataku sebelum menutup pintu kamarnya.

Dimas tidak bicara padaku sepatahkatapun sejak semalam, dia hanya diam dan tersenyum. Aku pasti akan merindukan dia!

Aku bingung kenapa Dimas tidak mengucapkan kalimat perpisahan yang lazimnya orang lain katakna. Dimas itu aneh.
*****
“Yaudah, kalo gitu Esta berangkat ke sekolah dulu ya Mas,” katanya seraya menutup pintu kamarku.

Aku menahan sekuat tenaga agar aku tidak berlari dan memeluk Estania untuk yang terakhir kalinya. Estania, aku pasti akan merindukanmu!

Aku mengepak-ngepak semua pakaian ku dan memasukkannya ke dalam koper. Hari ini adalah hari terakhirku melihatmu Esta. Maaf aku tidak bisa mengucapkan apapun padamu. Aku takut bila berbicara nanti, aku akan kehilangan kendali dan tidak jadi pergi.

Aku mengambil buku diary milik Estania, aku berjalan menuju kamarnya dan meletakkan buku itu di atas mejanya.

“Ini milikmu, semua kenangan itu milikmu. Maaf aku telah menyembunyikannya, kau boleh mengambil kembali apa yang seharusnya kamu punya, Ta. Aku akan merelakanmu,” bisikku lirih dan berjalan menuruni tangga.

Mama dan papa telah menungguku di mobil. Mereka akan mengantarkanku ke bandara.

“Ma, Pa, jaga Esta baik-baik ya. Mungkin setelah hari ini semua akan berbeda. Semua akan kembali pada tempatnya. Aku bahagia pernah bersama Esta, mama dan papa. Maaf ya baru sekarang aku berani pergi,” kataku dengan tetap tegar menahan airmata.

“Dimas, kamu anak baik. Kamu harus mendapatkan cinta yang lebih baik dan tidak menyakitkanmu lagi nantinya, mama akan berdoa untukmu,” ucapan mama terdengar seperti doa tulus dari seorang ibu.

“Papa minta maaf ya, Mas. Kamu harus pergi seperti ini,” kata papa dengan suara serak sepertinya dia ingin menangis.

“Dimas janji akan menghilangkan perasaan ini. Dimas tau mungkin di kehidupan ini Estania bukan milik Dimas,” ucapku lirih.

“Makasih ya atas semuanya, Ma, Pa!” kataku tegas.

Ada perasaan lega di hati ini. Perasaan merelakan dengan tulus membuat hatiku tidak sesak lagi.

Aku memandang foto Esta di dompetku dan bergumam lembut, “Aku berjanji Esta, di kehidupan selanjutnya kita akan bersama.”

*****
Hari ini aku harus bicara terus terang dengan Bella. Kalau tidak mungkin semuanya akan terlewat lagi.

“Bella, gue mau nunjukin sesuatu untuk lo! Lo mau ikut gue sebentar ga?” ajakku padanya saat dia keluar dari kelas.

“Ga!” katanya singkat.

“Ini penting banget buat gue. Kalo lo bersedia ikut, apapun yang terjadi ke depan gue ga bakal nyesel lagi. Ini untuk yang terakhir,” kataku lirih.

“Maaf tapi gue ga mau!” jawabnya tegas.

“Yaudah, tapi kalo lo berubah pikiran gue masih nunggu lo kok,” ku sodorkan sebuah foto untuknya.

“Ini…” dia tercekat dia menatapku bingung.

“Gue nungguin lo,” kataku sebelum pergi meninggalkannya.

“Percuma lo nunggu, gue ga bakal datang!” tegasnya.

Namun aku percaya, Bella pasti datang. Karena itu aku akan menunggunya hingga malam nanti disana. Di bawah pohon itu.

*****
Aku melihatnya melamun sendirian meskipun bel pulang sudah berbunyi tapi dia masih saja duduk disana.

“Woi, udah bel tau!” teriakku mengagetkannya.

“Eh, iya..” sahutnya gelagapan.

“Lo kenapa?” tanyaku iseng.

“Ini novel kamu, yang waktu itu kamu tinggalin di depan UKS. Maaf lama balikinnya,” katanya sambil menyodorkan sebuah novel berjudul ‘Akhir Pertemuan Ini’ padaku.

“Buat lo aja!” kataku seraya meninggalkannya.

Ku pikir dia akan segera menyusulku ternyata dia masih duduk disana, sepertinya dia memikirkan sesuatu atau seseorang.

“Woi lo kenapa sih!” aku duduk di sampingnya.

“Kamu kenapa ga pulang, Zi?” tanyanya menatap kosong ke depan.

“Lo sendiri?” aku balik bertanya.

“Aku takut pulang. Aku takut Dimas udah ga ada lagi, dia pasti ga nyambut aku pulang hari ini,” jawabnya dengan suaru sedikit bergetar.

“Emang dia kemana?” tanyaku penasaran.

“Dia belajar, belajar ke Paris. Untuk apa sih dia belajar jauh-jauh! Dia ga tau apa kalo aku bakal rindu banget sama dia nantinya,” ucapnya dengan mulai tersedu-sedu.

Dia menangis. Menangisi kakaknya, Dimas. Aku heran kenapa mereka ini aneh sekali? Bukankah Dimas sangat menyukai Estania tapi kenapa dia pergi? Pasti ada yang terlewatkan disini.

“Lo kalau mau nangis, nangis di bahu gue aja. Biar tangan ini yang hapus airmata lo,” kataku mantap.

Dia menoleh kaget padaku, dia tersenyum sambil berkata, “Zi, kenapa ya kayaknya aku tu udah kenal lama sama kamu. Kalimat tadi kayaknya pernah aku dengar, dan sepertinya kamu juga yang berkata seperti itu. Aneh ya? Mungkin aku udah gila,” ucapnya sinis.

“Lo emang pernah denger kalimat itu dari mulut gue kok,” kataku lirih.

“Maksudnya?” sahutnya.

“Udah, sini nangis aja di bahu gue!” pinta ku padanya seraya merebahkan kepalanya di bahu ku.

“Dimas jahat ya, dia ninggalin aku. Lalu siapa yang akan ngasih perhatian dan kasih sayang yang kayak dia kasih nantinya?” gumamnya pelan.

“Gue!” jawabku dalam hati.

“Yaudah, makasih Zi atas pinjaman bahu kamu. Aku mau pulang dulu sekarang udah sore,” katanya sambil tersenyum lemah.

“Mau gue anterin ga?” tanyaku spontan.
“Ga usah makasih deh, sampai bertemu besok ya,” sahutnya dan beranjak pergi.

*****
From : Estania
Bel, tadi kak zacky pamit ama aku. Katanya mungkin dia bakal jarang ke kelas kita. Soalnya harapan dia ke kamu akan berakhir hari ini. Jadi dia ga bisa lagi sering datang ke kelas buat liatin kamu dari jauh. Aku ga tau harus bilang apa. Tapi seharusnya kamu baca hati kamu sendiri sebelum kamu bisa baca hati dia.

Apa-apaan Esta ini? Kenapa dia bilang begitu? Benarkah Zacky sering datang ke kelas hanya untuk melihatku dari jauh bukan untuk bertemu dengan Esta? Aku pusing memikirkannya dan saat ku lirik jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 8 malam.

“Aku harus baca hatiku sebelum baca hati dia, maksudnya apa aku ini masih sayang sama Zacky?” gumamku dalam hati.

Aku segera mengambil kunci mobil dan bergegas mengendarai mobil menuju sebuah tempat. Tempat yang ada di foto tadi. Pohon B & Z. Tunggub aku!

“Hai,” sapaku pada zacky setengah tersengal-sengal.

Aku mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi dan berlari kemari, aku takut Zacky telah pergi dan tidak menungguku.

“Kamu datang juga, Bel. Aku tau kamu pasti datang,” jawabnya seraya memelukku.

“Kenapa kamu tau?” tanyaku.

“Karena aku bisa baca hatiku sendiri dan baca hatimu,” jawabnya sambil tersenyum.

Aku dan dia duduk di bawah pohon ini. Dengan ditemani taburan bintang di angkasa dan angin malam yang dingin. Zacky menungguku disini dan kami bertemu disini.

“Kamu, eh.. Lo mau ngomong apa sama gue?” tanyaku sedikit kasar.

“Kamu belum bisa baca hati aku kan Bel?” tanyanya singkat.

“Maksud lo?” aku tidak mengerti apa yang ingin dia katakana.

“3 tahun lalu, aku udah bilang kalo kamu harus bisa baca hati kamu sebelum bisa baca hati aku. Karena hati kamu bilang kalau kamu sayang aku bel, lalu harusnya kamu bisa tau kalo hatiku juga sayang sama kamu. Tapi ga nyangka ya, semuanya harus nunggu sampe 3 tahun. Sampe kamu sadar bel,” ungkapnya lembut.

“Aku…” aku menggigit bibirku. Rasanya hatiku seperti hangat setelah mendengar pengakuan Zacky. Dia menyayangiku sejak saat itu. Dan betapa bodohnya aku tidak menyadari itu.

“Bella, makasih ya udah datang. Maaf atas yang terlewatkan selama 3 tahun ini,” katanya seraya mengecup keningku.

Dia bangkit berdiri lalu berjalan menjauh. Aku ingin menahannya tapi aku ragu. Akankah kami bisa kembali lagi seperti waktu itu?

“Zacky, gue mau lo tetap di sisi gue,” lirihku lemah.

“Zacky!!! Aku sayang kamu. Bisakah kita kembali seperti sebelumnya?” teriakku keras.

Dia berbalik dan tersenyum. Aku segera berlari mendekapnya.

“Bodoh! Kenapa kamu ga pernah bilang sih,” kataku sambil tersedu-sedu.

“Karena aku tau semua pasti akan berakhir dengan baik-baik saja bel, aku kira aku sudah melewatkan kesempatan itu. Ternyata kesempatan itu masih ada kan bel,” jawabnya dengan suara beratnya.

“Jangan seperti ini lagi,” kataku lemah.

Terima kasih Tuhan atas kesempatan yang kau berikan. Di masa yang akan datang aku tidak akan melewatkan lagi barang satu kalipun kesempatan yang ada.

*****
Aku terduduk lemas di kamar Dimas.
“Kamu  udah nyampe belom, Mas?” gumamku.

Aku membuka lemari pakaiannya dan menemukan jaket yang sering dia pakai. Aku memeluk jaket itu erat. Lalu aku membuka laci dalam lemari itu aku menemukan kacamata hitam yang sering ia pakai, aku memeluk kacamata itu erat juga.

“Sekarang kalo aku sering masuk kamar kamu, ga apa-apa kan Mas?” lirihku.
Aku menemukan sebuah flashdisk terjatuh di atas karpet. Aku yakin sekali itu flashdisk Dimas, tapi kenapa ada tulisan ‘About Love’ nya, sepertinya ini sesuatu yang penting.
Aku segera masuk ke kamarku dan menyalakan computer. Aku melihat-lihat isi flashdisk Dimas, tapi tidak ada data-data penting selain sebuah folder berjudul ‘About Love’ dan terpasang password sehingga aku tidak bisa mengaksesnya.
“Passwordnya apa ya?” aku menebak-nebak namun tetap tidak berhasil mengaksesnya.
Saat itu aku melirik sebuah buku yang baru ku lihat, tergeletak di atas meja belajarku.
Aku seperti mengenal buku itu. Oh itu buku diary ku sejak aku lulus SD, itu hadiah dari mama untukku. Aku membuka lembaran demi lembaran dan tak terasa airmata ku jatuh saat lembaran demi lembaran masa SMP ku isinya hanya tentang Dimas.
Bahkan dulu aku begitu menyayangi Dimas lebih dari seorang adik ke kakaknya? Aku malu sekali membaca tulisan tanganku itu. Kenapa aku menulis seperti itu?
Lembaran berikutnya aku melihat nama baru, Agung. Dia siapa? Aku membacanya. Aku membaca buku harianku sampai akhir. Dan di lembaran terakhir aku menangis sejadi-jadinya.
Kepalaku berdenyut sangat keras, sedikit demi sedikit sekelebat peristiwa muncul dalam otakku. Dan yang terakhir aku ingat adalah janji ku untuk menemui Agung sebelum semuanya menjadi gelap.
Saat aku tersadar, ku lihat mama tertidur di pinggir ranjangku. Aku ada di rumah sakit.
“Ma, kenapa aku disini?” tanyaku polos.
“Kamu sudah bangun Esta? Dokter dokter!” teriak mama.
“Anak ibu sudah bisa dibawa pulang sekarang, dia hanya sekedar shock saja tadi,” kata dokter itu.
“Ma, aku tau semuanya. Aku udah ingat, Ma. Aku…” telunjuk mama menyentuh bibirku.
“Semua udah lewat, Esta. Diary kamu itu hanya sekedar saksi bisu. Sekarang semua akan baik-baik saja,” ucap mama lembut padaku.
“Tapi, Ma…” mama tersenyum seraya meninggalkanku.
Dimas,kamu pasti menderita selama ini. Maafin aku ya. Aku langsung tersentak ketika mengingat nama Agung. Agung mungkinkah dia Ramzi?
Aku mencabut selang infusku, aku berlari ke luar rumah sakit menaiki sebuah taksi dan kembali ke rumah. Aku masuk ke kamar dan menyalakan komputerku.
“Mungkinkah passwordnya adalah…” aku mengetik sebuah nama. Estania. Dan folder itu terbuka.
Ternyata di dalamnya, banyak foto-foto ku. Ada saat aku sedang tidur, duduk melamun, menangis, tertawa dan semua hal tentang keseharianku. Dimas, dia begitu baik jika harus menderita. Di akhir halaman ku lihat ada sepotong tulisan ‘Di kehidupan selanjutkan kita akan bersama lagi’.
Aku tersenyum lirih, tentu saja. Aku akan bersama denganmu di kehidupan selanjutnya Dimas. Aku mengambil ponsel dan mengetik sebuah SMS dan ku kirimkan pada sebuah nomor. Ramzi!
*****
Sekarang jam tanganku menunjukkan pukul 05.00 pagi. Aku sedang memacu mobilku dengan kecepatan tinggi sekarang. Aku menuju Surabaya, dimana Estania sedang menungguku. Tadi malam aku sudah tertidur ketika dia mengirimi ku sebuah pesan.
From : First Love
Agung, sekarang aku yang menunggumu. Maaf sudah membuatmu menunggu selama 3 tahun. Janji itu akan ku tepati, percayalah :’)
Dengan nafas memburu aku berlari menuju perpustakaan sekolah. Aku mencari sesosok gadis yang aku sayangi. Namun aku tidak menemukan dia dimanapun.
“Esta, kamu dimana?” aku berteriak dalam suasana sunyi pagi itu.
“Aku disini,” lirih seseorang dari belakang pintu perpustakaan.
“Biarkan aku masuk Esta,” pintaku agar dia membuka kunci pintu itu.
“Maaf ya Agung. Aku membuatmu menunggu lama untuk sebuah janji. Harusnya kamu datang lebih lama lagi, aku akan menunggumu terus,” katanya dengan suara bergetar.
“Ayolah, jangan main-main lagi. Cepat buka pintunya,” aku mencoba menahan lututku yang sudah bergetar hebat.
Pagi ini  begitu dingin, aku tidak sanggup menahan hawa dingin ini. Aku serasa ingin pingsan tapi dengan sisa tenaga yang ku punya aku terus memegang gagang pintu itu.
“Apakah kamu memaafkanku, Ramzi?” tanyanya di sela tangisan.
“Iya, aku memaafkanmu. Sudah sejak lama,” kataku lirih aku merasa semuanya menjadi lebih gelap dan yang terakhir ku ingat adalah seseorang meneriakan namaku.
Aku bermimpi melihat Estania pergi lagi, sepertinya waktu masih terus mempermainkan kami. Aku takut membuka mata ini.
*****
#Bacalah hatimu sendiri, sebelum kau belajar membaca hati oranglain#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar